Saturday, January 06, 2024

Madrasah Pembangunan Dalam Lintasan Sejarah Pendidikan Islam Indonesia

Madrasah Pembangunan (MP) kini berusia 49 tahun hampir setengah abad. MP saat ini telah diakui sebagai salah satu madrasah unggul, tentu  tidak muncul secara tiba-tiba tapi melalui proses panjang yang penuh tantangan dan hambatan. Alhamdulillah MP mampu mengatasinya secara kreatif. 

 

Kita tahu pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidak saja dipengaruhi oleh faktor internal madrasah tapi juga oleh faktor ekternal berupa berbagai aturan dan kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut ada yang bersifat membantu tapi banyak juga yang menghambat. Hal tersebut dapat kita lihat dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia di bawah ini. 

 

Ketika MP lahir tahun 1974 posisi madrasah tengah mengalami ketegangan karena didiskriminasi dan belum diakui eksistensinya dalam undang-undang. Baru pada tahun 1975 dengan keluarnya SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) madrasah diakui sama dengan sekolah. Namun dengan catatan porsi kurikulum agama berubah dari 70% menjadi 30 % dan 70% nya untuk pelajaran umum. Lulusan madrasah bisa masuk ke sekolah dan perguruan tinggi umum sebagaimanan lulusan sekolah. 

 

Dengan keluarnya SKB 3 Menteri ini, MP harus menyesuaikan kurikulumnya. Untungnya MP baru berjalan satu tahun sehingga lebih mudah menyesuaikan dirinya. Kebanyakan madrasah telah menerapkan porsi pelajaran umum 70% dan pelajaran agama yang 30% . Tampaknya MP langsung menggunakan Kurikulum SKB 3 Menteri dengan porsi  Pendidikan Umum 70 % dan Pendidikan Agama 30 % sesuai SKB 3 Menteri, sehingga alumni Madrasah Pembangun dapat melanjutkan di sekolah umum dan juga perguruan tinggi umum . MP ketika itu berpromosi bahwa lulsan MP dapat melanjutkan ke sekolah umum dan perguruan tinggi umum di samping ke madrasah dan perguruan tinggi agama Islam, sebagaimana diuraik an pada bagian 1 di latar belakang  pendidirian MP.

 

Tantangan MP dalam menggunakan kurikulum SKB 3 Menteri cukup berat, karena kualitas pelajaran umumnya harus baik bahkan lebih baik dari sekolah agar dapat menjadi pilihan utama masyarakat. Di sisi lain MP juga harus mencerminkan ciri madrasah sebagai sekolah agama yang tampak dari  muridnya yang taat beribadah, mampu membaca Al-qur’an dan berakhlak baik serta kelihatan  pula dari suasana keagamaan di MP. 

Bagaimana MP mensiasati agar kualitas lulusannya sama bahkan lebih dari lulusan sekolah yang mengajarkan pelajaran umumnya 100%, sedangkan MP hanya mengajarkan dengan porsi 70%. Di sisi lain, MP harus menerapkan pelajaran agama 30%.  

 

Tantangan berikutnya, setelah umat Islam berhasil memasukkan  madrasah dalam sistem Pendidikan Nasional melalui  UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Posisi madrasah makin kuat karena sudah dalam UU Pendidikan Nasional bukan lagi SKB 3 Menteri. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah ditambah ciri khas agama Islam.  Ini bermakna kurikulum madrasah 100% plus mata pelajaran ciri khas. Berarti beban kurikulum madrasah jauh lebih berat dari beban sekolah. Apalagi bila madrasah menerjemahkan ciri khas Islam itu dengan mengajarkan pelajaran agama yang selama ini sudah ada di madrasah yaitu Al-Qur’an, Hadist, Tauhid, Fiqh dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Perjemahan seperti ini tentu memperberat beban madrasah dibanding sekolah. Beratnya beban tersebut akan berdampak pula pada kualitas, sehingga sulit bagi madrasah untuk menyaingi kualitas sekolah. Masih muncul pemikiran banyak madrasah bahwa madrasah harus menyiapkan calon ulama, namun dengan posisi pelajaran Islam hanya dalam bentuk ciri khas Islam, tentu sangat terbatas waktu yang tersedia. 

 

Sebenarnya dalam perjuangan umat Islam untuk mendapatkan pengakuan pemerintah itu adalah masuknya madrasah dan LPI lainnya (Pendidiikan keagamaan) dalam  Sistem Pendidikan Nasional. Namun perjuangan yang didapat dalam UU No. 2 tahun 1989 baru pengakuan madrasah saja.  Sehingga madrasah keagamaan yang berfokus penyiapan calon ulama yang berpengetahuan umum belum diakui. Barulah nanti perjuangan di UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berhasil diakui oleh pemerintah.

 

Madrasah Pembangunan berada dalam arus dan gejolak perubahan kebijakan pemerintah tersebut. MP menghadapi dan harus menerapkan kurikulum 70% umum dan 30% agama pada SKB 3 Menteri. Lalu menghadapi lagi kurikulum 100% sama sekolah plus ciri khas Islam pada UU.No.2 Tahun 1989. 

 

 MP berhasil menampilkan diri sebagai madrasah yang berani bersaing dengan sekolah dalam kualitasnya serta menampakkan ciri khas sebagai sekolah Islam dalam suasana dan gejolak kebijakan pemerintah tersebut. . Inilah yang menjadi daya tarik MP. Keberhasilan ini ditamapakkan denga banyaknya program yang dilakukan MP secara bertahap seperti berikut ini

 

Dalam menghadapi tantangan berat tersebut MP berusaha keras agar lembaganya tetap eksis dan unggul sambil mengikuti gerak dan gejolak  perkembangan kebijakan pemerintah seiring dengan perjuangan umat Islam dalam menghadirkan madrasah dan LPI sebagai bagian dari pendidikan nasional.

Madrasah Pembangunan cukup jeli memilih strategi dan program untuk tetap eksis dan berkualitas serta mampu bersaing dengan sekolah umum. Strategi dan program tersebut dapat kita lihat dari uraian tiga bagian utama buku ini.  Bagian I, Konteks Sosial Kesejarahan, Bagian II, Perkembangan MP, dan Bagian III, Dinamika Sosial Kelembagaan.

 

Ada hal yang menarik dalam pembinaan dan pengembangannya MP menerapkan tiga strategi dasar yaitu penguatan lembaga , pembinaan SDM guru dan tenaga kependidikan dan penambahan sarana prasarana. Kebijakan MP ini sesuai dengan hasil penelitian UNDP bahwa kualitas suatu sekolah ditentukan oleh Guru 48%, Manajemen 30% dan sarpras 22%.. MP tampaknya mengikuti pola ini dimana perhatian pada pembinaa diarahkan pada tiga aspek tadi seperti diungkapkan dalam bagian dua dan bagian empat buku ini. 

 


Guru menjadi fokus utama, karena dalam penerapan konsep best proses memerlukan guru professional, guru panggilan hati yang mencintai muridnya serta memiliki kemampuan mendidik secara baik. Guru MP dilatih menggunakan bahan ajar digital dalam upaya PBM berbasis digital serta berbagai program peningkatan kualitas guru telah dan akan terus dilakukan.

Fokus manajemen yang dilakukan MP juga cukup strategis di mulai dengan penguatan lembaga, memperbaiki tata kelola dan melakukan digitalisasi madrasah serta penggunaan podcast sebagai media komunikasi serta menetapkan pola belajar full day dan juga penggunaan paperless dalam keseharian serta bermitra dengan berbagai Lembaga luar. 

Fokus sarana, walaupun perannya tidak sebesar guru dan manajemen, tapi menjadi penunjang untuk memudahkan, mempercepat capaian dan membuat suasana menyenangkan juga menjadi perhatian MP. Walaupun dalam buku ini tidak diuraikan secara khusus. Perhatian terhadap sarana dan prasarana tersebut. 

Perkembangan MP seirama dan mengikuti perjuangan umat Islam agar madrasah/LPI  mendapatkan pengakuan dan penghargaan yang sama dengan sekolah sebagai bagian dari sistem Pendidikan Nasional. Perjuangan umat Islam itu tersebut dapat kita kategorikan dalam tiga tahapan besar yaitu; pertama, keragaman Lembaga Pendidikan Islam (LPI) sebelum dan di awal  kemerdekaan. Kedua, pejuangan menuntut eksistensi dan, Ketiga Perjuangan menampilkan keunggulan dan siap bersaing 

1.   Keragaman Lembaga Pendidikan Islam sebelum dan di awal kemerdekaan

Sebelum madrasah hadir telah ada lembaga pendidikan keagamaan dalam bentuk, pesantren, meunasah, surau, rangkang dan berbagai bentuk lain yang mengajarkan agama Islam baik untuk menyiapkan ulama maupun untuk membuat orang menjadi muslim yang baik.  Kemudian di sisi lain telah ada juga lembaga pendidikan  yang di bawah pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dalam bentuk sekolah yang diperuntukan bagi  golongan Eropa, bagi golongan Timur Asing dan bagi golongan Bumi Putera yang fokus mengajarkan ilmu-ilmu umum untuk menyiapkan kelompok intelektual dan kelompok pegawai pemerintahan kolonial Belanda. Kedua bentuk lembaga pendidikan tersebut berbeda fokusnya. Satu fokus pada pengajaran agama dan satu lainnya fokus pada pelajaran umum. 

Mencermati  dua pola pendidikan tersebut, para tokoh nasionalis dan agama (Hatta, Sukiman, Natsir, Hasyim Asyari… melihat bahwa dua tujuan lembaga pendidikan tsb diperlukan untuk bangsa Indonesia. Namun tidak dalam bentuk dikhotomis tapi dalam bentuk sinergis.  Pengajaran agama tetap diperlukan dan pengetahuan umum juga diperlukan. Muncul ide dari beberapa tokoh Islam untuk memadukannya dalam suatu lembaga pendidikan. Lalu bentuknya seperti apa?. Lahirlah ide membuat sekolah agama yang juga mengajarkan pelajaran umum yang kemudian dikenal dengan nama Madrasah.  Jadi ide dasar dari lahirnya madrasah ingin menghasilkan dua produk dari lembaga pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Ketika itu dikenal istilah ”menyiapkan ulama yang intelek dan intelektual yang ulama”. Kalau kita terjemahkan secara lebih aktual menyiapkan calon intelektual sebagai seorang muslim yang baik. Begitu juga sebaliknya menyiapkan calon ulama yang berpengetahuan umum yang baik.

Pada awalnya bentuk sinergi tersebut di coba dengan adanya pelajaran agama dan pelajaran umum di madrasah. Kemudian muncul perdebatan bagaimana membagi fokus agama dan umum tersebut. Ada pendapat pada madrasah porsi agamanya harus lebih banyak dari porsi pengetahuan umum. Pendapat lain pengetahuan umumnya harus lebih banyak dari pengetahuan agama. Ada juga yang berpendapat  sama banyak muatan agama dan umum di lembaga pendidikan tersebut. 

Pada kenyataannya materi yang porsi umumnya lebih banyak dari agama membuat lembaga pendidikan dengan nama ”Sekolah Islam” dan yang porsi agamanya lebih banyak dari pengetahuan umum memberi nama lembaga pendidikannya dengan ”madrasah”. Penamaan madrasah pengaruh dari Timur Tengah dari Bahasa Arab dan penamaan sekolah pengaruh dari Barat (Belanda dan Inggeris menyebut school dan Perancis  menyebut e`cola hampir mirip dengan Portugis menyebut ecola). Untuk jelasnya lihat bagan berikut ini:


 

Gambaran tersebut dapat kita lihat dengan munculnya beragam nama dan bentuk  lembaga pendidikan Islam seperti berikut ini:

1.     Pesantren Tebu Ireng; 1899

2.     Madrasah Jami’at Khair 1905 

3.     Mambaul Ulum Surakarta (sekolah penghulu) 1905

4.     Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung (1907)

5.     Sekolah Adabiyah (1909) di Padang

6.     Normal Islam (Mahmud Yunus 1913) di Padang

7.     Sumatra Thawalib (1916) di Padang Panjang

8.     HIS met de Qur’an Muhammadiyah

9.     Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta

10.  Mu’allimin Muhammadiyah, Solo, Jakarta

11.  Kulliyatul Muballighin/ Muballighat, Padang Panjang

12.  Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah dll

Lembaga-lembaga pendidkan Islam tumbuh dan berkembang dengan baik. Kehadiran LPI ini telah memberi peluang yang lebih luas bagi anak-anak Bumi Putera yang sangat sulit untuk masuk di lembaga pendidikan sekolah pemerintah kolonial Belanda.  LPI tersebut tumbuh subur dan berkembang luas dengan semangat memajukan umat Islam. LPI tumbuh dan berkembang dengan menampilkan identitas berwujud LPI/madrasah yang  IslamiPopulisBeragam dan Berkualitas

Islami pada LPI/madrasah, mencerminkan pendidikan madrasah sebagai  lembaga pendidikan yang suasana dan kehidupan para peserta didik, pendidik dan para penghuni lainnya mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Islami merupakan identitas utama yang harus tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikan. Berbeda dengan lembaga pendidikan sekuler,  pendidikan di madrasah dilaksanakan dengan mengejawantahkan nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan dan perilaku semua komponen pendidikan mulai dari pimpinan sampai dengan siswa. Karakter Islami, yang pertama dan utama, berarti kesadaran sebagai pribadi muslim untuk menjalankan secara konsisten perintah dan larangan agama dalam segala situasi dan kondisi, termasuk di lingkungan. madrasah. Selain itu, karakater Islami berarti orientasi pendidikan yang holistik dan tidak terbatas pada cita‑cita praktis, karena menempatkan nilai‑nilai spiritual dan transedental [ketuhanan] dalam proses pencapaia tujuan pendidikan. Karakter Islami juga berarti strategi pembelajaran keagamaan yang tidak verbalistik sehingga. memudahkan siswa untuk mengembangkan ketrampilan dan wawasan keislamannya secara terpadu. Di samping ketiga. makna di atas, karakter Islami dari madrasah itu berarti ajakan dan seruan bagi lingkungan sekitar madrasah untuk meningkatkan syiar Islam melalui media pendidikan. Ciri Islami ini tercermin baik dalam kurikulum, aktifitas madrasah, pola tingkah laku penghuni madrasah, dan suasana lingkungan  madrasah

Populismerupakan gambaran bahwa madrasah itu lahir dan dibesarkan oleh dan untuk masyarakat. Hampir seluruh madrasah muncul atas inisiatif masyarakat yang peduli dengan anak di sekitamya yang memerlukan pendidikan. Memang pada awalnya dimulai dengan kebutuhan pendidikan agama tingkat dasar seperti belajar mengaji, belajar shalat , mendoa dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan munculnya dan berkembangya Islam di daerah tersebut. Dalam banyak kasus, sekali mengabaikan watak populisnya, madrasah akan mengalami kematian karena ditinggalkan oleh massa pendukungnya. 

Watak populis dari madrasah ini sangat relevan dengan tuntutan essensial ummat manusia sepanjang masa yang membutuhkan persaudaraan, saling kasih, dan semangat memberdayakan kaum tertindas. Dengan kata lain, madrasah hendaknya dilaksanakan dalam semangat yang merakyat sehingga. melahirkan hasil pendidikan yang berprestasi dan sekaligus perduli dengan nasib sesama.

Berkualitas, artinya berorientasi pada mutu. Kualitas pedidikan itu tercermin dalam dua tataran: proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses pendidikan menggambarkan suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis serta konsisten dengan program dan target pembelajaran. Sedangkan hasil pendidikan menunjuk pada kualitas lulusan dalam bidang kognitif, affektif, dan psikomotorik. Jika gagal dalam mewujudkan visi ini, madrasah, akan tertinggal dari lembaga-lembaga pedidikan lain. 

Berkualitas dicerminkan pada kegiatan dan nilai akademik yang diperoleh madrasah tersebut. Baik yang dapat dan dilihat dari  hasil belajar siswa berupa nilai pada ulangan, kenaikan kelas, ujian akhir (NEM) maupun ujian masuk perguruam tinggi (UMPTN). Berkualitas ini tampak pula dengan banyaknya prestasi yang dicapai oleh siswa madrasah , baik dalam bidang  seni, bahasa, komputer, olahraga , ketrampilan dan lain-lain .  Sisi lain dari berkualitas  adalah kemampuan siswa dan lulusan madrasah masuk dan bersaing dalam dunia global. 

Beragam menunjukkan adanya fieksibilitas dalam pelaksaaan pendidikan, sehingga muncul berbagai model LPI sesuai dengan tujuan dan kekuatan yang dimilikinya seperti tampak dari 12 LPI yang telah disebutkan sebelumnya. Keragaman tersebut mendorong kreatifitas LPI dalam pengelolaan dan pengembangannya. Di sisi lain keragaman tersebut telah memberi pilihan bagi masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan yang mereka inginkan. 

Munculnya kebijakan pemerintah dengan penyeragaman yang terjadi selama tiga dekade terakhir disadari telah mematikan kreatifitas pengelolaan dan pengembagan madrasah. Hal ini sekaligus bertentangan dengan watak populis yang meniscayakan adanya lembaga, model, dan pendekatan pendidikan yang bervariasi sesuai dengan kompleksitas masyarakat. Pemerintah hendaknya membiarkan tumbuh dan berkembangnya aneka ragam lembaga pedidikan Islam, mulai dari pesantren, madrasah, majelis taklim, sampai dengan kelompok kajian usra. Dalam waktu yang bersamaan, setiap lembaga pendidikan Islam hendaknya juga dibiarkan berkembang dalam keanekaragaman tipe, mulai dari madrasah‑umum, madrasah kejuruan, madrasah keagamaan, sampai dengan madrasah model. Sementara itu, dalam proses pembelajarannya, pendidikan Islam dapat mengembangkan berbagai strategi yang menjamin effektifitas pedidikan. Pola pendekatan yang tuggal akan menimbulkan kejenuhan siswa dalam belajar.

Kekuatan lain dari LPI adalah pengelolaannya yang berbasis masyarakat dan bersifat otonom. Kedua bentuk ini dikenal dengan istilah Community Base Education dan School Base management yang populer saat ini.

Community Base Education bermakna bahwa LPI itu tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan untuk masyarakat, Hal ini ditandai hampir seluruh LPI adalah Lembaga swasta (milik masyarakat).  Pertumbuhan dan perkembangan LPI secara cepat dari segi kuantitas, namun belum diiringi dari segi  kualitas. Ini konsekuensi LPI yang bersifat “populis/massif” yang selalu cenderung memekar dan belum sempat mendalam. Keterikatan masyarakat terhadap madrasah lebih dinampakkan sebagai “ikatan emosional keagamaan” yang tinggi. Ikatan ini muncul karena bertemunya dua kepentingan. Pertama, hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperanserta dalam pendidikan, dan kedua motivasi keagamaan untuk ber-“tafaqquh fid dien”.

School  Based Management bermakna bahwa pengelolaan sekolah didasarkan oleh adanya manajemen berbasis sekolah (MBS) yang memberikan kewenangan, kepercayaan dan tanggungjawab yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah, mencari dan mengembangkan serta mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia, dan memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Denga otonomi tersebut LPI dapat menentukan jenis keunggulan apa dari Lembaga pendidikannya dan ciri khas apa yang membedakan dengan madrasah/sekolah lain .   Keragaman dan ketidak tergantungan dengan pusat dan birokrasi telah membuat madrasah pada masa lalu banyak yang ber”gengsi”.

Konsep school based management dan community based education yang didorong oleh pemerintah saat ini, ironisnya merupakan konsep yang melekat dan akrab dengan madrasah pada awalnya. Sayang madrasah “terpaksa” meninggalkan konsep tersebut karena tergilas dengan konsep sentralisasi dan penyeragaman yang dilakukan pemerintah.

2.   Pejuangan menuntut pengakuan eksistensi.LPI

a.   Upaya integrasi madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional

Setelah Indonesia merdeka dan lahirnya UU Pendidikan yang pertama (UU no. 4 tahun 1950 jo UU no. 12 th 1954) tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran. Dalam UU ini  lembaga pendidikan keagamaan dan madrasah belum masuk dalam sistem pendidikan tersebut. Ini bermakna belum diakui sebagai bagian dari lembaga pendidikan. Walaupun sebelarnya dalam salah satu pasalnya disebutkan untuk lembaga pendidikan keagamaan dan madrasah akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Sayangnya undang-undang  tersendiri itu tidak pernah keluar. Untuk lebih jelasnya posisi lembaga pendidikan keagamaan dan madrasah dalam sistem pendidikan nasional setelah UU No.4 th 1950 jo no 12 tahun 1954 lihat bagan berikut ini



Posisi lembaga pendidikan keagamaan dan madrasah yang masih berada di luar sistem itu berdampak munculnya diskriminasi perlakuan terhadap pendidikan lembaga keagamaan dan madrasah. Diskriminasi makin dirasakan ketika pemerintah membuat berbagai aturan  yang bersifat sentralisasi, uniformisasi dan formalisasi. Kebijakan-kebijakan tersebut memaksa lembaga pendidikan keagamaan dan madrasah untuk menyesuaikan diri agar dapat diakui dan dihargai seperti sekolah. 

Penyesuaian diri ini berakibat lembaga pendidikan keagamaan dan madrasah kehilangan identitas dan ciri khasnya yang juga secara langsung berakibat pada penurunan kualitas lulusannya. Mulai muncul sindiran bahwa lembaga pendidikan keagamaan dan madrasah adalah lembaga pendidikan kelas dua.

Keadaan ini diperparah lagi dengan keluarnya keluarnya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No 15 Tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres itu sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam. 

Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah yang kemudian mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri) yang dikenal dengan istilah SKB 3 Menteri tahun 1975

SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD, SMP dan SMA. Kemudian lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

Makna SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa‑siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga‑lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan kedua, membuka peluang kemungkinan anak­-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.

Meskipun demikian, bukan berarti SKB Tiga Menteri ini tanpa masalah. Melalui SKB ini memang, status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya. Dengan SKB ini pula alumni MA dapat melanjutkan ke universitas umum, dan vice versa, alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN. Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum, dimana  komposisi kurikulum madrasah 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efek penyamaan kurikulum ini adalah bertambahnya beban yang harusi dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah ‑ sebagai sekolah agama ‑ harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik. Namun, dengan penguasaan ilmu‑ilmu agama hanya 30% termasuk Bahasa Arab, tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN, apalagi untuk melanjutkan studi di Timur Tengah dan juga  menjadi calon‑calon ulama[ix]

Undang-undang ini juga tidak menampung madrasah yang fokus utamanya pelajaran agama dan pelajaran umum sekedar tambahan yang merupakan bentuk awal dari madrasah modern di Indonesia. Di sisi lain hasil dari SKB ini belum memuaskan, karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Kenyataan itu tampak ketika lulusan madrasah mau masuk ke perguruan tinggi umum ataupun ke dunia kerja, dimana  perlakuan diskriminatif sangat dirasakan oleh mereka.

 

b.   Pengakuan madrasah sebagai sekolah umum (berciri khas Islam)

Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama (integrasi madrasah dalam sistem pendidikan nasional secara penuh), baru dicapai dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989., dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran agama Islam sebagai ciri khas.

Kenyataannya beban kurikulum bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah  berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dan lebih berat dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Hal itu dikarenakan pihak madrasah (Departemen Agama) menerjemahkan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang ”madrasah adalah sekolah umum yang bedciri khas Islam” dan ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” diterjemahkan beban kurikulum madrasah adalah 100% pelajaran umum di sekolah ditambah dengan 100% pelajaran agama di madrasah. Padahal jam belajar tetap sama dan sikuensnya juga sama. Di sisi lain kondisi, fasilitas dan latar belakang anak madrasah dengan anak sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah. 

Namun ada juga madrasah yang memahami beratnya beban kurikulum itu, lalu mereka terpaksa menambah jam belajar hingga sore dan malam, khususnya madrasah yang dipondok pesantren seperti Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pesantren Darunnajah. Madrasah yang tidak menambah jam pelajaran ataupun tidak mensiasati makna ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” maka hasil lulusan mereka menjadi ”tanggung” artinya penguasaan agama tidak memadai dan penguasaan umum juga belum mencukupi. Inilah yang kebanyakan dialami madrasah-madrasah yang akhirnya mengesankan kualitas madrasah yang rendah baik untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum maupun ke perguruan tinggi agama.

Undang-Undang Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989 telah memperkuat posisi madrasah terhadap sekolah, namun disisi lain dianggap memperlemah posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan agama yang fokus utamanya agama dan pengetahuan umum sebagai tambahan. Kebijakan ini juga yang dianggap memperlemah munculnya kader-kader ulama. 

Ini pula yang menjadi dasar  Menteri Agama Munawir Sjadzali (1983-1993) mendirikan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) dan kemudian dijadikan Madrasah Alyah Program Keagamaan (setelah UU No. 2 Tahun 1989) yang komposisi kurikulum 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum plus pengajaran bahasa (Arab dan Inggris) secara intensif. Dengan program ini input IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi menjadi support bagi kemunculan calon‑calon ulama. Karena komposisi agamanya tetap lebih besar dari umum, maka luliusannya lebih banyak diterima di perguruan tinggi agama, khususnya di Timur Tengah. 

Dilihat dari sisi ini, kehadran MAPK sejatinya adalah bentuk respon positif‑progresif madrasah terhadap tantangan yang dihadapi. Namun dalam  kenyataannya kehadiran MAPK masih ditumpangkan menjadi bagian atau program dari MA (karena politis menurut UU no.2 tahun 1989 belum memberi tempat pengakuan untuk yang jenis ini, karena jenjang dasar dan menengah pertamanya tidak diakui/ tidak dimungkinkan oleh undang-undang tersebut. Demikian juga madrasah dan pesantren yang hanya semata-mata memberikan pelajaran agama tidak juga terakomodasi dalam undang-undang sistem pendidikan nasional ini (UU No. 2 Th 1989). Tentu hal ini masih dirasakan sebagai bentuk diskriminasi dalam pendidikan. Padahal umat menghendaki madrasah tetap memberi peluang yang sama antara madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dengan madrasah sebagai sekolah agama yang berwawasan Indonesia dan kemodernan ataupun madrasah yang semata-mata memberikan pelajaran agama. Bukankah ketiganya merupakan upaya mencerdaskan anak bangsa, namun dengan fokus yang berbeda?. Jadi yang membedakan madrasah dengan sekolah umum sekarang bukan lagi pada bobot pengetahuan umumnya tapi pada kualitas dan ciri khas madrasah itu sendiri . Madrasah sebagai sekolah umum berciri khas menjadi model yang diinginkan oleh para tokoh founder father untuk menyiapkan calon intelektual yang muslimnya baik. Sedangkan MAPK menyiapkan calon ulama yang berpengetahuan yang baik.

Sampai disini persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang  diakui sama dengan sekolah. Dengan kata lain madrasah sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional seperti tampak pada bagan berikut ini 

 



Tinggal masalahnya bagaimana menterjemahkan ciri khas Islam pada madrasah tersebut. Apakah ciri khas tersebut berupa mata pelajaran agama (Al-Qur’an, Hadist, Tauhid, Fiqh, dan SKI) yang bersifat kognitif. Ataukah ciri khas Islam tersebut lebih bersifat afektif dan psikomotorik tanpa melupakan pengetahuan dasar agama Islam. Misalkan ciri khas Islam itu taat beribadah, berakhlak baik, hafal juaamma dan beberapa ayat yang berhubungan denga kehidupan manusia. Ini tantangan bagi madrasah yang berciri khas Islam. Sedangkan bagi madrasah keagamaan tantangannya bagimana menerjemahkan pengetahuan umum. Mata pelajaran apa saja dan seberapa banyak materi dasarnya yang harus diketauhi.Di tengah arus teknologi tentu kedua jenis  madrasah itu juga perlu dibekali ketrampilan teknologi.

 

c.     Pengakuan kembali madrasah sebagai sekolah agama dan pendidikan keagamaan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional

Setelah persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas selesai secara sistem, maka masih ada persoalan dengan madrasah sebagai sekolah agama yang  memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah  pengetahuan umum sebagai ciri ke Indonesiaan dan kemodernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. 

Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena masih ada perasaan pemerintah memojokkan madrasah yang berfokus pada  pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama” bagi umat Islam Indonesia. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama yang pengetahuan agamanya lebih besar dari pengetahuan umum seperti ditunjukkan oleh data bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil (48%) dari yang memilih pilihan IPS atau matematika (52%)[xi].

Perjuangan untuk memasukkan madrasah sebagai sekolah agama (fokus utama pengajaran agama) dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional  No. 20 Tahun 2003[xii]. Dalam undang-undang ini diakui kehadiran Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30[xiii].

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 telah memberi peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskrimanasi  di mata negara. Secara formal madrasah sebagai sekolah agama dan pendidikan keagamaan lainnya sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional seperti tampak dalam Bagan berikut ini 



Undang-undang sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini telah membuka peluang kembalinya  kebhinekaan lembaga pendidikan islam yang diakui menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktifitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurkulum sekolah. Madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai jenis pendidikan keagamaan lainnya perlu menata diri untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikannya secara tersendiri namun sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

 

3.  Perjuangan menampilkan keunggulan dan siap bersaing

Posisi madrasah dan LPI sudah kuat dengan masuk, diakui dan diharginya dalam Sistem Pendidikan Nasioanal. Tantangan setelah ini adalah bagaimana madrasah/LPI mampu menampilkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang baik dan unggul serta mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lain secara nasional maupun global. 

 

 

 

Ke depan dengan telah diundangkannya Sistem Pendidikan Nasional 2003, maka madrasah sudah bisa memilih dan memilah diri tipe madrasah seperti apa yang diinginkan, sehingga lebih fokus pada keunggulan dari masing-masing tipe tsb. Kalau dulu ketiga tipe itu diinginkan , tapi wadahnya yang diakui hanya satu dan ini berakibat beratnya beban dan waktu belajar di madrasah. Kini dengan telah dibuka peluang tiga tipe  madrasah dengan masing-masing punya fokus utama sendiri. 

Sekarang terbuka tiga pilihan jenis madrasah yaitu: 

Pertama, madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam, di mana focus utama pelajaran umum dan pelajaran agama sebagai ciri khas madrasah. Ini bermakna penguasaan pengetahuan umum bagus dan kuat. Namun ciri Keislaman dari madrasah tetap utama dan menonjol. Ini bermakna bahwa pengajaran agama ini lebih pada penghayatan dan pengamalan agamanya bukan pada pengetahuan keagamaannya. Pengetahuan keagamaan diajarkan sebagai dasar memperkuat keimanan dan pemahanan Islam secara utuh. Madrasah model ini sudah diwujudkan dengan hadirnya Madrasah Aliyah Insan Cendekia yang merupakan karya BJ.Habibie melalui SMA Insan Cendekian di bawah BPPT, yang kemudian dialihkan menjadi MA Insan Cendekian yang pada awal berada di Serpong dan Gorontalo. SMA Insan Cendekia berslogan ”Unggul dalam Iptek dan Imtaq”. Dengan demikian anak didik dapat lebih berkonsentrasi kepada pelajaran umum sesuai dengan kompetensi yang diharapkan, namun mereka tetap dididik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Dengan cara ini akan tampak madrasah sebagai sekolah umum yang berani bersaing kualitas dengan sekolah umum lainnya, namun mereka adalah muslim-muslim yang baik (taat menjalankan agamanya). Dengan demikian madrasah akan dikenal sebagai lembaga pendidikan Indonesia yang menghasilkan lulusan yang mengusai pengetahuan umum dengan bagus  (Iptek) , tetapi juga sebagai muslim yang baik (Imtaq).

Kedua, Madrasah sebagai sekolah agama berciri khas berpengetahuan umum, di mana focus utama adalah pelajaran  agama. Namun  Pelajaran umum  sebagai penunjang. Madrasah model ini telah diwujudkan dalam bentuk MAPK (Madrasah Aliyah Program Keagamaan) yang telah digagas di masa Menteri Agama Munawir Sjadzali).  Di sini murid madrasah disiapkan untuk penguasaan agama dengan baik tetapi juga mendapat tambahan masalah keindonesiaan dan kemodernan. Ini penting agar lulusan madrasah sebagai sekolah agama yang hidup dan tumbuh di bumi Indonesia, tetapi berpengetahuan luas dan berwawasan global. Madrasah seperti inilah yang akan melahirkan calon-calon ahli agama yang berwawasan luas dan global. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, maka sudah waktunya Departemen Agama segera memisahkan Madradsah Aliyah Program Keagamaan menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan yang beridiri sendiri dan terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam.

Ketiga, Madrasah sebagai sekolah kejuruan, dimana fokus pelajaran pada ketrampilan hidup (life skill) namun siswa dididik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Untuk itu perlu ditata kurikulum yang cocok untuk menghasilkan anak didik dengan kompetensi yang demikian itu. Sudah waktunya Departemen Agama segera memiisahkan Madrasah aliyah program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri terpisah dari Madrasah  Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sebagai tindak lanjut dari UU No.20 Th 2003.. Madrasah ini nantinya akan menampung anak-anak yang ingin segera bekerja karena kemampuan keuangan orang tuanya terbatas untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Untuk lebih jelasnya posisi madrasah setelah diterapkan  UU No. 20 Tahun  2003 dapat dilihat pada bagan berikut ini 




Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 ini, telah memberi tempat yang layak bagi madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai pendidikan keagamaan lainnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu sudah sepatutnya kesempatan penghargaan ini digunakan dengan sebaik-baiknya bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk menata diri sesuai dengan ketentuan perundangan ini. Artinya segera menata pendidikan keagamaan yang mana masuk pendidikan formal, mana yang nonformal dan mana yang informal. Demikian juga mana yang berjenjang dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, yang mana yang tidak perlu berjenjang. 

Dan yang lebih mendesak lagi segera memisahkan MA Program Keagamaan dan MA Program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan dan Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri, terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. 

MP bila ingin tetap sebagai Madrasah berciri khas Islam perlu menata lagi bahwa fokus mereka adalah menyiapkan calon intekltual dan sebagai muslim yang baik bagi anak didiknya. Ini berarti porsi pelajaran agama lebih banyak bersifat apektif dan psikomotorik dari pada yang bersifat kognitif yang selama ini dicermin dengan mata pelajaran Tauhid, Qur’an, Hadist, Fiqh dan SKI. Tentu pengenalan materi dasar mata pelajaran tersebut tetap perlu namun tidak harus mendalam seperti menyiapkan mereka untuk menjadi calon ulama. Demikian juga dengan pelajaran umum mungkin tidak semua materi diajarkan diajarkan tata muka secara penuh . Bisa jadi ada beberapa materi yang bisa dikurangi tatap muka namun diganti dengan penugasan. Silahkan kreatifitas MP yang sudah terlaltih selama ini memberikan solusinya agar MP tetap menjadi pilihan utama masyarakat dalam menyekolahkan anaknya. MP jangan berpretensi untuk menyiapkan tiga fokus madrasah tersebut secara penuh. Biarkan siswa dan orang tuanya dapat memilih marasah yang sesuai dengan minat dan kemampuan anaknya apakah akan memilih Madrasah Berciri Khas Islam, atau Madrasah Keagamaan ataupun Madrasah Ketrampilan.

Semoga MP maju terus dan makin berkembang untuk Indonesia

Ciputat 070623