Senin 29 Juni 2009
Oleh Prof.Dr.Husni Rahim
Saat ini kita dihadapkan pada realitas bahwa mutu pendidikan kita tercatat paling lemah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Parameter umum yang sering digunakan orang untuk melihat mutu pendidikan seperti HDI (human development index) Indonesia yang masih berada di peringkat 107, hanya satu tingkat di atas Laos. Prestasi siswa–siswi kita dalam matematika, sains, dan membaca dapat kita telusuri dari laporan TIMSS (Trends in Mathematic and Science Study) dan PISA (Programme for International Student Assessment).TIMSS adalah suatu program kajian untuk melihat penguasaan atau prestasi sains dan matematika siswa-siswi kelas 8 yang dirancang oleh IEA (International Association of Educational Achievement). Laporan TIMSS itu menyebutkan hasil atau prestasi siswasiswi Indonesia dalam sains dan matematika masih di bawah standar average score TIMSS(500). Dalam bidang studi matematika, siswasiswi Indonesia memperoleh skor 307.Adapun rekan-rekan mereka dari Singapura,Malaysia, Thailand masing-masing mendapatskor 593, 474, 444. Juga Siswa-siswi Indonesia memperoleh skor 427 dalam sain,dibawah hasil rekan-rekan mereka dari Singapurayang memperoleh skor 567,Malaysia 471, dan Thailand 471 (William et all, 2008:17-33).Indonesia termasuk peserta PISA yaitu program OECD diselenggarakan tiga tahun sekali untuk siswa berusia 15tahun. PISA melakukan assessment terhadap pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan di masyarakat pascastudi. Adapunfokus PISA adalah kompetensi (penguasaan) dalam membaca,matematika, dan sains. PISA tidak hanya mengevaluasi kemampuan siswa mereproduksi apa yang telah dipelajari,juga menguji seberapa kemampuan siswa melakukan ekstrapolasi dari apa yang dipelajari danmenerapkan pengetahuan dalam setting baru, menghubungkan konteks sekolah dan luar sekolah. Fokus PISA 2006 pada penguasaan sains, yaitu memahami konsep dan teori dasar ilmiah serta kemampuan membangun dan memecahkan persoalan ilmiah. Fokus ini dimulai dengan bingkai atau konsep literasi yaitu kemampuan siswa mengekstrapolasi dari yang dipelajari dan menerapkannya dalam situasi baru, kemampuan siswa menganalisis, berpikir (membuat alasan) dan berkomunikasi secara efektif, memecahkan masalah dan menafsirkan problema dalam situasi yang beragam. Berdasarkan tes PISA 2006, siswa-siswi Indonesia baru mencapai skor 393, sedangkan standar skor minimal 500 (OECD, 2007).Meski dalam beberapa tahun ini kita agak terhibur dengan prestasi beberapa orang siswa SMA pada kontes keilmuan tingkat dunia, kita juga harus mencermatinya dalam konteks pemerataan mutu dan akses pendidikan bermutu bagi seluruh warga bangsa,mengingat dana yang dikeluarkan untuk acara bergengsi itu tidaklah sedikit dan bersumber dari anggaran negara. Ada beberapa pertanyaan kritis patut kita ajukan sebagai refleksi, seperti, “Apakah mereka yang menghasilkan prestasi cemerlang itu secara otomatis akan memberi kontribusi terhadap peningkatan mutu pendidikan Indonesia secara keseluruhan? Atau apakah prestasi mereka mencerminkan mutu pendidikan (sekolah) yang mengirimnya? Atau janganjangan kita tak memiliki kesamaan pandangan tentang mutu pendidikan yang sebenarnya.”
Belajar dalam konteks ini bukan semata mendapatkan banyak informasi, namun memperluas atau mengembangkan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar diperlukan dalam kehidupan (lifelong generative learning). Model expert atau pengalaman autentik lebih menekankan nilai, prilaku, dan kemampuan profesional yang memberikan layanan pendidikan. Para profesional adalah pihak yang paling dekat dengan peserta didik dan memiliki pengetahuan yang diperlukan dalam pengambilan keputusan di sekolah. Mutu merupakan mark yang tidak bisa ditawar-tawar yang menunjukkan tingkat pencapaian yang tinggi.
Mutu, menurut Adams (1995), merupakan hasil interaksi dari elemen-elemen, yaitu murid, guru, dan tenaga pendidikan lainnya (proses penyelenggaraan pendidikan seperti mutu pembelajaran).Mutu direpresentasikan dengan:
(a) pengetahuan, keterampilan, dan informasi yang dialihkan dan ditransformasikan kepada peserta didik;
(b) capaian atau prestasi akademik (cognitive skills), jumlah murid yang melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi;
(c) outcome direpresentasikan dengan parameter, misalnya, status pekerjaan atau lulusan yang terserap dalam lapangan kerja; dan
(d) nilai tambah yaitu akibat, pengaruh (infl uence), dan hasil (effect) institusi atau sistem pendidikan atau peserta didik.
Mutu pendidikan dapat dilihat dari dimensi nonakademik yaitu sikap dan perilaku yang tertanam pada peserta didik seperti berpikir kritis dan bersikap terbuka terhadap pandangan yang berbeda, logis, empati, apresiatif terhadap keragaman (Archibold, 2001) atau dalam bahasa agama mutu pendidikan juga harus diwujudkan dalam tampilan akhlak mulia.
Konsep yang terakhir hampir dilupakan dalam diskursus pendidikan kita. Kita nyaris terbelenggu dengan tampilan fi sik dan selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi semata. Misalnya, sebagian orang lebih menaruh perhatian kepada outcome pendidikan dengan pasar kerja sebagai ukuran utama keberhasilanpendidikan. Ketidakmampuan lulusan lembaga pendidikan atau sekolah dalam dunia kerja menjadi kritik utama. Sebagian pihak lebih berkutat pada UN (ujian nasional) sebagai penentu keberhasilan pendidikan, seakan apabila tidak ada UN dunia pendidikan kita tidak memiliki standar.
Di sisi lain, sikap dan perilaku akhlak karimah yang seharusnya dihasilkan melalui pembelajaran (hidden curriculum) termasuk dalam UN acap kali diabaikan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan kalau upaya-upaya jalan pintas yaitu membantu peserta didik dengan jalan tidak bermartabat untuk sukses UN ditempuhnya. Sementara itu, kegagalan sebagian peserta didik dalam UN demi mempertahankan kejujuran acap kali disalahpahami. Usaha tidak bermartabat dianggap kasual atau isu pinggiran, sehingga tidak memperoleh perhatian serius dari otoritas. Padahal, pembiaran terhadap upaya tersebut merupakan langkah atau sikap permisif terhadap tindakan koruptif yang menodai misi suci pendidikan dan sebagai langkah awal menanamkan perilaku tidak terpuji (akhlak madzmumah) di kalangan anak bangsa.
Mutu pendidikan pada tingkat basis ditentukan oleh beberapa elemen yang berfungsi sebagai prasyarat dan syarat (effective schools atau excellent school). Dalam beberapa studi lama tentang pendidikan bermutu atau sekolah bermutu atau efektif (dalam pengertian sempit) yang masih signifi kan dipertimbangkan antara lain diperkenalkan oleh Caldwell dkk (1991) atau Samomons et all (1995) tentang perlunya pemberdayaan sekolah yang berorientasi pada mutu.
No comments:
Post a Comment