Saturday, October 06, 2007

CORAK DAN RAGAM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA



CORAK DAN RAGAM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA[1]
Husni Rahim

A. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Dalam konteks Indanesia, kita mengenal tiga kelembagaan pendidikan Islam dengan pelbagai karakteristiknya yaitu pesantren, madrasah dan sekolah­ umum Islam.
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang tertua yang memfokuskan diri pada penyelenggaraan kajian Islam/pengetahuan agama Islam dengan mendasarkan pada kajian‑kajian kitab karya ulama pada abad pertengahan yang dikenal dengan kitab kuning dengan pendekatan belajar tuntas. Dalam Pesantren seseorang dididik dan belajar tidak hanya melalui memahami kitab, namun diajak untuk melakukan sesuatu baik dalam kerangka pengembangan wawasan maupun dalam pembentukan sikap kemandirian. Juga dalam Pondok Pesantren setiap individu dibekali dengan kemampuan untuk beradu argumentasi melalui mata pelajaran mantiq (Ilmu Logika) juga dengan praktek presentasi dan debat yang dikenal muhadharah dan mujadalah dalam forum mingguan. Penguasaan bahasa asing, khususnya Arab merupakan bagian yang menyatu dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Pada perkembangan akhir‑akhir ini pondok pesantren juga menyesuaikan dengan tuntutan keperluan masyarakat dan untuk itu penyelenggaraan 'pendidikan' melalui persekolahan (madrasah/sekolah umum) dilakukan.

Lembaga pendidikan Islam kedua adalah madrasah yang pada awaInya terlahir sebagai wadah memenuhi tuntutan mmasyarakat yang tidak dapat dipenuhi oleh pesantren (tafaqquh fid dien) melalui kajian agama Islam, keteramplian, pengetahuan umum yang diselenggarakan melalui mesj1d atau surau. Pada berikutnya penyelenggaraan pendidikan dengan menggunakan sistem klasikal dan kurikulum yang telah tertata. Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pengajaran umum dan agama dan posisinya dalam sistem pendidikan nasional sebagai sub‑sistem‑sekolah umum bercirikan agama‑setelah UUSPN Na 02 1989 diratifikasi.

Kedua jenis lembaga pendidikan Islam, pondok pesaniren dan madrasah, tumbuh dan berkembang dalam dinamika kehidupan masyarakat. Keduanya juga mengandalkan sumber untuk penyelenggaraan kegiatan pendidikan dari masyarakat (resilient) dalam menyelenggarakan pendidikan dan keduanya telah berperan dalam menyebarluaskan kesempatan pendidikan bagi warga masyarakat yang kebanyakan dari kelompok menengah ke bawah[2].

Selain itu, Sekolah umum Islam yang memberikan porsi pendidikan agama lebih banyak dibanding dengan sekolah‑sekolah umum lainnya. Pada perkembangan terakhir, jenis sekolah ini mengembangkan kekhasan sebagai bagian kelebihan yang ditawarkan kepada masyarakat. Ada diantara sekolah jenis ini selain menawarkan pengajaran umum dan pendidikan agama dengan porsi waktu untuk masing‑masing 100 %, juga memberikan layanan bagian pengembangan leadership skills.

Membicarakan madrasah memang cukup menarik, bukankah madrasah dikonotasikan sebagai sekolah agama (sekolah yang mempelajari masalah-masalah agama) dan dilawankan dengan sekolah (yang mempelajari masalah umum). Karena melihatnya seperti itu maka dikesankan adanya dikhotomi antara madrasah dan sekolah. Kesan inilah yang masih terus mempengaruhi banyak pendapat hingga saat ini. Kesan ini menjadi lebih kuat bila kita mengamati sejarah munculnya madrasah dan sekolah di Indonesia.

Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dipengaruhi secara cukup kuat oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern yang sudah mengajarkan ilmu‑ilmu agama dan umum, serta sistem pendidikan yang dibawa oleh Pemerintah Belanda[3].
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar[4]. Kebijakan inilah yang memicu beberapa madrasah dan pesantren mengisolir diri dari intervensi ”dunia luar” dengan tetap mengajarkan hanya pelajaran agama, Namun sekelompok yang lain melihat banyak hal yang menarik dari sistem ”sekolah Belanda”, sehingga menimbulkan gagasan membuka sekolah seperti sekolah Belanda namun dengan tambahan pelajaran agama dan ada juga madrasah yang menggunakan pola sekolah dengan tambahan pelajaran umum. Upaya yang kedua terakhir inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi madrasah (pendidikan Islam).

1. Madrasah sebagai sekolah agama
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia[5]. Madrasah tersebut telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk pengajian di rumah-rumah, terus ke mushollah, mesjid dan kebangunan sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini. Demikian pula dari segi materi pendidikan, telah terjadi perkembangan dari yang tadinya hanya belajar mengaji al-qur'an kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, terus ke pengajian kitab, lalu ke pengajaran agama di madrasah berupa mata pelajaran tauhid/ akidah, akhlak, fiqh, hadis, tafsir, sejarah Islam dan bahasa Arab.

Dari segi jenjang pendidikan, telah terjadi pula perkembangan dari belajar mengaji Quran kejenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian ketika sudah berbentuk madrasah telah pula berjenjang mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah (SMP),dan Madrasah Aliyah (SMA). Masuknya penjajahan Belanda yang membawa sistim pendidikan Barat yang sekuler telah pula membuka mata umat Islam Indonesia, akan adanya sistem sekolah (school) yang memberi pengajaran pengetahuan umum (membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah dll). Perkembangan sekolah ini mengikuti politik penjajahan, dimana untuk orang Indonesia, diberi kesempatan yang sangat terbatas untuk bisa ikut sekolah Belanda (HIS/ELS, MULO, AMS) dan untuk anak-anak kalangan bangsawan dan pejabat Indonesia rendahan, disediakan HIS (sekolah kelas satu dan sekolah kelas dua (Ongko Loro).. Dalam perkembangannya anak-anak lulusan sekolah Belanda inilah yang dipakai oleh Belanda di pemerintahan dan perdagangan dan mereka nantinya membentuk kelompok elit tersendiri yang terpisah dari anak-anak lulusan madrasah yang hanya memfokuskan pengajarannya dengan pelajaran agama. Ketika mulai muncul semangat nasionalisme dan keinginan merdeka, mulailah terjadi pergaulan antara mereka yang tentunya masing-masing menghargai satu sama lain. Situasi inilah nantinya mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia yang menginginkan anak didik mereka mempunyai kemampuan pengetahuan umum tapi tetap menjadi pemeluk agama yang baik. Ini melahirkan keinganan/tuntutan adanya pendidikan agama disekolah. Di sisi lain madrasah yang selama ini hanya belajar agama berkeinginan juga memberikan pengetahuan umum bagi anak didiknya, sehingga lulusannya berkemampuan agama yang baik, namun berpengetahuan umum juga (sebagai sarana memasuki pergaulan dunia). Ini melahirkan munculnya pengetahuan umum diajarkan di madrasah (membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah dan olah raga).

Kesadaran untuk memperbaharui atau modernisasi pendidikan Islam ini, pada tingkat awal, direalisasikan dengan pembentukan lembaga‑lembaga pendidikan Islam modern, yang selain terpengaruh gagasan pembaharuan madrasah di Timur Tengah, juga mengadopsi sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemerakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi‑organisasi “modernis" Islam seperti Jami’at Khair, al‑Irsyad, dan Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, pendirian lembaga pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi dan gerakan Islam, seperti Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al‑Washliyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti). Dengan corak masing‑masing yang berbeda.

Pada awal perkembangan adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini, setidaknya ada dua kecenderungan dalam eksperimentasi organisasi‑organisasi Islam di atas.
Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Eksperimen ini melahirkan sekolah-­sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam, misalnya terlihat dengan jelas pada perubahan Madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 menjadi Sekolah Adabiyah (adabiyab school) tahun 1915. Hanya terdapat sedikit ciri atau unsur dalam kurikulum sekolah (HIS) Adabiyah yang membedakannya dengan sekolah Belanda. Selain mengadopsi seluruh kurikulum HIS Belanda. Sekolah (HIS) Adabiyah menambahkan pelajaran agama 2 jam sepekan. Selaras dengan itu, Muhammadiyah mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan Belanda secara konsisten dan mcnyeluruh dengan mendirikan sekolah‑sekolah umum model Belanda hanya dengan memasukkan "pendidikan agama" (istilah Muhammadiyah: MULO met de Our’an) ke dalam kurikulumnya. Selain itu, Muhammadiyah juga mencoba bereksperimen dengan sistem dan kelembagaan madrasah modern dengan mendirikan Madrasah Muallimin dan Madrasah Muallimat. Hanya saja, madrasah yang dikembang­kan Muhammadiyah ini tidak menjadikan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam tradisional, apakah surau atau pesantren, sebagai basisnya.

Kedua, munculnya madrasah‑madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Berbeda dengan eksperimen pertama, eksperimen kedua ini justru bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem madrasah, surau, pesantren yang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigenous, dimodernisasi misalnya dengan mengadopsi aspek‑aspek tertentu dari sistem pendidikan modern Belanda, misalnya kandungan kurikulum, teknik dan metodologi pengajaran. Bentuk kedua ini tampak pada eksperimen H. Abdul Karim Amrullah yang pada 1916 menjadikan Surau Jembatan Besi ‑ lembaga pendidikan Islam tradisional Minangkabau ‑ sebagai basis pengembangan madrasah modern, yang kemudian dikenal dengan Sumatera Thawalib. Berbarengan dengan itu, Zainuddin Labay el‑Yunusi mengembangkan "Madrasah Diniyah", yang pada awalnya merupakan "madrasah sore" untuk memberikan pelajaran agama pada murid‑murid sekolah "gubemment”. Prakarsa ini diikuti oleh adiknya, Rangkayo Rahmah el‑Yunusiah yang mendirikan "Diniah Puteri". Karakteristik yang sama dapat dijumpai pada madrasah‑madrasah yang didirikan oleh Jami’at al-Khair di Jakarta tahun 1905, dan kemudian madrasah yang didirikan organisasi AI‑Irsyad.
Termasuk dalam bentuk ini adalah eksperimen yang dilakukan oleh Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta pada­ tahun 1906. Sebagaimana pesantren lainnya, pesantren ini tetap mempunyai basis pada pendidikan dan pengajaran ilmu-­ilmu Islam seperti al‑Qur'an, Hadits, Fiqh, dan Bahasa Arab. Akan tetapi, pesantren ini juga memasukkan pelajaran membaca (tulisan latin), a1jabar, dan berhitung ke dalam. kurikulumnya.

Rintisan Pesantren Mambaul Ulum. Ini diikuti beberapa pesantren lainnya. Pesantren Tebu Ireng, misalnya, pada tahun 1916 mendirikan "Madrasah Salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga mengajarkan berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis huruf latin. Model ini juga diadopsi oleh Pesantren Rejoso, Jombang yang mendirikan sebuah madrasah pada 1927.
Respons yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor yang berdiri tahun 1926. Berpijak pada basis sistem dan kelembagaan pesantren, Pondok Modern Gontor memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, mendorong santrinya mempelajari bahasa Inggris – selain bahasa Arab ‑ dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstrakurikuler seperti olahiraga, kesenian dan sebagainya.
Kedua bentuk eksperimen ini pada dasarya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan "pendidikan Islam" ‑ yang sebenamya pendidikan umum dengan memasukkan aspek‑aspek tertentu pengajaran Islam. Di sisi, lain ada sistem dan kelembagaan "madrasah" yang menitik­ beratkan pengajaran agama ‑ baru kemudian memasukkan pelajaran umum ‑ dengan keragaman corak dan orientasinya.
Organisasi‑organisasi Islam lain yang bergerak di bidang pendidikan mendirikan madrasah dan sekolah dengan nama, jenis, dan jenjang yang bermacam‑macam. Mathlaul Anwar di Menes, Banten mendirikan Madrasah lbtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Diniah. PUI pada tahun 1927 mendirikan Madrasah Diniah, Tsanawiyah dan Madrasah Pertanian. Perti tahun 1928 mendirikan madrasah dengan berbagai nama, di antaranya Madrasah Tarbiyah Islamiah, Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah, dan Kuliyah Syariah. Sejak berdiri tahun 1926, NU juga mendirikan Madrasah Awaliyah, lbtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya. Sementara di Tapanuli, Medan, Al‑Washliyah (1930) menyelenggarakan Madrasah Tajhiziyah, lbtidaiyah, Tsanawiyah, Qismul 'Ali, dan Tahassus. Di samping itu, ada madrasah yang mengguna­kan nama formal Islam (Kuliah Muallimin Islamiah) didirikan oleh Mahmud Yunus di Padang (1913) dan Islamic College didirikan oleh Pesantren Muslim Indonesia (Permi) tahun 1931.

Menilik latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa proses pertumbuhan madrasah tidak hanya atas dasar semangat pembaharun di kalangan umat Islam. Kelahiran madrasah sesungguhnya juga beralas tumpu pada dua faktor penting;
Pertama, pendidikan Islam tradisional (surau, masjid, pesantren) dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai.
Kedua, laju perkembang­an sekolah‑sekolah gubememen di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme, sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana. Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya dua pola respons umat Islam yang lebih progresif, tidak semata‑mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh dan berkembang di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin meningkat.
2. Upaya integrasi madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional
Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terus berlanjut. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) dalam maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945 menganjurkan, bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan"[6].
Perhatian pemerintah RI terhadap madrasah dan pesantren ini semakin terbukti ketika Kementerian Agama resmi berdiri pada 3 Januari 1946. Dalam struktur organisasinya, Bagian C adalah bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurusi masalah‑masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren)[7].
Namun menarik diamati, perhatian pemerintah yang begitu besar diawal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU No.4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar[8]. Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada diluar sistem. Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan dibawah Menteri Agama[9].
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Bagan berikut ini dimana madrasah dan pendidikan keagamaan/pesantren belum dianggap bagian dari sistem pendidikan nasional dan yang baru masuk hanyalah sekolah umum Islam sebagai bagian dari sistem sekolah, seperti tampak berikut ini


Bagan ini menggambarkan hanya sekolah yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, karena itu anak madrasah dan pendidikan keagamaan tidak dapat bergerak pindah dan melanjutkan baik secara horizontal, maupun secara diagonal ke sistem sekolah.
Keadaan inilah yang mendorong tokoh-tokoh Islam menuntut agar madrasah dan pendidikan keagamaan dimasukkan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Reaksi terhadap sikap pemerintah yang mendiskriminasikan menjadi lebih keras dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No 15 Tahun 1974.
Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres itu sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam.
Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah yang kemudian mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Dan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Kepres dan Inpres di atas, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri).
SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD, SMP dan SMA. Kemudian lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Makna SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa‑siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga‑lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan kedua, membuka peluang kemungkinan anak­-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.
Meskipun demikian, bukan berarti SKB Tiga Menteri ini tanpa masalah. Melalui SKB ini memang, status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya. Dengan SKB ini pula alumni MA dapat melanjutkan ke universitas umum, dan vice versa, alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN. Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum, dimana komposisi kurikulum madrasah 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efek penyamaan kurikulum ini adalah bertambahnya beban yang harusi dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah ‑ sebagai sekolah agama ‑ harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik. Namun, dengan penguasaan ilmu‑ilmu agama hanya 30% termasuk Bahasa Arab, tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN, apalagi untuk melanjutkan studi di Timur Tengah dan juga menjadi calon‑calon ulama[10]
Undang-undang ini juga tidak menampung madrasah yang fokus utamanya pelajaran agama dan pelajaran umum sekedar tambahan yang merupakan bentuk awal dari madrasah modern di Indonesia. Di sisi lain hasil dari SKB ini belum memuaskan, karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Kenyataan itu tampak ketika lulusan madrasah mau masuk ke perguruan tinggi umum ataupun ke dunia kerja, dimana perlakuan diskriminatif sangat dirasakan oleh mereka.
3. Pengakuan madrasah sebagai sekolah umum (berciri khas Islam)
Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama (integrasi madrasah dalam sistem pendidikan nasional secara penuh), baru dicapai dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989., dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran agama Islam (7 mata pelajaran)[11].
Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti pe­nyelenggaraan dan pengelolaan madrasah oleh Departemen Pendidikan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama.
Kenyataannya beban kurikulum bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dan lebih berat dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Hal itu dikarenakan pihak madrasah (Departemen Agama) menerjemahkan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang ”madrasah adalah sekolah umum yang bedciri khas Islam” dan ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” diterjemahkan beban kurikulum madrasah adalah 100% pelajaran umum di sekolah ditambah dengan 100% pelajaran agama di madrasah. Padahal jam belajar tetap sama dan sikuensnya juga sama. Disisi lain kondisi, fasilitas dan latar belakang anak madrasah dengan anak sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah.
Namun ada juga madrasah yang memahami beratnya beban kurikulum itu, lalu mereka terpaksa menambah jam belajar hingga sore dan malam, khususnya madrasah yang dipondok pesantren seperti Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pesantren Darunnajah. Madrasah yang tidak menambah jam pelajaran ataupun tidak mensiasati makna ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” maka hasil lulusan mereka menjadi ”tanggung” artinya penguasaan agama tidak memadai dan penguasaan umum juga belum mencukupi. Inilah yang kebanyakan dialami madrasah-madrasah yang akhirnya mengesankan kualitas madrasah yang rendah baik untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum maupun ke perguruan tinggi agama.
Undang-Undang Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989 telah memperkuat posisi madrasah terhadap sekolah, namun disisi lain dianggap memperlemah posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan agama yang fokus utamanya agama dan pengetahuan umum sebagai tambahan. Kebijakan ini juga yang dianggap memperlemah munculnya kader-kader ulama.
Ini pula yang menjadi dasar Menteri Agama Munawir Sjadzali (1983-1993) mendirikan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) dan kemudian dijadikan Madrasah Alyah Program Keagamaan (setelah UU No. 2 Tahun 1989) yang komposisi kurikulum 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum plus pengajaran bahasa (Arab dan Inggris) secara intensif. Dengan program ini input IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi menjadi support bagi kemunculan calon‑calon ulama. Karena komposisi agamanya tetap lebih besar dari umum, maka luliusannya lebih banyak diterima di perguruan tinggi agama, khususnya di Timur Tengah.
Dilihat dari sisi ini, kehadran MAPK sejatinya adalah bentuk respon positif‑progresif madrasah terhadap tantangan yang dihadapi. Namun dalam kenyataannya kehadiran MAPK masih ditumpangkan menjadi bagian atau program dari MA (karena politis menurut UU no.2 tahun 1989 belum memberi tempat pengakuan untuk yang jenis ini, karena jenjang dasar dan menengah pertamanya tidak diakui/ tidak dimungkinkan oleh undang-undang tersebut. Demikian juga madrasah dan pesantren yang hanya semata-mata memberikan pelajaran agama tidak juga terakomodasi dalam undang-undang sistem pendidikan nasional ini (UU No. 2 Th 1989). Tentu hal ini masih dirasakan sebagai bentuk diskriminasi dalam pendidikan. Padahal umat menghendaki madrasah tetap memberi peluang yang sama antara madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dengan madrasah sebagai sekolah agama yang berwawasan Indonesia dan kemodernan ataupun madrasah yang semata-mata memberikan pelajaran agama. Bukankah ketiganya merupakan upaya mencerdaskan anak bangsa, namun dengan fokus yang berbeda?. Jadi yang membedakan madrasah dengan sekolah umum sekarang bukan lagi pada bobot pengetahuan umumnya tapi pada kualitas dan ciri khas madrasah itu sendiri
Sampai disini persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah. Dengan kata lain madrasah sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional seperti tampak pada bagan berikut ini

Bagan ini menunjukkan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, karena itu anak madrasah dapat pindah dan melanjutkan pendidikan baik secara vertikal, maupun secara horizontal dan diagonal, tetapi pendidikan keagamaan di luar madrasah dan sekolah Islam masih dianggap di luar sistem.
Persoalan yang tertinggal adalah persoalan mutu madrasah yang serba tanggung. Mungkin ke depan madrasah sebagai sekolah umum dikhususkan pada penguasan bidang studi umum sebagaimana sekolah, namun ciri khas Islam ditampilkan bukan dari banyaknya mata pelajaran agama, tetapi bagaimana membuat anak didik menjadi muslim yang baik. Tentu ini menjadi tantangan berat karena harus merubah pola pengajaran agama yang cenderung kognitif ke pola afektif dan psikomotorik. Dengan demikian porsi waktu untuk pelajaran agama dapat dikurangi, demikian juga untuk mengejar ketinggalan pelajaran umum, maka tidak semua mata pelajaran umum harus ditatap mukakan persis seperti sekolah, tapi dapat juga dengan melihat pelajaran yang lemah dan utama diberi porsi waktu yang lebih banyak sedangkan pelajaran yang kurang utama atau dapat dipelajari sendiri atau dengan sistem penugasan dan porsi tatap mukanya dikurangi. Dengan demikian beban kurikulum madrasah tidak berat sehingga penguasaan materi dapat lebih diutamakan.
4. Kehadiran kembali pengakuan madrasah sebagai sekolah agama berwawasan umum
Setelah persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas selesai secara sistem, maka masih ada persoalan dengan madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah pengetahuan umum sebagai ciri ke Indonesiaan dan kemodernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989.
Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena masih ada perasaan pemerintah memojokkan madrasah yang berfokus pada pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama” bagi umat Islam Indonesia. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama yang pengetahuan agamanya lebih besar dari pengetahuan umum seperti ditunjukkan oleh data bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil (48%) dari yang memilih pilihan IPS atau matematika (52%)[12].
Perjuangan untuk memasukkan madrasah sebagai sekolah agama (fokus utama pengajaran agama) dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003[13]. Dalam undang-undang ini diakui kehadiran Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30[14].
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 telah memberi peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskrimanasi di mata negara. Secara formal madrasah sebagai sekolah agama dan pendidikan keagamaan lainnya sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional seperti tampak dalam Bagan berikut ini


Bagan ini menampakkan bahwa sekolah islam, Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan pendidikan keagamaan lainnya sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu mobilitas diantara lembaga pendidikan tersebut terbuka baik mobilitas vertikal, horizontal dan diagonal.
Undang-undang sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini telah membuka peluang kembalinya kebhinekaan lembaga pendidikan islam yang diakui menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktifitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurkulum sekolah. Madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai jenis pendidikan keagamaan lainnya perlu menata diri untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikannya secara tersendiri namun sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.
Ke depan dengan telah diundangkannya Sistem Pendidikan Nasional 2003, maka madrasah sudah bisa memilah diri menjadi tiga pola yaitu:
a. Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam, seperti yang selama ini. Madrasah jenis ini harus berani menterjemahkan kurikulumnya tetap 100% walaupun umum sama dengan sekolah dan khusus sama dengan madrasah. Ini berarti pel;ajaran umum tidak semua harus diajarkan tatap muka , demikian juga pelajaran agama. Yang diajarkan hanya yang esensial (Mata pelajaran utama sekolah umum itu). Demikian juga dengan pelajaran agama, tidak semua diajarkan tatap muka. Dengan demikian anak didik dapat lebih berkonsentrasi kepada pelajaran umum sesuai dengan kompetensi yang diharapkan, namun mereka tetap dididik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Dengan cara ini akan tampak madrasah sebagai sekolah umum yang berani bersaing kualitas dengan sekolah umum lainnya, namun mereka adalah muslim-muslim yang baik (taat menjalankan agamanya) Dengan demikian madrasah akan dikenal sebagai lembaga pendidikan Indonesia yang menghasilkan lulusan yang mengusai pengetahuan umum dengan bagus, tetapi juga sebagai muslim yang baik.
b. Madrasah sebagai sekolah agama, di mana focus utama adalah pelajaran agama. Pelajaran umum hanya sebagai penunjang saja. Di sini murid madrasah disiapkan untuk penguasaan agama dengan baik tetapi juga mendapat tambahan masalah keindonesiaan dan kemodernan. Ini penting agar lulusan madrasah sebagai sekolah agama yang hidup dan tumbuh di bumi Indonesia, tetapi berpengetahuan luas dan berwawasan global. Madrasah seperti inilah yang akan melahirkan calon-calon ahli agama yang berwawasan luas dan global. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, maka sudah waktunya Departemen Agama segera memisahkan Madradsah Aliyah Program Keagamaan menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan yang beridiri sendiri dan terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam.
c. Madrasah sebagai sekolah kejuruan, dimana fokus pelajaran pada ketrampilan hidup (life skill) namun siswa dildidik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Untuk itu perlu ditata kurikulum yang cocok untuk menghasilkan anak didik dengan kompetensi yang demikian itu. Sudah waktunya Departemen Agama segera memiisahkan Madrasah aliyah program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sebagai tindak lanjut dari UU No.20 Th 2003..
Untuk lebih jelasnya posisi madrasah setelah diterapkan UU No. 20 Tahun 2003 dapat dilihat pada bagan berikut ini


MADRASAH PASCA UU SISDIKNAS NO. 20 TH 2003
MADRASAH (SEKOLAH UMUM BERCIRI KHAS ISLAM)
MADRASAH (SEKOLAH AGAMA BERCIRI KHAS UMUM)

MADRASAH ALIYAH KEJURUAN



Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 ini, telah memberi tempat yang layak bagi madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai pendidikan keagamaan lainnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu sudah sepatutnya kesempatan penghargaan ini digunakan dengan sebaik-baiknya bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk menata diri sesuai dengan ketentuan perundangan ini. Artinya segera menata pendidikan keagamaan yang mana masuk pendidikan formal, mana yang nonformal dan mana yang informal. Demikian juga mana yang berjenjang dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, yang mana yang tidak perlu berjenjang. Dan yang lebih mendesak lagi segera memisahkan MA Program Keagamaan dan MA Program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan dan Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri, terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. Inilah tugas berat Departemen Agama ke depan.

B. KAREKTERISTIK MADRASAH
Karakteristik madrasah adalah ciri khas yang melekat pada madrasah yang merupakan kekuatan dari madrasah itu sendiri. Karakteristik madrasah itu adalah:
1. Madrasah milik masyarakat (Community Base Education )[15]
Madrasah tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan untuk masyarakat, karena itu dari segi kuantitas berkembang sangat pesat, namun dari segi kualitas perkembangannya sangat lamban. Ini konsekuensi madrasah yang bersifat “populis/massif” yang selalu cenderung memekar dan belum sempat mendalam. Keterikatan masyarakat terhadap madrasah lebih dinampakkan sebagai “ikatan emosional keagamaan” yang tinggi. Ikatan ini muncul karena bertemunya dua kepentingan. Pertama, hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperanserta dalam pendidikan, dan kedua motivasi keagamaan untuk ber-“tafaqquh fid dien”.
Kuatnya ikatan emosional keagamaan menyebabkan lembaga pendidikan Islam menjadi “gerakan” dimana salah satu tugas dari alumni madrasah mendirikan lembaga seperti madrasah, sekolah Islam, pondok pesantren dan perguruan agama (sebagai tolok ukur keberhasilan lembaga tersebut). Keterikatan emonsional ini, di satu sisi menjadi potensi dan kekuatan madrasah seperti pada madrasah dan pesantren dalam arti adanya rasa memiliki “sence of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responbility) masyarakat yang tinggi. Ini merupakan kekuatan untuk menjamin keberlangsungan (sustainability) hidup madrasah sebagai lembaga yang populis. Tapi di lain pihak, ia dapat menjadi kendala, karena merasa sebagai pemilik dan pendiri, sebagian madrasah tidak akan begitu mudah menerima ide-ide reformasi dari luar.
2. Madrasah menerapkan manajemen berbasis sekolah (school based management)
Konsep manajemen berbasis sekolah (school based management) merupakan konsep manajemen sekolah yang memberikan kewenangan, kepercayaan dan tanggungjawab yang luas bagi sekolah berdasarkan profesionalisme untuk menata organisasi sekolah, mencari dan mengembangkan serta mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia, dan memperbaiki kinerja sekolah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
Madrasah sejak awal berdirinya didasari school based management. Keberanian sekolah menentukan jenis keunggulan apa dari madarasahnya dan ciri khas apa yang membedakan dengan madrasah/sekolah lain ditonjolkan oleh sekolah ybs. Keragaman dan ketidak tergantungan dengan pusat dan birokrasi telah membuat madrasah pada masa lalu banyak yang ber”gengsi”.
Konsep school based management dan community based education yang didambakan saat ini, ironisnya merupakan konsep yang melekat dan akrab dengan madrasah pada awalnya. Sayang madrasah “terpaksa” meninggalkan konsep tersebut karena tergilas dengan konsep sentralisasi dan penyeragaman yang dilakukan pemerintah.

3. Madrasah sebagai lembaga ”tafaqquh fid dien”
Konsep dasar dari madrasah adalah untuk memberi kesempatan pada peserta didik mempelajari, mengamalkan, memahami dan mendalami agama sebagai kewajban dari setiap individu. Kemudian mengajarkan ilmu yang didapatnya kepada orang lain walaupun hanya sedikit. Ini pulalah yang menyebabkan madrasah tidak dapat dipisahkan dari tugas dakwah dan selalu dihadapkan pada pendekatan kuantitatif ataukah pada pendekatan kualitatif. Di satu pihak sebagai sekolah madrasah harus m,engutamakan kualitas dan sebagai lembaga agama harus juga melakukan pendekatan kuantitas.
4. Madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilitas ummat
Madrasah merupakan wadah berkumpul dan belajar para calon pemimpin umat. Ini juga yang membuat pemerintah kolonial Belanda memberi perhatian khusus dengan lwembaga pendidikan Islam sehingga perlu mengeluarkan ordonansi sekolah liar (wilde scolen ordonantie) pada tahun 1905 dan diperluas dengan ordonansi tahun 1925.. Dari lulusan Lembaga Pendidikan Islam inilah banyak lahir para tokoh Islam terrkenal dengan sebutan kyai, ajengan, buya, syeih, ulama, ustadz, maupun para birokrat, politikus dan pemimpin-pemimpin lslam yang memiliki posisi penting sebagai pemimpin informal dalam kehidupan keagamaan di masyarakat.
C. VISI MADRASAH
Sesuai dengan karakteristik madrasah yang milik masyarakat, berbasis sekolah, tafaqquh fid dien dan lembaga kaderisasi, maka visi madrasah adalah “Islami, populis, berkualitas, dan beragam”
Visi pertama Islami; Islami pada madrasah, mencerminkan pendidikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang suasana dan kehidupan para peserta didik, pendidik dan para penghuni lainnya mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Islami merupakan identitas utama yang harus tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikan. Berbeda dengan lembaga pendidikan sekuler, pendidikan di madrasah dilaksanakan dengan mengejawantahkan nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan dan perilaku semua komponen pendidikan mulai dari pimpinan sampai dengan siswa. Karakter Islami, yang pertama dan utama, berarti kesadaran sebagai pribadi muslim untuk menjalankan secara konsisten perintah dan larangan agama dalam segala situasi dan kondisi, termasuk di lingkungan. madrasah. Selain itu, karakater Islami berarti orientasi pendidikan yang holistik dan tidak terbatas pada cita‑cita praktis, karena menempatkan nilai‑nilai spiritual dan transedental [ketuhanan] dalam proses pencapaia tujuan pendidikan. Karakter Islami juga berarti strategi pembelajaran keagamaan yang tidak verbalistik sehingga. memudahkan siswa untuk mengembangkan ketrampilan dan wawasan keislamannya secara terpadu. Di samping ketiga. makna di atas, karakter Islami dari madrasah itu berarti ajakan dan seruan bagi lingkungan sekitar madrasah untuk meningkatkan syiar Islam melalui media pendidikan.
Ciri Islami ini tercermin baik dalam kurikulum, aktifitas madrasah, pola tingkah laku penghuni madrasah, dan suasana lingkungan madrasah . Secara formal ciri khas madrasah dinyatakan dalam kurikulum dalam mata pelajaran agama di madrasah[16]. Di samping itu ciri khas Islami tersebut dituangkan pula dalam :
a. Program mafikib[17] dengan nuansa Islam,
Program mafikib dengan nuansa Islam dimaksudkan menjembatani kekurang akraban dan kekurang tertarikan madrasah di Indonesia dengan bidang studi matematika, fisika, kimia, biologi dan bahasa Inggeris. Padahal di masa kemajuan Islam , ilmu tersebut diperkenalkan dan dikembangkan oleh ilmuwan Islam[18]. Bidang studi mafikib berdasarkan kurikulum 1994 dirasakan sukar bagi kebanyakan guru madrasah dan pondok pesantren untuk mengajarkannya dan juga dirasakan sulit oleh para siswa. Padahal bidang studi mafikib merupakan aspek pendidikan yang sangat dominan dalam meningkatkan kemampuan nalar dan analisis siswa dalam mempelajari dan mengembangkan iptek. Kekurang akraban madrasah di Indonesia dengan bidang studi umum (mafikib) tersebut merupakan warisan sejarah Islam di Indonesia. Seperti disebutkan di depan bahwa Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang bercorak mistik dan sufistik yang lebih mementingkan agama dari pada dunia. Oleh karena itu lembaga pendidikan madrasahpun hanya mengajarkan agama. Masuknya Belanda dengan membawa sistem sekolah yang memberikan pelajaran umum (sekuler), telah memunculkan dan mempertajam dikhotomi sekolah umum dan sekolah agama (madrasah). Lebih‑lebih karena madrasah dikenal sebagai benteng‑benteng perlawanan terhadap Belanda. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab kekurang tertarikan madrasah terhadap bidang mafikib. Ditambah lagi faktor guru yang mengajar mafikib di madrasah kurang berkualitas. Ini pula penyebab murid‑murid madrasah kurang tertarik , malah menganggap pelajaran mafikib adalah "sulit dan berat”[19].
b. Program pelajaran agama dengan nuansa iptek[20]. Program memberikan nuansa iptek dalam bidang studi agama merupakan kelanjutan dari program mafikib dengan nuansa Islam. Melalui program ini dilakukan pula upaya menjembatani perpaduan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena bagaimanapun juga teknologi dapat membantu pengamalan beragama. Bila upaya mafikib dengan nuansa agama dan bidang studi agama dengan nuansa iptek dapat berhasil, diharapkan tidak ada lagi kesan dikhotomi antara pelajaran agama dan umum ataupun dualisme antara sekolah dan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia yang sering diperdebatkan. Pemaduan konsep mafikib dengan nuansa agama dan konsep agama dengan nuansa iptek dimaksudkan agar dapat diserapnya nilai‑mlai mafikib yang agamis dan nilai‑nilal agama yang kontekstual dalam perilaku siswa, sebagai wujud penghayatan terhadap keagungan Allah Swt.
c. Program penciptaan suasana keagamaan di madrasah.
Penciptaan suasana keagamaan di madrasah tidak terbatas dalam bidang proses belajar mengajar, tetapi juga dalam bidang‑bidang lain baik fisik dan sarana bangunan, maupun dalam pergaulan dan pakaian. Suasana keagamaan ini dapat pula berupa simbol dan kegiatan[21]. Namun suasana keagamaan ini tidak perlu seragam, namun diserahkan pada masing‑masing sekolah berdasarkan pertimbangan daerah masing‑masing.
Visi kedua populis; Populis pada madrasah merupakan pesan utama dari sejarah pendidikan Islam di Indonesia dari masa ke masa. Sejak periode yang paling dini, madrasah lahir dan berkembang dengan dukungan masyarakat serta terbuka bagi semua lapisan sosial. Populis, merupakan gambaran bahwa madrasah itu lahir dan dibesarkan oleh dan untuk masyarakat. Hampir seluruh madrasah muncul atas inisiatif masyarakat yang peduli dengan anak di sekitamya yang memerlukan pendidikan. Memang pada awalnya dimulai dengan kebutuhan pendidikan agama tingkat dasar seperti belajar mengaji, belajar shalat , mendoa dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan munculnya dan berkembangya Islam di daerah tersebut. Dalam banyak kasus, sekali mengabaikan watak populisnya, madrasah akan mengalami kematian karena ditinggalkan oleh massa pendukungnya.
Watak populis dari madrasah ini sangat relevan dengan tuntutan essensial ummat manusia sepanjang masa yang membutuhkan persaudaraan, saling kasih, dan semangat memberdayakan kaum tertindas. Dengan kata lain, madrasah hendaknya dilaksanakan dalam semangat yang merakyat sehingga. melahirkan hasil pendidikan yang berprestasi dan sekaligus perduli dengan nasib sesama.
Keadaan ini pula yang menyebabkan jumlah madrasah berkembang dengan pesat dari segi kuantitatif, namun sangat lamban perkembangannya dari segi kualitas. Ini mungkin konsekuensi madrasah yang bersifat populis yang selalu cenderung memekar dan belum sempat mendalam Populis dalam visi ini ingin mengembalikan posisi bahwa madrasah itu milik masyarakat, karena itu tidak boleh menjadi “eklusif” atau “menara gading”, tapi tetap mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat . Program keunggulan, seperti madrasah model, tidak dimaksudkan untuk membuat lembaga pendidikan itu bersifat eksklusif.
Visi ketiga berkualitas, artinya berorientasi pada mutu. Hal ini merupakan tantangan masa depan yang sangat nyata, karena penghargaan masyarakat terhadap sebuah lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat kualitas pendidikannya. Kualitas pedidikan itu tercermin dalam dua tataran: proses pendidikan dan hasil pendidikan. Proses pendidikan menggambarkan suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis serta konsisten dengan program dan target pembelajaran. Sedangkan hasil pendidikan menunjuk pada kualitas lulusan dalam bidang kognitif, affektif, dan psikomotorik. Jika gagal dalam mewujudkan visi ini, madrasah, akan tertinggal dari lembaga-lembaga pedidikan lain.
Berkualitas dicerminkan pada kegiatan dan nilai akademik yang diperoleh madrasah tersebut. Baik yang dapat dan dilihat dari hasil belajar siswa berupa nilai pada ulangan, kenaikan kelas, ujian akhir (NEM) maupun ujian masuk perguruam tinggi (UMPTN). Berkualitas ini tampak pula dengan banyaknya prestasi yang dicapai oleh siswa madrasah , baik dalam bidang seni, bahasa, komputer, olahraga , ketrampilan dan lain-lain . Sisi lain dari berkualitas adalah kemampuan siswa dan lulusan madrasah masuk dan bersaing dalam dunia global.
Kecenderungan baru terutama di kota besar, madrasah yang berkualitas menjadi pilihan yang menarik para orang tua. Tantangan kita bagaimana untuk menjadikan madrasah tersebut berkualitas sehingga menarik masyarakat untuk memasukan anaknya ke madrasah. Perlu kita ingat bahwa dengan makin kuatnya tuntutan akan mutu, maka madrasah yang hanya berjalan apa adanya dan tanpa disertai komitmen terhadap mutu dan keunggulan, setahap demi setahap akan ditinggalkan orang.
Visi keempat beragam; Beragam pada madrasah menunjukkan adanya fieksibilitas dalam pelaksaaan pendidikan. Madrasah sangat menghargai keragaman bentuk dan jenis pendidikan. Karakter keragaman pada madrasah menunjukkan adanya fieksibilitas dalam pelaksaaan pendidikan. Praktek penyeragaman yang terjadi selama tiga dekade terakhir disadari telah mematikan kreatifitas pengelolaan dan pengembagan madrasah. Hal ini sekaligus bertentangan dengan watak populis yang meniscayakan adanya lembaga, model, dan pendekatan pendidikan yang bervariasi sesuai dengan kompleksitas masyarakat. Pemerintah hendaknya membiarkan tumbuh dan berkembangnya aneka ragam lembaga pedidikan Islam, mulai dari pesantren, madrasah, majelis taklim, sampai dengan kelompok kajian usra. Dalam waktu yang bersamaan, setiap lembaga pendidikan Islam hendaknya juga dibiarkan berkembang dalam keanekaragaman tipe, mulai dari madrasah‑umum, madrasah kejuruan, madrasah keagamaan, sampai dengan madrasah model. Sementara itu, dalam proses pembelajarannya, pendidikan Islam dapat mengembangkan berbagai strategi yang menjamin effektifitas pedidikan. Pola pendekatan yang tuggal akan menimbulkan kejenuhan siswa dalam belajar.
D. KEUNIKAN MADRASAH
Keunikan madrasah diawali dengan hampir terbesar jumlah madrasah adalah milik swasta. Berbeda halnya dengan sekolah di lingkungan Diknas. Pada tingkat sekolah dasar, jumlah Madrasah Ibtidaiyah Negeri hanya 4,8% dibanding dengan Madrasah Ibtidaiyah Swasta yang berjumlah 95,2%. Keadaan ini terbalik dengan Sekolah Dasar Negeri berjumlah 93,11% dan Sekolah Dasar Swasta 6,89%. Pada tingkat SMP, keadaanya tidak jauh berbeda. Jumlah Madrasah Tsanawiyah Negeri 24,3% dan Madrasah Tsanawiyah Swasta 75,7% sedangkan di Diknas SMP Negeri 44,9% berbanding 55,9% Sekolah Swasta. Hal yang sama pada tingkat SMU, dimana jumlah Madrasah Aliyah Negeri sebanyak 30% dan Madrasah Aliyah Swasta berjumlah 70%. Di Diknas keadaannya serupa, SMU Negeri 30,5% dan SMU Swasta berjumlah 69,4%.
Keunikan kedua, madrasah adalah lembaga pendidikan yang populis, yang ditampakkan dengan madrasah tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang membentuk, membina dan mengembangkannya. Oleh karena itu dari segi kuantitas perkembangannya sangat pesat, namun dari segi kualitas perkembangnnya sangat lambat. Ini mungkin konsekuensi madrasah yang bersifat populis yang selalu cendrung memekar dan belum sempat mendalam. Keterikatan masyarakat terhadap madrasah sepanjang sejarah pendidikan Islam di Indonesia lebih ditampakkan sebagai "ikatan emosional" yang tinggi. Ikatan ini muncul karena bertemunya dua kepentingan yaitu pertama; hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperanserta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya) dan kedua; motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mendapat pendidikan agama yang cukup) di samping pendidikan umum. Kuatnya ikatan emosional masyarakat ini telah menyebabkan madrasah menjadi lebih masif, lebih populis dan lebih mencerminkan suatu gerakan masyarakat--karena itu madrasah lebih banyak di pedesaan dan daerah pinggiran, lebih dimotivasi secara intrinsik bahwa belajar itu sebagai suatu kewajiban (lihat beberapa Hadis), dan lebih tanpa pamrih atau dengan kata lain “lillahi ta'allah”. Motivasi agama ini didukung pula oleh ajaran wakaf yang memberi dorongan bahwa tanah/sarana yang telah diwakafkan akan terus mengalir amalnya, walaupun yang bersangkutan telah meninggal dunia.- hampir seluruh tanah madrasah adalah wakaf. Keterikatan emosional ini disatu sisi merupakan potensi dan kekuatan bagi madrasah dalam arti rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggungjawab (sense of responsbility) masyarakat yang tinggi.
Hal ini juga dapat menjadi faktor penting untuk menjamin sustainabilitas (kelangsungan hidup) madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan yang populis.Tapi di pihak lain, ia dapat menjadi kendala. Karena merasa sebagai pemilik dan sebagai pendiri yang membina madrasah semenjak awal, sebagian masyarakat mungkin tidak akan begitu mudah menerima ide-ide reformasi yang diluncurkan dari atas, kecuali dalam keadaan terdesak-- misalnya masyarakat dan/atau yayasan merasa tidak mampu lagi membina sekolah dengan baik karena keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajemen. Dengan kata lain setiap reformasi madrasah akan berjalan lamban.
Keunikan lain yang menarik dari madrasah bahwa jumlah siswa perempuan lebih banyak dari siswa laki-laki. Keadaan terbalik pada sekolah umum, siswa laki-laki lebih banyak dari siswa perempuan. Pada madrasah Ibtidaiyah, jumlah murid perempuan 52% dan murid laki-laki 48%, sedangkan di Sekolah Dasar, murid perempuan 48% dan murid laki-laki 52%. Pada tingkat Tsanawiyah, jumlah murid perempuan 53% dan murid laki-laki 47%, sedangkan murid perempuan di SMP 45% dan murid laki-laki 55%. Demikian pula pada tingkat Aliyah. Murid perempuan 55% dan laki-laki 45%. Keadaan ini berbeda dengan di Diknas yang murid laki-lakinya 53% dan murid perempuan 47%.
Keadaan ini memberi makna (berdasarkan wawancara konsultan ADB dan BEP dengan para orang tua) bahwa orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya di madrasah merasa "aman" dalam arti "moral". Ini memberi petunjuk dalam pandangan para orang tua madrasah masih dianggap sebagai "benteng moral". Namun sayangnya madrasah belum menjanjikan peluang yang lebih luas untuk lapangan kerja. Banyaknya murid wanita pada madrasah dilatarbelakangi oleh pandangan sosiologis masyarakat Islam Indonesia bahwa tugas utama wanita adalah sebagai ibu rumah tangga, yang diharapkan mempunyai jiwa keagamaan yang cukup memadai sehingga mampu membina rumah tangga dengan baik dan mendidik anak-anak dengan baik pula. Dengan kata lain anak wanita yang sekolah di madrasah akhlaknya/moralnya dianggap akan lebih baik dari yang di sekolah umum.
Hal yang sebaliknya terhadap anak laki-laki, di mana anak laki-laki diharapkan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap nafkah keluarga, maka memerlukan pendidikan umum yang memudahkan ia mencari pekerjaan. Dengan demikian menurut persepsi masyrakat, bahwa madrasah mempunyai kelebihan dalam bidang pendidikan akhlak/moral, namun lemah dalam bidang pengetahuan umum dan sebaliknya sekolah umum mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan umum sebagai bekal mencari nafkah, namun lemah dalam pembinaan akhlak/moral. Berdasarkan alasan itu, maka para orang tua lebih menyukai anak laki-lakinya sekolah ke sekolah umum dengan alasan melalui sekolah umum, dimana pelajaran umumnya lebih banyak dan kualitasnya lebih baik, maka lapangan kerja lebih terbuka dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi juga lebih memungkinkan. Kenyataan ini menjadi tantangan madrasah untuk meningkatkan kualitas bidang studi umum dengan tetap mempertahankan kekuatannya sebagai “benteng moral” sebagai ciri khas madrasah.
Keunikan lain lagi dari madrasah adalah lokasi madrasah yang kebanyakan berada di daerah pinggiran, pedesaan, daerah terpencil, daerah miskin dan tertinggal. Ini sesuai dengan akar sejarah madrasah yang lahir dari inisiatif masyarakat di mana mereka tidak mampu mengirim anak-anak mereka ke sekolah yang letaknya jauh dan sekolah dengan bayaran “mahal”. Juga karena faktor ekonomis di mana anak harus membantu orang tua dalam mencari nafkah (dalam hal ini madrasah memberi alternatif pendidikan sore/malam).
Madrasah berdiri biasanya, di mana tidak ada sekolah umum milik Diknas di daerah itu (Oleh karena itu ketika pemerintah melalui program INPRES SD mendirikan hampir di seluruh daerah dimana madrasah telah ada, menimbulkan dilema baru bagi orang tua dan berakibat di beberapa daerah madrasahnya mati dan di beberapa daerah lainnya SD Inpresnya yang tutup). Sebagai konsekuensi madrasah yang menerima murid dari kalangan rakyat bawah, maka hampir saeluruh madrasah hanya memungut bayaran sekolah “sekedarnya”. Malah kadang-kadang cukup dibayar dengan singkong, pepaya dan sejenisnya..
Dana yang dapat dikumpulkan masyarakat muslim dalam pengembangan madrasah sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan madrasah ketinggalan terus. Pada umumnya madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung siswa-siswa dari keluarga ekonomi lemah. Akibatnya biaya untuk menunjang proses belajar mengajar dengan menggunakan berbagai fasilitas dan teknologi tidak dapat dilaksanakan[22]. Ini pula yang menyebabkan kualitas siswa madrasah tetap tertinggal.
Keunikan lainnya adanya keanekaragaman madrasah baik dari segi jenis pendidikan, penyebaran maupun kualitasnya. Keanekaragaman madrasah tampak dalam berbagai program yang muncul seperti pada Madrasah Aliyah ada program keagamaan, program ketrampilan, program kejuruan di samping madrasah dengan program sekolah umum yang berciri khas Islam. Dari aspek penyelenggara, maka ada madrasah yang bernaung dalam organisasi keagamaan seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah dan lain-lain. Juga ada yang merupakan milik keluarga, milik perorangan atau yayasan. Juga ada yang menjadi bagian dari pondok pesantren. Dari aspek kualitas sangat beragam pula, dari yang berkualitas sekedarnya sampai yang berkualitas unggul.

Bambuapus, 24 Juni 2006

Husni Rahim (1946), guru besar pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mantan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama, Karangannya antara lain ” Sistem Otoritas dan Administrasi Islam, Studi tentang Pejabat Agama di masa Kesultanan dan masa Kolonial di Palembang”, dan ” Madrasah dalam Politik Pendidikan di Indonesia”

[1] Tulisan ini sebagai penghargaan kepada Dr.Karel Steenbrink yang telah menghasilkan disertasi tentang ”Pesantren, Madrasah dan Sekolah, recente ontwekkelingen in Indonesisch Islamonderricht” . Disertasi ini telah pula diterbitkan dalam edisi indonesia oleh LP3ES, Februari 1986 dengan judul ”Pesantren, Madrasah, Sekolah, pendidikan Islam dalam kurun moderen”. Disertasi ini cukup membuka cakrawala baru dalam melihat dinamika pendidikan Islam di Indonesia.
[2] Lembaga pendidikan Islam yang diakui sebagai jenjang persekolahan menurut UUSPN Na 02 1989 adalah BA (Bustanul Atfal, setingkat TK miilik Muhammadiyah) / RA (Raudatul Atfal setingkat TK miilik Nahdatul Ulama), MI (Madrasah lbtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), MA (Madrasah Aliyah) dan PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam). Pondok Pesantren dikenal dengan dua kategari yaitu Pondok Pesantren Salafiyah dan Pondok Pesantren khalafiyah. Pondok Pesantren khalafiyah mengadapsi sistem pendidikan klasikal dengan kurikulum tertata, mengintegrasikan pengetahuan umum . Sedangkan Pondok Pesantren Salafiyah adalah system pendidikan Islam non‑klasikal dengan metade bandongan dan sorogan dan kajian kitab‑kitab klasik (kuning) yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ularna‑ularna pada abad pertengahan.
[3] Sebelum, abad ke‑20, tradisi pendidikan Islam Indonesia belum mengenal istilah madrasah, kecuali pengajian al‑qur'an di masjid, pesantren, surau, langgar atau tajug. Istilah madrasah baru menjadi fenomena pada awal abad ke‑20 ketika di beberapa wilayah, terutama di Jawa dan Sumatera, berdiri madrasah
[4] Wujud kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut tercermin dalam Ordonansi Guru. Ordonansi pertama diberlakukan pada tahun 1905 kemudian diperbaharui 1926. Kebijakan ini mewajibkan guru­-guru agama untuk memiliki surat izin mengajar dari peme­rintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli agama, dapat mengajar di lembaga pendidikan Islam. Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 ‑ dikenal dengan "Pemberontakan Petani Banten" yang sesungguhnya digerakkan oleh kiai ‑ kiai pesantren dan pemimpin tarekat‑ merupakan pelajaran serius bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan tersebut. Selain Ordonansi Guru, pemerintah Hindia Belanda juga meniberlakukan Ordonansi Sekolah Liar (De Wilde Schoolen Onlonantie) sejak tahun 1932. Ordonansi ini bermaksud mengadakan pengawasan terhadap sekolah‑sekolah partikelr (swasta) tak bersubsidi yang diselenggarakan oleh orang-­orang Indonesia maupun orang Timur Asing lainnya. Tujuannya adalah agar pemerintah mendapat kepastian tentang bentuk dan sifat pengajaran sekolah‑sekolah ini, mengetahui dan bila perlu melakukan pengawasan atau bahkan melarang (menutup) bila ternyata sekolah‑sekolah ini membahayakan "ketertiban umum". Dengan alasan "meng­ganggu ketertiban umum" izin suatu sekolah bisa saja dicabut. Tentu saja peraturan ini bukan saja menghambat usaha pengajaran rakyat yang dilakukan organisasi‑organisasi Islam, tetapi juga bisa mematikan beroperasinya lembaga‑lembaga pendidikan Islam yang ada. Karena itu muncul reaksi keras dari kalangan Islam maupun gerakan kebangsaan
[5] Madrasah, dalam peta dunia pendidikan di Indonesia, memang bukan suatu yang indigenous, sebagaimana ditunjukkan oleh kata "madrasah" itu sendiri yang berasal dari Bahasa Arab. Secara harfiah kata "madrasah" berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia "sekolah" (yang nota bene juga bukan kata asli bahasa Indonesia). Dalam pengertian ini, madrasah memiliki konotasi spesifik dimana anak memperoleh pembelajaran agama
[6] Pada tanggal 27 Desember 1945, sebagai tindak lanjut dari maklumat di atas, BPKNIP menyarankan agar madrasah dan pondok pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materiil dari pemerintah, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat­ berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya
[7] Dalam kabinet Wilopo, tugas Kementerian Agama dalam bidang pendidikan dan pengajaran di samping kedua hal tersebut, ditambah lagi dengan penyelenggaraan pendidikan guru untuk pengajaran agama di sekolah umum dan guru pengetahuan umum di perguruan‑perguruan agama.
[8] Lihat pasal 2 ayat (1) dan (2) dan pasal 10 ayat (2)
[9] Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan madrasah menurut pemerintah (Departemen P&K) lebih didominasi oleh ”muatan‑muatan agama, meng­gunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pe­merintah”.
[10] Dampak lain dari keberhasilan ini makin lemahnya penguasaan agama pada siswa madrasah, karena mereka hanya mendapatkan porsi 30% dan ini pula mengkhawatirkan beberapa tokoh Islam bahwa madrasah tidak lagi mempersiapkan calon-calon ulama di masa datang. Fakta inilah yang membuat Prof. Munawir Sadzali, ketika menjadi Menteri Agama (1983‑1993), mengintrodusir – sebagai solusi terhadap apa yang disebutnya "krisis ulama" mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan komposisi kurikulum 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum plus pengajaran bahasa (Arab dan Inggris) secara intensif. Dengan program ini input IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi menjadi support bagi kemunculan calon‑calon ulama. Sampai disini sudah tampak bahwa madrasah diinginkan untuk memberi peluang pendidikan kepada dua kebutuhan dasar ummat yaitu: Pertama, peluang bagi yang ingin memberikan pengetahuan umum sebagai fokus utama, namun porsi agama tetap sebagai identitas (madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam). Kedua, peluang bagi yang ingin menjadikan pengajaran agama sebagai fokus utama dan pengetahuan umum sebagai tambahan (MAPK).
[11] Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang‑kurangnya sama dengan "SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun‑ 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya.
[12] Hal ini tampak dari data siswa yng ikut ebtan 1994/1995 ternyata murid terbanyak berada di jurusan umum (52,11%) yang mencakup IPS, IPA,dan Budaya. Sedangkan jurusan ilmu agama hanya (47,89%).
[13] yang telah disahkan Presiden pada tanggal 8 Juli 2003 setelah melalui perdebatan panjang di masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat
[14] yang mengatur:
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama;
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal;
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabbaja samanera dan bentuk lain yang sejenis;
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
[15] Community-based education, merupakan kebijakan yang memberikan keleluasaan begi masyarakat untuk ikut serta berperan serta dalam pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitar.
[16] Pelajaran agama yang mencakup akidah/akhlak, fikih, Quran/Hadist, sejarah Kebudayaan islam dan Bahasa Arab diberikan waktu 4 sd 7 jam pada MI dan 9 jam perminggu pada MTs dan MA. Jumlah jam yang demikian itu masih dirasakan “kurang” sehingga masih ada suara, kurikulum 1994 sebagai kurikulum yang “mendangkalkan agama”. Pertanyaan sekarang, apakah ciri khas agama pada madrasaha hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi agama, sehingga bila jam belajar bidang studi agama kurang berarti terjadi pendangkalan agama?. Ciri khas Islam pada madrasah menjadi tanggungjawab semua orang yang terkait dengan madrasah. Mulai dari kepala madrasah (pimpinan), guru (baik bidang studi agama maupun bidang studi umum) , tenaga kependidikan lainnya , BP3 , dan para siswa sendiri.
[17] Mafikib adalah singkatan untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggeris. Bidang studi mafikibb ini merupakan aspek pendidikan yang dominan dalam peningkatan kemampuan nalar dan analisi siswa. Melalui bidang studi mafikibb siswa akan lebih mudah mengembangkan iptek.
[18] Jabir ibn Hayyan (oleh orang Barat dikenal dengan "geber" adalah ahli kimia yang diakui dunia Barat. Dernikian pula Musa al‑Khawarizmi scorang ahli matematika yang memperkenalkan "algebra atau aIjabar" dan memperkenalkan angka Arab.; Ibn Sina seorang ahli ketabiban (kedokteran) yang banyak menulis buku kedokteran ; Ibn al‑Haytam (Alhazen nama Latinnya) adalah seorang ahli fisika yang memperkenalkan lapangan optik daiam fisika dan juga pengunaan kamera. Abu Raihan al‑Biruni seorang ahli astronomi yang juga ahli fisika; Abbas ibn Famas termashur dalam ilmu kimia (menemukan pembuatan kaca dari batu); Ibrahim ibn Yahya ahli astronomi (menentukan perhitungan gerhana dan membuat teropong bintang); dan rnasih banyak lagi tokoh ilrnuwan Islam yang muncul di rnasa kejayaan Islam
[19] Kecilnya peminat siswa MA yang mengambil jurusan mafikibb, menunjukkan bidang studi itu belum menarik atau dianggap berat. Keadaan tersebut tampak pada data siswa yang ikut ebtanas 1994/1995, terbanyak siswa di jurusan agama (47,8%), IPS (34,9%), Budaya (1,4%), Biologi (12, 1%) dan IPA (3,8%).
[20] Pelajaran agama dengan nuansa iptek merupakan upaya mendekatkan agama dengan iptek melalui kontekstualisasi ajaran agama terhadap iptek yang bermanfaat guna mengamalkan ajaran agama.
[21] Kehadiran masjid/mushallah menjadi ciri khas utama, sebagai pusat kegiatan keagamaan di madrasah, Di samping itu ada rnadrasah yang rnemberi ciri khas suasana ini dengan pakaian (busana muslim), tata ruang, bentuk bangunan ataupun aktifitas keagamaan seperti shalat berjamaah, membaca Alquran selama 10 menit setelah shalat berjamaah, berdoa sebelum belajar, shalat dhuha, kemampuan membaca Alquran bagi anak klas III MI dan mampu membaca dengan betul pada anak klas VI MI, ada juga kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggeris sebagai ciri khas madrasah
[22] Data Emis 2001 menunjukkan alokasi dana untuk proses belajar mengajar di madrasah hanya 5,6% , dana terbesar pada gaji dan honor serta pemeliharaan.

No comments: