Tulisan dimuat dalam Majalah Pembimbing No. 65 dan 66, tahun 1988. Ditjen Kelembagan
Pendahuluan
Pada masa penjajahan Belanda, masalah pendidikan agama diurus oleh dua departemen, yaitu Departemen van Onderzvijst en Eeredinst untuk pengajaran agama pada sekolah umum dan Departemen van Binnenlandsche Zaken untuk pengajaran agama. pada lembaga4embaga Islam (madrasah dan pesantren). Pengertian pengurusan di sird lebih berfokus kepada mengamati, mengawasi dan menjaga. pendidikan agar agama dan lembaga pendidikan agama agar tidak membahayakan kepentingan penjajah. Jadi, pengurusan bukan untuk mernbantu dan memajukan lembaga pendidikan agama.
Setelah Departemen Agama berdiri pada tanggal 3 fanuari 1946 berdasarkan Ketetapan Pernerintah No. I /sd tahun 1946 dalarn Kabmet Syahrir, maka tugas utamanya adalah mengamb:d alih tugas keagamaan yang pada masa penjajahan Belanda berada di berbagai unit departemen. Tugas tugas tersebut adalah: masalah pengajaran agama di dua departemen yang telah disebutkan di atas, masalah haji, perkawinan, zakat fitrah, mesjid dan penghulu yang juga berada di bawah Departemen van Binnenlandsche Zaken. Masalah Mahkamah Islam, Raad Agama serta Penghidu Landraad diurus oleh Departement van Justitie dan masalah pergerakan agama diurus oleh Kantoor der Advizeur voor Inlandscheen Mohammadansche Zaken.
Dengan berdirinya Departemen Agama, pengertian pengurusan seperti di masa penjajahan diubah bukan untuk mengamati dan mengawasi, tetapi membina, membantu dan memajukan kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Berdirinya Departemen Agama merupakan kebutuhan dan tuntutan sejarah. Dengan adanya Departemen Agama diharapkan perhatian dan pembinaan kehidupan beragama akan menjadi salah satu tugas pembangunan bangsa sebagai realisasi dari negara Pancasila.
Salah satu modal yang dirniliki rakyat Indonesia pada waktu memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 adalah lembaga pendidikan Islam berupa pesantren dan madrasah yang tersebar luas dengan bentak dan corak serta susunan yang sangat bervariasi. Pesantren dan madrasah ini selama. masa penjajahan tidak pernah mendapat bantuan, malah selalu diawasi dan dihambat perkembangannya. Sikap tersebut tampak jelas tercermin dalam Ordonansi Guru (Guru Ordonantie) tahun 1905 yang tercantum dalam Statsb1ad 1905 no. 550 yang berlaku untuk Jawa dan Madura terhitung 2 Nopember 1901. Isi ordonansi itu mengharuskan adanya izin tertulis bagi setiap guru agama yang akan mengajar sebelum melakukan tugasnya. Kepada guru agama. diwajibkan membuat uraian yang terperinci mengenai sifat dari pendidikan yang dikelola serta membuat daftar murid menurut bentuk tertentu yang harus dikirim. secara periodik. Selanjutnya ditentukan pula bafiwa bupati atau pejabat yang sama kedudukannya bertugas mengawasi dan mengecek apakah guru agama tersebut bertindak sesuai dengan izinnya dan mengawasi pula murid murid yang berasal dari luar daerah.
Ordonansi ini kemudian diubah menjadi Ordonansi Guru tahun 1925 yang tercantum dalam Staatsblad 1925 danberlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam Ordonansi Guru tahun 1925, guru agama hanya diwajibkan untuk memberi tahu bukan meminta izin, tetapi ditentakan pula. sanksi hukuman kurungan atau denda bila melanggar. Ordonansi guru ini dirasakan umat Islam sebagai usaha pihak penjajah Belanda untuk menghambat dan mengurangi arus penyebaran agama Islam. Reaksi secara terbuka dan terkoordinir dicetuskan oleh Sarekat Islam dalam Kongres; Al Islam tahun 1922 yang menyatakan bahwa Ordonansi Guru tahun 1905 itu mengharnbat kegiatan guru agama Islam.
Ordonansi 1925 dari segi isi tidak banyak berbeda dengan ordonansi 1905, hanya penurunan izin kepada pemberitahuan saja. Tetapi sikap, untuk mengawasi dan menghambat agama Islam tetap dirasakan umat Islam. Oleh karena itu, pada tahun 1926 (1 5 Desember) dalam Kongres Al Islam di Bogor dicetuskan secara tegas sikap, menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama. Reaksi berikutnya datang dari Muhammadiyah. Melalui Kongres ke 17 tanggal 12 20 Februari 1928 Muhammadiyah dengan sangat keras menuntut agar ordonansi guru ditarik kembali. Reaksi pal¬ing keras ditunjukkan oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat melalui Rapat Besar di Bukittinggi tanggal 18 Agustus 1928 menetapkan mosi menolak Ordonansi Guru diberlakukan di Minangkabau.
Sikap, pernerintah Belanda terhadap pendidikan agama di sekolah umum adalah netral seperti dinyatakan dalam pasal 179 (2) Indische Staatsregeling bahwa pendidikan umum adalah netral. Artinya, pengajaran diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing masing. Di sekolah menengah umum yang berbahasa Belanda sepc;:ti MULO (Meer Hitgebreid Lager Onderwijst) dan AMS, (Algemene Middelbare School) pada tahun 1930 an diajarkan juga pelajaran agama Islam bagi murid mu¬rid yang berminat dan bersifat sukarela. Pelajaran diberikan 1 kali seminggu, biasanya pada sore hari. Murid dikumpulkan dalam satu ruangan untuk semua tingkatan. Gurunya kebanyakan berasal dari kalangan pembaharu.
Pada sekolah partikelir, berdasarkan Staatsblad 1924 No.68 ditentukan bahwa murid bebas untuk tidak mengikuti pelajaran kalau orang tuanya menyatakan keberatan. Pada sekolah umum. partikelir Islam seperti HIS Met Qur'an, MULO met Qur'an, diberikan pula pelajaran agama Islam sebagai tarnbahan. Setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, madrasah dan pesantren tetap berjalan sesuai dengan kernampuan para pengasuh dan masyarakat pendukungnya. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dari masyarakat, aiadrasah bukan saja berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga. berperan sebagai basis perjuangan menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Di samping itu secara langsung telah ikut mencerdaskan rakyat Indo-nesia. Oleh karena itu, wajar bila Pernerintah RI menunjukkan perhatian yang tinggi. Perhatian tersebut tercermin dalarn pengumuman BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indone¬sia Pusat) tanggal 22 Desember 1945 yang antara lain menganjurkan bahwa dalarn memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang¬kurangnya diusahakan agar pengajaran di langgar langgar dan madrasah berjalan terus dan diperpesat.
Pada tanggal 27 Desember 1945 BP KNIP dalarn rapatnya memutuskan pula antara lain: menyarankan agar pendidikan agama mendapat tempat yang teratur seksa~ _ ia dan mendapat perhatian yang sernestinya dengan tidak mengtzangi kemerdekaan golongan golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. BP KNIP merekomendasikan agar madrasah dan pesantren mendapat perhatian, tuntunan dan bantuan material dari pernerintah, karena madrasah dan pesantren pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalarn masyarakat Indonesia. BP KNIP juga. mernutuskan untuk membentuk kon dsi khusus dengan tugas merumuskan lebih terperinci mengenai garis besar pendidikan di Indonesia. Komisi ini dikenal dengan nama Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Dalarn laporan yang disusun oleh Panitia tanggal 2 Juh 1946 diusulkan:
1. Pelajaran agama dalarn semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah;
2. Para guru dibayar oleh pernerintah;
3. Pada Sekolah Dasar, pendidikan agama diberikan mulai kelas IV;
4. Pendidikan tersebut diselenggarakan sen dnggu sekah pada jam tertentu;
5. Para guru diangkat oleh Kernenterian Agarna;
6. Para guru agama diharuskan juga cakap dalarn pendidikan urnurn;
7. Pernerintah menyediakan buku untuk pendidikan agarna;
8. Diadakan latihan bagi para guru agarna;
9. Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki;
10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan;
Ketentuan no. 6, 8, 9 dan 10 tarnpaknya saran untuk menyempumakan sistern pendidikan di madrasah dan pesantren yang telah berlangsung selarna ini, yang dianggap terlalu menitikberatkan pada pendidikan agarna sernata.
Tulisan ini terbatas mernbahas sekolah agarna dan madrasah negeri dan unit pengelola pendidikan agarna di Departernen Agarna.
Perkembangan Persekolahan Agama Islam Departernan Agama
Pendidikan Dasar dan Menengah
Madrasah Negeri
Ketika Departernen Agarna didirikan, salah satu tugas Bagian Pendidikan adalah mengadakan suatu "pilot project" sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang orang atau organisasi yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta). Tugas ini mengandung maksud sekolah agarna (madrasah) n fflik pernerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh bagi pihak swasta dalarn mengelola pendidikan agarna. Pendirian madrasah negeri merupakan sisi lain dari bentuk bantuan dan pernbinaan terhadap madrasah swasta.
Bentuk pertarna dari pembinaan terhadap madrasah dan pesantren setelah Indonesia merdeka adalah seperti yang ditentukan dalarn Peraturan Menteri Agarna No.1 tahun 1946, tanggal 19 Desernber 1946 tentang pemberian bantuan madrasah.Dalarn peraturan tersebut dijelaskan bahwa madrasah adalah tiap tiap tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agarna Islam sebagai pokok pengajarannya (Iihat penjelasan pasal I peraturan tersebut). Bantuan tersebut diberikan setiap tahun dan baru terbatas untuk beberapa karesidenan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Surakarta. Bentuk bantuan berupa uang yang hanya boleh digunakan untak: 1) memberi tunjangan kepada para guru, 2) membeli alat alat pelajaran, 3) menyewa dan atau memelihara ruang ruang dan gedung madrasah dan 4) membiayai adn dnistrasi. Peraturan tersebut mencanturnkan pula ketentuan bahwa dalam madrasah itu. hendaknya diajarkan juga. pengetahuan umum setidak tidaknya: a) bahasa Indonesia, berhitung dan membaca serta menulis dengan huruf latin di madrasah tingkat rendah, b) ditambah dengan ilmu ilmu tentang bumi, sejarah, kesehatan tumbuh tumbuhan dan alam di madrasah lanjutan. Jumlah jam pengajaran untuk pengetahuan umum sekurang¬kurangnya 1/3 dari jun dah jam pengajaran seluruhnya.
Ketentuan untuk mengajarkan pengetahuan umum. 1/3 dari seluruh jam pengajaran dilatarbelakangi oleh saran Panitia 1'enyelidik Pengajaran yang mengamati bahwa di madrasah¬madrasah jarang sekali diajarkan pengetahuan umum vang sangat berguna bagi kehidupan sehari hari. Kekurangan pengetahuan umum akan menyebabkan orang mudah diombang ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran kurang luas.
Menurut peraturan ini, jenjang pendidikan dalam madrasah tersusun dalam:
- Madrasah Tingkat Rendah, dengan lama belajar sekurang¬kurangnya 4 tahun dan berumur 6 sampai 15 tahun;
- Madrasah Lanjutan dengan masa belajar sekurang¬kurangnya 3 tahun setelah tamat Madrasah Tingkat Rendah dan berumur 11 tahun ke atas.
- Madrasah Rendah (sekarang dikenal dengan sebutan Madrasah lbtidaiyah) dengan masa belajar 6 tahun
- Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (sekarang Madrasah Tsanawiyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat Madrasah lbtidaiyah.
- Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Ma'drasah Aliyah), lama belajar 3 tahun setelah tarnat Madrasah Tsanawiyah.
- Jangka Pendek, menyelenggarakan pendidikan/kursus singkat dengan melatih 90 orang calon guru agarna selama 2 minggu. Dari jumlah itu yang dinyatakan lulus hanya 45 orang dan merekalah yang diangkat pertarna sebagai guru agama dari Departemen Agama yang bertugas mengajar agama di Sekolah Rakyat Negeri di seluruh jawa dan Madura. Langkah lain adalah menyelenggarakan ujian calon guru agama untuk Sekolah Rakyat berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1951. Peserta harus memenuhi syarat antara lain: 1) berijazah sekurang kurangnya Madrasah Tsanawiyah atau yang dipersamakan, 2) mempunyai pengetahuan umum serendah rendahnya sama dengan mereka yang berijazah Sekolah Rakyat atau berijazah Sekolah Normal atau yang setingkat dengan itu, dan 3) mempunyai pengetahuan agama yang cukup untuk memberi pendidikan agama di sekolah rendah. Usaha ini ditempuh karena masih sangat kurangnya guru agama di Sekolah Rakyat, sedangkan PGA/SGAI baru didirikan.
- Jangka panjang membuka/mendirikan pendidikan khusus yang menyiapkan calon guru agama. Dalam rangka merealisir program jangka panjang dalam penyiapan calon guru agama, pada tanggal 16 Mei 1948 di Solo didirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHAI). Sekolah ini kemudian dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 8 Desember 1948, tetapi karena agresi kedua, sekolah ini terhenti dan baru pada tanggal 16 januari 1950 dibuka kembali. Tugas menyiapkan calon guru agama di sekolah umurn menjadi makin mendesak, setelah ditetapkannya UU no. 20 tahun 1950 tentang Dasar dasar Pendidikan dan Pegajaran di sekolah. Pasal 20 ayat 1 dan 2 Undang Undang tersebut menentukan bahwa dalam sekolah sekolah negeri diadakan pelajaran agama. Orang tua. murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak. Cara menyelenggarakan agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri PP&K bersama sama dengan Menteri Agama.
- PGA jangka pendek (2 tahun) dan PGA jangka panjang 5 tahun dihapuskan (lihat Penetapan Menteri Agama tanggal 21 Nopember 1953). Sebagai gantinya PGA tersebut diubah menjadi 6 tahun yang terdiri PGAPN 4 tahun dan PGAAN 2 tahun.
- SGHA dihapuskan (lihat Penetapan Menteri Agama tanggal 9 Mei 1954) terutama bagian A, B dan C. Bagian D dianggap masih diperlukan. Sebagai ganti dari bagian D didirikan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) yang lama belajarnya 3 tahun dengan murid murid pilihan dari PGAPN 4 tahun. Kalau SGHA tadinya 4 buah, PHIN tinggal 1 buah di Yogyakarta.
- Bahwa oleh masyarakat banyak dihajatkan tenaga ahli ilmu keagamaan pada umumnya untuk ditugaskan dalam beberapa lapangan pernerintah; bahwa sekarang telah sangat dirasakan kekurangan tenaga tenaga ahli dalam ilmu keagamaan Islam;
- Bahwa untuk mencapai keahlian tersebut, hingga kini pelajar pelajar Indonesia terpaksa mengikuti pelajaran pada perguruan perguruan tinggi di luar negeri yang tidak mempunyai hubungan yang seksama dengan madrasah¬madrasah di Indonesia;
- Bahwa oleh karena itu perlu diadakan Perguruan Tinggi Agama Islam yang sesuai dengan hajat masyarakat dan keadaan di Indonesia.
- Membentuk sarjana sarjana muslim yang berakhlak mulia, berilmu dan cakap serta mempunyai kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
- Mencetak sarjana sarjana muslim/pejabat pejabat agama Is¬lam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama, maupun untuk kepentingan instansi lain yang memerlukan keahliannya di dalam agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum.
- IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, didirikan berdasarkan Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960;
- IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 49 tahun 1963;
- IAIN ar Raniry Banda Aceh, didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 87 tahun 1964;
- IAIN Raden Fatah Palembang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 87 tahun 1964;
- IAIN Antasari Banjarmasin, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 89 tahun 1964;
- IAIN Sunan Ampel Surabaya, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 20 tahun 1965;
- IAIN Alauddin Ujung Pandang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 79 tahun 1965;
- IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 57 tahun 1966;
- IAIN Imam Bonjol Padang berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1966;
- IAIN Sultan Thaha Saefuddin Jambi, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 84 tahun 1967;
- IAIN Raden Intan Tanjung Karang Lampung, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No 189 tahun 1968;
- IAIN Walisongo Semarang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 31 tahun 1970;
- IAIN Sultan Syarif Qosim Pekanbaru, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 194 tahun 1970;
- IAIN Sumatera Utara Medan, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 97 tahun 1973.
No comments:
Post a Comment