10 September 2005
PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR :
Assalamualaikum.Wr.Wb
Yth bapak Menteri Agama (H.Maftuh Basyuni)
Yth bapak wakil ketua MPR RI (A.M.Fatwa)
Yth bapak KH.M.Tolha Hasan (mantan Menteri Agama)
Yth Syekh Ma’had Az Zaitun (Panji Gumilang)
Yth Mudir LPIA Jakarta (Dr Abdullah as Salam)
Yth Bapak Rektor dan Pembantu Rekror UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Para Anggota Senat Guru Besar, Pimpinan Fakultas dan Lembaga serta Civitas Akademika Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Para Teman Sejawat dan Tamu Undangan serta hadirin sekalian yang berbahagia.
Pertama saya ingin memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita sekalian untuk hadir dalam upacara yang berbahagia ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada bapak Rektor UIN yang telah mendorong saya untuk menjadi guru besar di Universitas ini dan juga kepada bapak Dekan Fakutas Tarbiyah yang telah memberi tugas mengajar. Juga kepada teman-teman sejawat yang selalu mendorong untuk tetap mengajar di samping tugas birokrasi selama ini.
Sebagai tanda syukur dan penghargaan kepada UIN yang telah mengusulkan saya menjadi guru besar, maka pada kesempatan ini saya sampaikan di hadapan sidang senat terbuka, beberapa pemikiran tentang ”Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia” sesuai dengan tugas mengajar saya di Fakultas Tarbiyah.
Hadirin Yang Berbahagia
Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang telah hadir, tumbuh dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara ini . Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk pengajian di rumah-rumah, terus ke mushollah, mesjid dan kebangunan sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Demikian pula dari segi materi pendidikan, telah terjadi perkembangan dari yang tadinya hanya belajar mengaji Al-Qur’an kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, terus ke pengajaran tauhid, hadis, tafsir, tarikh Islam dan bahasa Arab. Kemudian masuk pula pelajaran umum dan ketrampilan.
Dari segi jenjang pendidikan, telah terjadi pula perkembangan dari belajar mengaji Quran kejenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian berubah ke jenjang Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dipengaruhi secara cukup kuat oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern yang sudah mengajarkan ilmu ilmu agama dan umum, serta sistem pendidikan yang dibawa oleh Pemerintah Belanda .
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar . Kebijakan inilah yang memicu beberapa madrasah dan pesantren mengisolir diri dari intervensi ”dunia luar” dengan tetap mengajarkan hanya pelajaran agama, Namun sekelompok yang lain melihat banyak hal yang menarik dari sistem ”sekolah Belanda”, sehingga menimbulkan gagasan membuka sekolah dengan tambahan pelajaran agama dan ada juga madrasah yang tetap fokus pada pengajaran agama namun dengan mengadopsi sistem sekolah serta tambahan beberapa mata pelajaran umum. Upaya yang kedua terakhir inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi pendidikan Islam.
Hadirin Yang Berbahagia
Adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini, pada awalnya setidaknya ditandai oleh dua kecenderungan yaitu:
Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah-¬sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran Islam ,
Kedua, munculnya madrasah madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, namun tetap menggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan Islam sebagai basis utamanya .
Kedua bentuk usaha ini pada dasarya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan "pendidikan Islam" yang sebenamya pendidikan umum dengan memasukkan pengajaran agama. Kelompok ini biasanya menamakan sekolahnya dengan SDI, SMPI, dan SMAI. Di sisi, lain ada sistem dan kelembagaan "madrasah" yang menitik¬ beratkan pengajaran agama baru kemudian memasukkan pelajaran umum. Kelompok ini menamakan sekolahnya dengan MI, MTs, dan MA.
Hadiran Yang Berbahagia
Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terus berlanjut. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) dalam maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945 (Berita RI Tahun II No. 4 dan 5 halaman 20), menganjurkan, " agar pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan" .
Perhatian pemerintah RI terhadap madrasah dan pesantren ini semakin terbukti ketika Kementerian Agama resmi berdiri pada 3 Januari 1946. Dalam struktur organisasinya, Bagian C adalah bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurusi masalah masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren) .
Namun menarik diamati, perhatian pemerintah yang begitu besar diawal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen agama dan beberapa keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU No.4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar . Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada diluar sistem. Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan dibawah Menteri Agama .
Hadirin Yang Berbahagia
Keadaan inilah yang mendorong tokoh-tokoh Islam menuntut agar madrasah dan pendidikan keagamaan dimasukkan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Reaksi terhadap sikap pemerintah yang mendiskriminasikan madrasah menjadi makin keras dengan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No 15 Tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam Kepres dan Inpres itu sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam.
Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan mutu madrasah. Dan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Kepres dan Inpres di atas, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri). SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif.
Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD, SMP dan SMA. Kemudian lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Makna SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan kedua, membuka peluang kemungkinan anak¬-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.
Meskipun demikian, bukan berarti SKB Tiga Menteri ini tanpa masalah. Melalui SKB ini memang, status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya. Dengan SKB ini pula alumni MA dapat melanjutkan ke universitas umum, dan vice versa, alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN. Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum, dimana komposisi kurikulum madrasah 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efek penyamaan kurikulum ini adalah berkurangnya muatan agama pada madrasah. Dengan porsi ilmu ilmu agama hanya 30% termasuk Bahasa Arab, tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN, apalagi untuk melanjutkan studi Islam di Timur Tengah dan juga menjadi calon calon ulama . Demikian juga masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum.
Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama baru dicapai dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989., dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran agama Islam .
Kenyataannya beban kurikulum bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Padahal kondisi fasilitas dan latar belakang anak madrasah dan sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah.
Sampai disini persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah. Namun Madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan pengetahuan umum sebagai ciri ke Indonesiaan dan kemodernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan ummat, karena masih ada perasaan pemerintah masih memojokkan madrasah yang porsi pengajaran agama lebih besar di banding pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama”. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama seperti ditunjukkan oleh data madrasah tahun 1994/1995 bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil (48%) dari yang memilih pilihan IPS atau matematika (52%) .
Hadirin Yang Berbahagia
Perjuangan untuk memasukkan madrasah dengan fokus utama pengajaran agama dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 . Dalam undang-undang ini diakui kehadiran Lembaga Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30 .
Ketetapan ini telah memberi tempat yang layak bagi pendidikan keagamaan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu sudah sepantutnya kesempatan penghargaan ini digunakan dengan sebaik-baiknya bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk menata diri sesuai dengan ketentuan perundangan ini. Artinya segera menata pendidikan keagamaan yang mana masuk pendidikan formal, mana yang nonformal dan mana yang informal. Demikian juga mana yang berjenjang dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, yang mana yang tidak perlu berjenjang. Inilah tugas berat Departemen Agama ke depan.
Hadirin Yang Berbahagia
Persoalan lain yang muncul dalam perkembangan madrasah adalah persoalan madrasah diotonomikan sebagaimana sekolah atau tidak. Persoalan ini muncul setelah diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 7 ayat (1) menyatakan kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain). Dilain pihak pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan salah satu dari 11 (sebelas) bidang yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota.
Pertanyaan lanjutan yang muncul dari penafsiran terhadap dua pasal di atas adalah apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan ataukah bidang agama?. Di sini muncul dua pendapat:
Pertama; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan lain yang diasuh Departemen Agama tidak diotonomikan sebagaimana maksud pasal 7 ayat satu dari UU No. 22 Tahun 1999. Ini berarti pendidikan di Departemen Agama dikategorikan sebagai bagian dari sistem agama, bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Kedua; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan yang dikelola Departemen Agama adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan diotonomikan, maka pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus diotonomikan .
Di sisi lain melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditentukan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk itu, sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda beda.
Hadirin Yang Berbahagia
Kini, Departemen Agama dihadapkan pada dua pilihan sulit di atas: (1) tetap mengelola madrasah secara sentralistik, artinya tidak mengotonomikan; atau (2) menugaskan kepada pemerintah daerah tingkat II untuk mengelola madrasah, sebagai konsekwensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan.
Pilihan satu dari keduanya, pastiL ada plus minusnya, tergantung kepentingan dan kebutuhan Departemen Agama maupun madrasah itu sendiri. Sampai dengan pidato ini ditulis, pilihan satu dari keduanya belum ditentukan secara eksplisit, namun kita bisa memetakan, mencari jalan keluar, membuat pilihan pilihan strategis, atau mengkaji untung dan ruginya kalau salah satu dari keduanya menjadi pilihan kita.
Kalaulah sentralisasi (tidak diotonomikan) tetap sebagai pilihannya, maka Departemen Agama masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah¬ di seluruh Tanah Air sebagaimana selama ini. Pilihan ini mengandung makna bahwa Departemen Agama memandang madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana telah disinggung di atas. Sumber dana yang diberikan untuk melaku¬kan pembinaan dapat secara langsung dikelola oleh Departemen Agama. Sementara daerah menjadi pelaksana dari kebijakan pusat seperti selama ini berjalan. Bahkan, pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Agama- berhak menentukan jenis jenis program dan target yang semestinya dicapai oleh masing masing madrasah di pelbagai tingkatannya. Sekilas, kelihatannya pilihan ini sangat menguntungkan. Namun, bila dikaji lebih jauh, temyata, pilihan ini bisa menimbulkan empat kerugian yang mungkin timbul.
Pertama, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 yang memberikan sentralisasi pada lima, bidang di atas, maka dapat dipastikan bahwa sumber dana pembinaan madrasah berasal dari sektor agama dan boleh jadi ditambah dari sektor pendidikan yang porsinya sudah banyak didaerahkan.
Kedua, boleh jadi madrasah tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi menjadi bagian dari sistem agama. Sedangkan undang¬-undang di atas justru menyerahkan pengelolaan pendidikan, sepenuhnya kepada pemerintah daerah tingkat II. Konsekuensinya, madrasah tidak akan pemah mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dari pemerintah daerah di mana madrasah itu berada.
Ketiga, boleh jadi budaya otonomi pendidikan kepada madrasah akan terganggu oleh keputusan politik dari pusat.
Keempat, birokrasi tetap tidak efesien, berbelit belit sehingga ada persoalan dari bawah tidak segera teratasi.
Hadirin Yang berbahagia
Jika altematif kedua menjadi pilihan, maka Departemen Agama menyerahkan pengelolaan madrasah ke tangan pemerintah daerah tingkat II. Itu berarti, Departemen Agama (Pusat) akan ”kehilangan” sasaran pengelolaan madrasah . Dengan demikian, peran Departemen Agama menjadi ”mengecil” sebatas urusan bidang agama semacam haji, zakat, infaq, sadaqah, wakaf, nikab, talak, rujuk, masjid, tempat ibadah lainnya dan hubungan antar umat beragama.
Ada sekitar lima keuntungan manakala altematif kedua ini menjadi pilihan. Pertama, madrasah akan segera "dikukuhkan" dan "diakui" menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan pengukuhan dan pengakuan tersebut, madrasah akan memperoleh perlakuan sejajar tidak lagi didiskriminasi dengan sekolah umum.
Kedua, budaya otonomi pendidikan pada madrasah akan tumbuh subur dengan berkurangnya intervensi dari pusat, sehingga para guru dan kepala madrasah dapat lebih leluasa merumuskan program kerja yang lebih realisitis dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, madrasah melalui guru dan kepala madrasahnya dapat memanfaatkan secara maksimal ”stakeholders” madrasah untuk kepentingan peningkatan kualitas madrasah tanpa harus menunggu juklak dan juknis dari pusat.
Keempat, fokus pembinaan dari pusat yang selama ini lebih menekankan pada persoalan administrafif dapat dikurangi, dan lebih difokuskan pada:
a) menetapkan standar mutu akademik lulusan madrasah perjenjang;
b) menfasilitasi dalam menumbuhkan wadah wadah bagi auditor mutu di masing masing daerah;
c) memfasilitasi pembangunan jaringan antar daerah; dan
d) memfasilitasi kerjasama dengan sekolah sekolah luar negeri melalui program linkage, program kembar (twinning) ataupun franchising.
Kelima, memberikan peluang kepada madrasah untuk mengembangkan pendekatan kemitraan antar madrasah atau lembaga lembaga yang memayungi madrasah.
Hadirin Yang Berbahagia
Pertanyaan lain yang timbul, jika pendidikan dilingkungan Departemen Agama tidak ditugaskan kepada Daerah, bukan tidak mungkin Daerah merasa kurang bertanggung jawab terhadap madrasah dan menganggap madrasah adalah tugas dari pemerintah pusat (Departemen Agama). Bila muncul perasaan dan sikap seperti ini, maka akan terjadi dengan sendirinya perlakuan yang berbeda antara sekolah dan madrasah di daerah. Ini berbahaya dan dapat menimbulkan kesenjangan kembali antara madrasah dan sekolah yang telah dialami begitu panjang (sejak UU No. 4 Tahun 1950 s/d UU No. 2 Tahun 1989).
Bukankah perasaan didiskriminasikan dan dianak tirikan oleh Diknas dan Pemerintah Daerah begitu menyakitkan. Akankah muncul lagi diskriminasi dan penganaktirian tersebut, hanya gara-gara ”mempertahankan kekuasaan”. Lebih-lebih lagi dengan telah ditetapkannya UU Sidiknas No. 20 Tahun 2003, dimana madrasah sudah dikelompokkan sebagai sekolah umum tidak lagi sebagai ”pendidikan keagamaan” [lihat pasal 17 ayat (2) dan 18 ayat (3)]. Bukankah ini memberi indikasi lagi bahwa sudah waktunya madrasah diserahkan kepada Daerah sebagaimana sekolah yang sudah lebih dahulu diserahkan.
Memang ada kekhawatiran sebagian pihak , bahwa kalau madrasah diserahkan kepada Daerah timbul kekhawatiran jangan-jangan ciri khas madrasah tidak dapat dipertahankan sehingga madrasah tidak ada bedanya dengan sekolah. Bukankah pengelola pendidikan di Diknas itu bukan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan madrasah, sehingga mereka tidak dapat memahami ”ruh” dari madrasah, sehingga dikhawatirkan kebijakan-kebijakan yang diambil akan menghilangkan ciri khas dari madrasah itu sendiri. Kekhawatiran tersebut adalah lumrah sebagai bentuk tanggung jawab, namun yang paling bijak bukannya menghentikan proses pemberian otonomi tapi mengkaji lebih dalam dan mencarikan solusi yang paling menguntungkan bagi madrasah.
Hadirin Yang Berbahagia
Mungkin dengan membentuk forum pengkajian otonomi madrasah. Boleh jadi ide untuk ”bedol desa” pendidikan di Departemen Agama ke Departemen Pendidikan Nasional dan ke Pemerintah Daerah suatu hal yang dapat menjadi bahan diskusi. Dengan ”bedol desa” tersebut kekhawatiran bahwa di Diknas dan di Pemda tidak mempunyai SDM yang mengenal ”ruh” madrasah dan kurang berpihak kepada madrasah dapat dihindari. Dengan demikian kekhawatiran ciri khas madrasah akan hilang atau pudar menjadi tidak beralasan. Bedol desa dengan arti seluruh perangkat dan personal pengelola pendidikan di Departemen Agama pindah (boyong) ke Diknas termasuk perangkat di daerah pindah ke Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka madrasah tidak akan terisolir atau diisolir oleh sistem , tapi menjadi bagian yang kokoh dari sistem dan perlakuabn diskriminatif ataupun dianak tirikan tidak akan muncul.
Demikian pula kekhawatiran kekurangan guru bidang studi umum yang diberikan Diknas sedikit, serta anggaran pendidikan untuk Departemen Agama belum proposional tidak akan muncul. Hal yang lebih penting lagi perlakuan diskriminatif dalam pemberian dana bantuan bagi guru sekolah dengan guru madrasah akan dapat dihindari, sehingga perasaan sesama guru menjadi makin kokoh antara sesama pendidik. Banyak lagi barangkali keuntungan yang didapat madrasah, yang terang perlakuan terhadap madrasah akan sama dengan sekolah.
Hadirin Yang Berbahagia
Memang ada juga pemikiran yang ”akomodatif” atau disebut ”paro-paro” yang menginginkan pendidikan madrasah tetap dibawah Departemen Agama secara struktural, namun pengelolaan pada tingkat daerah diotonomikan sejalan dengan diberlakukannya undang undang tersebut. Sebab, otonomi pendidikan di madrasah dimaksudkan sebagai: desentralisasi pengelolaan madrasah;
Kebijakan ini sepertinya merupakan ”kompromi”, namun tetap perlu dikritisasi, karena memang dapat memecahkan persoalan di tingkat Daerah, namun belum memecahkan persoalan di tingkat pusat antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Pada tingkat pusat masih banyak persoalan yang dapat memunculkan diskriminasi lagi seperti persoalan pembagian alokasi dana. Bukankah alokasi dana pendidikan ditentukan oleh Departemen Pendidikan bersama DPR (komisi X dan Komisi Anggaran)? Sedangkan Departemen Agama bermitra dengan Komisi VIII. Demikian juga struktur pendanaan pada sektor pendidikan yang terbagi atas Program Wajib Belajar Sembilan Tahun; Program Pendidikan Menengah; Program Pendidikan Tinggi dan Program Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan yang secara tidak langsung mencerminkan Direktorat Jenderal di Departemen Pendidikan Nasional?
Lalu dimana untuk Madrasah dan Pendidikan Keagamaan? Tentu ini akan memerlukan ”perjuangan yang keras” dan kerajinan serta ketekunan pihak Departemen Agama untuk tidak ”tertinggal atau ditinggalkan”. Inilah berbagai kemungkinan yang perlu didiskusikan lebih lanjut dengan semangat ”memberi peluang dana dan fasilitas yang proporsional serta tidak merugikan madrasah dan pendiidkan keagamaan” itu sendiri.
Wallahu a’lam bissawab.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Bambuapus, 10 September 2005
Husni Rahim
Yth bapak Menteri Agama (H.Maftuh Basyuni)
Yth bapak wakil ketua MPR RI (A.M.Fatwa)
Yth bapak KH.M.Tolha Hasan (mantan Menteri Agama)
Yth Syekh Ma’had Az Zaitun (Panji Gumilang)
Yth Mudir LPIA Jakarta (Dr Abdullah as Salam)
Yth Bapak Rektor dan Pembantu Rekror UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Para Anggota Senat Guru Besar, Pimpinan Fakultas dan Lembaga serta Civitas Akademika Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Para Teman Sejawat dan Tamu Undangan serta hadirin sekalian yang berbahagia.
Pertama saya ingin memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita sekalian untuk hadir dalam upacara yang berbahagia ini. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada bapak Rektor UIN yang telah mendorong saya untuk menjadi guru besar di Universitas ini dan juga kepada bapak Dekan Fakutas Tarbiyah yang telah memberi tugas mengajar. Juga kepada teman-teman sejawat yang selalu mendorong untuk tetap mengajar di samping tugas birokrasi selama ini.
Sebagai tanda syukur dan penghargaan kepada UIN yang telah mengusulkan saya menjadi guru besar, maka pada kesempatan ini saya sampaikan di hadapan sidang senat terbuka, beberapa pemikiran tentang ”Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia” sesuai dengan tugas mengajar saya di Fakultas Tarbiyah.
Hadirin Yang Berbahagia
Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang telah hadir, tumbuh dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara ini . Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk pengajian di rumah-rumah, terus ke mushollah, mesjid dan kebangunan sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.
Demikian pula dari segi materi pendidikan, telah terjadi perkembangan dari yang tadinya hanya belajar mengaji Al-Qur’an kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, terus ke pengajaran tauhid, hadis, tafsir, tarikh Islam dan bahasa Arab. Kemudian masuk pula pelajaran umum dan ketrampilan.
Dari segi jenjang pendidikan, telah terjadi pula perkembangan dari belajar mengaji Quran kejenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian berubah ke jenjang Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dipengaruhi secara cukup kuat oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern yang sudah mengajarkan ilmu ilmu agama dan umum, serta sistem pendidikan yang dibawa oleh Pemerintah Belanda .
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar . Kebijakan inilah yang memicu beberapa madrasah dan pesantren mengisolir diri dari intervensi ”dunia luar” dengan tetap mengajarkan hanya pelajaran agama, Namun sekelompok yang lain melihat banyak hal yang menarik dari sistem ”sekolah Belanda”, sehingga menimbulkan gagasan membuka sekolah dengan tambahan pelajaran agama dan ada juga madrasah yang tetap fokus pada pengajaran agama namun dengan mengadopsi sistem sekolah serta tambahan beberapa mata pelajaran umum. Upaya yang kedua terakhir inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi pendidikan Islam.
Hadirin Yang Berbahagia
Adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini, pada awalnya setidaknya ditandai oleh dua kecenderungan yaitu:
Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah-¬sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran Islam ,
Kedua, munculnya madrasah madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda, namun tetap menggunakan madrasah dan lembaga tradisional pendidikan Islam sebagai basis utamanya .
Kedua bentuk usaha ini pada dasarya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan "pendidikan Islam" yang sebenamya pendidikan umum dengan memasukkan pengajaran agama. Kelompok ini biasanya menamakan sekolahnya dengan SDI, SMPI, dan SMAI. Di sisi, lain ada sistem dan kelembagaan "madrasah" yang menitik¬ beratkan pengajaran agama baru kemudian memasukkan pelajaran umum. Kelompok ini menamakan sekolahnya dengan MI, MTs, dan MA.
Hadiran Yang Berbahagia
Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terus berlanjut. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) dalam maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945 (Berita RI Tahun II No. 4 dan 5 halaman 20), menganjurkan, " agar pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan" .
Perhatian pemerintah RI terhadap madrasah dan pesantren ini semakin terbukti ketika Kementerian Agama resmi berdiri pada 3 Januari 1946. Dalam struktur organisasinya, Bagian C adalah bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurusi masalah masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren) .
Namun menarik diamati, perhatian pemerintah yang begitu besar diawal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen agama dan beberapa keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU No.4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar . Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada diluar sistem. Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan dibawah Menteri Agama .
Hadirin Yang Berbahagia
Keadaan inilah yang mendorong tokoh-tokoh Islam menuntut agar madrasah dan pendidikan keagamaan dimasukkan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Reaksi terhadap sikap pemerintah yang mendiskriminasikan madrasah menjadi makin keras dengan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No 15 Tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam Kepres dan Inpres itu sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam.
Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974, pemerintah kemudian mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan mutu madrasah. Dan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Kepres dan Inpres di atas, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri). SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif.
Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD, SMP dan SMA. Kemudian lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Makna SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan kedua, membuka peluang kemungkinan anak¬-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.
Meskipun demikian, bukan berarti SKB Tiga Menteri ini tanpa masalah. Melalui SKB ini memang, status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya. Dengan SKB ini pula alumni MA dapat melanjutkan ke universitas umum, dan vice versa, alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN. Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum, dimana komposisi kurikulum madrasah 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efek penyamaan kurikulum ini adalah berkurangnya muatan agama pada madrasah. Dengan porsi ilmu ilmu agama hanya 30% termasuk Bahasa Arab, tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN, apalagi untuk melanjutkan studi Islam di Timur Tengah dan juga menjadi calon calon ulama . Demikian juga masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum.
Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama baru dicapai dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989., dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran agama Islam .
Kenyataannya beban kurikulum bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Padahal kondisi fasilitas dan latar belakang anak madrasah dan sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah.
Sampai disini persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah. Namun Madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan pengetahuan umum sebagai ciri ke Indonesiaan dan kemodernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan ummat, karena masih ada perasaan pemerintah masih memojokkan madrasah yang porsi pengajaran agama lebih besar di banding pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama”. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama seperti ditunjukkan oleh data madrasah tahun 1994/1995 bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil (48%) dari yang memilih pilihan IPS atau matematika (52%) .
Hadirin Yang Berbahagia
Perjuangan untuk memasukkan madrasah dengan fokus utama pengajaran agama dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 . Dalam undang-undang ini diakui kehadiran Lembaga Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30 .
Ketetapan ini telah memberi tempat yang layak bagi pendidikan keagamaan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu sudah sepantutnya kesempatan penghargaan ini digunakan dengan sebaik-baiknya bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk menata diri sesuai dengan ketentuan perundangan ini. Artinya segera menata pendidikan keagamaan yang mana masuk pendidikan formal, mana yang nonformal dan mana yang informal. Demikian juga mana yang berjenjang dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, yang mana yang tidak perlu berjenjang. Inilah tugas berat Departemen Agama ke depan.
Hadirin Yang Berbahagia
Persoalan lain yang muncul dalam perkembangan madrasah adalah persoalan madrasah diotonomikan sebagaimana sekolah atau tidak. Persoalan ini muncul setelah diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 7 ayat (1) menyatakan kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain). Dilain pihak pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan salah satu dari 11 (sebelas) bidang yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota.
Pertanyaan lanjutan yang muncul dari penafsiran terhadap dua pasal di atas adalah apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan ataukah bidang agama?. Di sini muncul dua pendapat:
Pertama; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan lain yang diasuh Departemen Agama tidak diotonomikan sebagaimana maksud pasal 7 ayat satu dari UU No. 22 Tahun 1999. Ini berarti pendidikan di Departemen Agama dikategorikan sebagai bagian dari sistem agama, bukan bagian dari sistem pendidikan nasional.
Kedua; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan yang dikelola Departemen Agama adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan diotonomikan, maka pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus diotonomikan .
Di sisi lain melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditentukan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk itu, sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda beda.
Hadirin Yang Berbahagia
Kini, Departemen Agama dihadapkan pada dua pilihan sulit di atas: (1) tetap mengelola madrasah secara sentralistik, artinya tidak mengotonomikan; atau (2) menugaskan kepada pemerintah daerah tingkat II untuk mengelola madrasah, sebagai konsekwensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan.
Pilihan satu dari keduanya, pastiL ada plus minusnya, tergantung kepentingan dan kebutuhan Departemen Agama maupun madrasah itu sendiri. Sampai dengan pidato ini ditulis, pilihan satu dari keduanya belum ditentukan secara eksplisit, namun kita bisa memetakan, mencari jalan keluar, membuat pilihan pilihan strategis, atau mengkaji untung dan ruginya kalau salah satu dari keduanya menjadi pilihan kita.
Kalaulah sentralisasi (tidak diotonomikan) tetap sebagai pilihannya, maka Departemen Agama masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah¬ di seluruh Tanah Air sebagaimana selama ini. Pilihan ini mengandung makna bahwa Departemen Agama memandang madrasah berada dalam kategori sektor agama sebagaimana telah disinggung di atas. Sumber dana yang diberikan untuk melaku¬kan pembinaan dapat secara langsung dikelola oleh Departemen Agama. Sementara daerah menjadi pelaksana dari kebijakan pusat seperti selama ini berjalan. Bahkan, pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Agama- berhak menentukan jenis jenis program dan target yang semestinya dicapai oleh masing masing madrasah di pelbagai tingkatannya. Sekilas, kelihatannya pilihan ini sangat menguntungkan. Namun, bila dikaji lebih jauh, temyata, pilihan ini bisa menimbulkan empat kerugian yang mungkin timbul.
Pertama, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 yang memberikan sentralisasi pada lima, bidang di atas, maka dapat dipastikan bahwa sumber dana pembinaan madrasah berasal dari sektor agama dan boleh jadi ditambah dari sektor pendidikan yang porsinya sudah banyak didaerahkan.
Kedua, boleh jadi madrasah tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi menjadi bagian dari sistem agama. Sedangkan undang¬-undang di atas justru menyerahkan pengelolaan pendidikan, sepenuhnya kepada pemerintah daerah tingkat II. Konsekuensinya, madrasah tidak akan pemah mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dari pemerintah daerah di mana madrasah itu berada.
Ketiga, boleh jadi budaya otonomi pendidikan kepada madrasah akan terganggu oleh keputusan politik dari pusat.
Keempat, birokrasi tetap tidak efesien, berbelit belit sehingga ada persoalan dari bawah tidak segera teratasi.
Hadirin Yang berbahagia
Jika altematif kedua menjadi pilihan, maka Departemen Agama menyerahkan pengelolaan madrasah ke tangan pemerintah daerah tingkat II. Itu berarti, Departemen Agama (Pusat) akan ”kehilangan” sasaran pengelolaan madrasah . Dengan demikian, peran Departemen Agama menjadi ”mengecil” sebatas urusan bidang agama semacam haji, zakat, infaq, sadaqah, wakaf, nikab, talak, rujuk, masjid, tempat ibadah lainnya dan hubungan antar umat beragama.
Ada sekitar lima keuntungan manakala altematif kedua ini menjadi pilihan. Pertama, madrasah akan segera "dikukuhkan" dan "diakui" menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan pengukuhan dan pengakuan tersebut, madrasah akan memperoleh perlakuan sejajar tidak lagi didiskriminasi dengan sekolah umum.
Kedua, budaya otonomi pendidikan pada madrasah akan tumbuh subur dengan berkurangnya intervensi dari pusat, sehingga para guru dan kepala madrasah dapat lebih leluasa merumuskan program kerja yang lebih realisitis dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, madrasah melalui guru dan kepala madrasahnya dapat memanfaatkan secara maksimal ”stakeholders” madrasah untuk kepentingan peningkatan kualitas madrasah tanpa harus menunggu juklak dan juknis dari pusat.
Keempat, fokus pembinaan dari pusat yang selama ini lebih menekankan pada persoalan administrafif dapat dikurangi, dan lebih difokuskan pada:
a) menetapkan standar mutu akademik lulusan madrasah perjenjang;
b) menfasilitasi dalam menumbuhkan wadah wadah bagi auditor mutu di masing masing daerah;
c) memfasilitasi pembangunan jaringan antar daerah; dan
d) memfasilitasi kerjasama dengan sekolah sekolah luar negeri melalui program linkage, program kembar (twinning) ataupun franchising.
Kelima, memberikan peluang kepada madrasah untuk mengembangkan pendekatan kemitraan antar madrasah atau lembaga lembaga yang memayungi madrasah.
Hadirin Yang Berbahagia
Pertanyaan lain yang timbul, jika pendidikan dilingkungan Departemen Agama tidak ditugaskan kepada Daerah, bukan tidak mungkin Daerah merasa kurang bertanggung jawab terhadap madrasah dan menganggap madrasah adalah tugas dari pemerintah pusat (Departemen Agama). Bila muncul perasaan dan sikap seperti ini, maka akan terjadi dengan sendirinya perlakuan yang berbeda antara sekolah dan madrasah di daerah. Ini berbahaya dan dapat menimbulkan kesenjangan kembali antara madrasah dan sekolah yang telah dialami begitu panjang (sejak UU No. 4 Tahun 1950 s/d UU No. 2 Tahun 1989).
Bukankah perasaan didiskriminasikan dan dianak tirikan oleh Diknas dan Pemerintah Daerah begitu menyakitkan. Akankah muncul lagi diskriminasi dan penganaktirian tersebut, hanya gara-gara ”mempertahankan kekuasaan”. Lebih-lebih lagi dengan telah ditetapkannya UU Sidiknas No. 20 Tahun 2003, dimana madrasah sudah dikelompokkan sebagai sekolah umum tidak lagi sebagai ”pendidikan keagamaan” [lihat pasal 17 ayat (2) dan 18 ayat (3)]. Bukankah ini memberi indikasi lagi bahwa sudah waktunya madrasah diserahkan kepada Daerah sebagaimana sekolah yang sudah lebih dahulu diserahkan.
Memang ada kekhawatiran sebagian pihak , bahwa kalau madrasah diserahkan kepada Daerah timbul kekhawatiran jangan-jangan ciri khas madrasah tidak dapat dipertahankan sehingga madrasah tidak ada bedanya dengan sekolah. Bukankah pengelola pendidikan di Diknas itu bukan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan madrasah, sehingga mereka tidak dapat memahami ”ruh” dari madrasah, sehingga dikhawatirkan kebijakan-kebijakan yang diambil akan menghilangkan ciri khas dari madrasah itu sendiri. Kekhawatiran tersebut adalah lumrah sebagai bentuk tanggung jawab, namun yang paling bijak bukannya menghentikan proses pemberian otonomi tapi mengkaji lebih dalam dan mencarikan solusi yang paling menguntungkan bagi madrasah.
Hadirin Yang Berbahagia
Mungkin dengan membentuk forum pengkajian otonomi madrasah. Boleh jadi ide untuk ”bedol desa” pendidikan di Departemen Agama ke Departemen Pendidikan Nasional dan ke Pemerintah Daerah suatu hal yang dapat menjadi bahan diskusi. Dengan ”bedol desa” tersebut kekhawatiran bahwa di Diknas dan di Pemda tidak mempunyai SDM yang mengenal ”ruh” madrasah dan kurang berpihak kepada madrasah dapat dihindari. Dengan demikian kekhawatiran ciri khas madrasah akan hilang atau pudar menjadi tidak beralasan. Bedol desa dengan arti seluruh perangkat dan personal pengelola pendidikan di Departemen Agama pindah (boyong) ke Diknas termasuk perangkat di daerah pindah ke Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka madrasah tidak akan terisolir atau diisolir oleh sistem , tapi menjadi bagian yang kokoh dari sistem dan perlakuabn diskriminatif ataupun dianak tirikan tidak akan muncul.
Demikian pula kekhawatiran kekurangan guru bidang studi umum yang diberikan Diknas sedikit, serta anggaran pendidikan untuk Departemen Agama belum proposional tidak akan muncul. Hal yang lebih penting lagi perlakuan diskriminatif dalam pemberian dana bantuan bagi guru sekolah dengan guru madrasah akan dapat dihindari, sehingga perasaan sesama guru menjadi makin kokoh antara sesama pendidik. Banyak lagi barangkali keuntungan yang didapat madrasah, yang terang perlakuan terhadap madrasah akan sama dengan sekolah.
Hadirin Yang Berbahagia
Memang ada juga pemikiran yang ”akomodatif” atau disebut ”paro-paro” yang menginginkan pendidikan madrasah tetap dibawah Departemen Agama secara struktural, namun pengelolaan pada tingkat daerah diotonomikan sejalan dengan diberlakukannya undang undang tersebut. Sebab, otonomi pendidikan di madrasah dimaksudkan sebagai: desentralisasi pengelolaan madrasah;
Kebijakan ini sepertinya merupakan ”kompromi”, namun tetap perlu dikritisasi, karena memang dapat memecahkan persoalan di tingkat Daerah, namun belum memecahkan persoalan di tingkat pusat antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Pada tingkat pusat masih banyak persoalan yang dapat memunculkan diskriminasi lagi seperti persoalan pembagian alokasi dana. Bukankah alokasi dana pendidikan ditentukan oleh Departemen Pendidikan bersama DPR (komisi X dan Komisi Anggaran)? Sedangkan Departemen Agama bermitra dengan Komisi VIII. Demikian juga struktur pendanaan pada sektor pendidikan yang terbagi atas Program Wajib Belajar Sembilan Tahun; Program Pendidikan Menengah; Program Pendidikan Tinggi dan Program Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan yang secara tidak langsung mencerminkan Direktorat Jenderal di Departemen Pendidikan Nasional?
Lalu dimana untuk Madrasah dan Pendidikan Keagamaan? Tentu ini akan memerlukan ”perjuangan yang keras” dan kerajinan serta ketekunan pihak Departemen Agama untuk tidak ”tertinggal atau ditinggalkan”. Inilah berbagai kemungkinan yang perlu didiskusikan lebih lanjut dengan semangat ”memberi peluang dana dan fasilitas yang proporsional serta tidak merugikan madrasah dan pendiidkan keagamaan” itu sendiri.
Wallahu a’lam bissawab.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Bambuapus, 10 September 2005
Husni Rahim
FOTO-FOTO PENGUKUHAN GURU BESAR
No comments:
Post a Comment