Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia secara garis besar dapat di bagi dalam tiga periode yaitu periode masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Masa kemerdekaan ini dapat dikelompokkan lagi pada masa awal kemerdekaan 1945 – 1958, masa orde lama 1958-1965, masa orde baru 1966-1998, dan masa reformasi 1998 – sekarang. Kalau dikelompokkan berdasar produk undang-undang kependidikan, maka awal kemerdekaan, masa lahirnya undang-undang no, 4 tahun 1950 jo uu no 12 tahun 1954, masa undang-undang no, 2 tahun 1989 dan masa undang-undang no.20 tahun 2003.
Masa kesultanan, madrasah tumbuh dan berkembang secara alami berdasarkan inisiatif masyarakat dan disana-sini dibantu oleh kesultanan. Di kesultanan yang perhatian raja dan penguasanya tinggi terhadap Islam, kemajuan pendidikan Islam berkembang pesat, (kesultanan Aceh, Kesultanan Palembang, Kesultanan Mataram, Kesultanan Banjar, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon dsb.
Masa penjajahan Belanda dikenal peraturan tentang perlunya izin membuka dan mengajar agama dengan staatblads 1905 dan ordonansi sekolah liar (wilde schoollen) tahun 1920.
Masa awal kemerdekaan pemerintah tetap menghargai lembaga pendidikan Islam yang ada dan mendorong agar tidak ekslusif dengan memasukkan beberapa pelajaran umum (keterbukaan madrasah), tercermin dalam keputusan BPKNIP , disisi lain pemerintah harus membantu pengembangan tersebut dengan tetap menghargai identitas madrasah.
Masa UU no 4 tahun 1950 jo no 12 tahun 1954, penghargaan tetap diberikan tercermin dengan ketentuan pasal bahwa belajar di madrasah yang diakui oleh Menteri Agama dianggap telah mengikuti wajib belajar. Juga munculnya PP tentang bantuan dan subsidi untuk madrasah.
Masa orde lama yang mulai kecenderungan sentralisasi kekuasaan politik yang kuat, dan di masa ini bantuan dan subsidi ke madrasah makin tidak tampak. Namun campur tangan dalam kontens madrasah belum terasa. Ini mengakibatkan mutu madrasah makin tertinggal di mata “orang umum”
Masa orde baru suasana sentralisasi dan uniformisasi makin meningkat dan lembaga pendidikan menjadi bagian dari birokrasi makin terasa. Oleh karena itu mulai dirasakan perlunya kesetaraan antara madrasah dan sekolah untuk mendapat pengakuan dan penghargaan. Sehingga muncul SKB tiga Menteri yang secara formal sudah memberi pengakuan kesetaraan, namun dilapangan masih belum diterima penuh, masih banyak perlakuan diskriminatif diterima lulusan madrasah. Barulah ketika UU no.2 tahun 1989 madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulumnya sama persis dengan kurikulum sekolah plus agama.
Pengakuan terhadap madrasah sebagai sekolah umum berdampak derasnya arus penyesuaian madrasah yang selama ini dengan kurikulum sendiri mengikuti kurikulum madrasah sebagai sekolah umum. Ini juga yang sering dikatakan orang “madrasah seperti kehilangan identitasnya”. Memang dimasa ini undang-undang hanya mengakui madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam sebagai bagian sisdiknas, selebihnya sebagai pendidikan luar sekolah saja.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 telah memberi peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskrimanasi di mata negara. Kesempatan ini akan membuka peluang kebhinekaan lembaga pendidikan keagamaan, namun dalam posisi status diakui sebagai bagian dari sisdiknas. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktifitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurkulum sekolah.
Matriks berikut ini menggambarkan keadaan posisi pendidikan keagamaan semasa UU no.2 tahun 1989 (berikut ini, terlampir)
Ke depan dengan telah diundangkannya sisdiknas 2003, maka madrasah sudah bisa memilah diri menjadi tiga pola yaitu:
1. Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam, seperti yang selama ini. Namun harus berani menterjemahkan kurikulumnya tetap 100% walaupun umum sama dengan sekolah dan khusus sama dengan madrasah. Ini berarti pel;ajaran umum tidak semua harus diajarkan tatap muka , demikian juga pelajaran agama. Yang diajarkan hanya yang esensial (Mata pelajaran utama sekolah umum itu apa dan materi yang harus dikuasai seberapa). Demikian juga dengan pelajaran agama, tidak semua diajarkan tatap muka). Dengan demikian anak didik dapat lebih berkonsentrasi kepada pelajaran utama sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Dengan cara begini hasil yang didapat akan lebih meningkat dan dapat bersaing secara fair dengan sekolah. Menghasilkan ulusan yang mengusai pengetahuan umum dengan prima namun sebagai muslim yang baik.
2. Madrasah sebagai lembaga pendidikan keagamaan, di mana focus utama adalah pelajaran agama. Pelajaran umum hanya sebagai penunjang saja. Dalam hal ini harus diberikan kebhinekaan program antara madrasah sebagai lembaga pendidikan keagamaan, Namun standard umum harus sama dengan sekolah dan madrasah sebagai sekolah umum berciri khas.(lihat matriks pola pendidikan Indonesia di atas). Menghasilkan lulusan yang menguasai pengetahuan agama dengan baik, namun memahami dasar ilmu dan teknologi sebagai pelengkap kehidupan)
3. Madrasah sebagai sekolah kejuruan, dimana focus pelajaran pada ketrampilan hidup (life skill) namun sebagai muslim yang baik. Pola pendidikan mengikuti pola sekolah umum kejuruan dengan prinsip seperti pola madrasah.
Disamping penyelesaian RPP Pendidikan agama dan Pendidikan Keagamaan yang tengah berlangsung saat ini, perlu mendapat perhatian penuh, maka sudah waktunya jugas untuk mempersiapkandiri menghadapi lahirnya tiga pola pendidikan madrasah diatas.
Bambuapus, 7 Agustus 2003
No comments:
Post a Comment