KEHADIRAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM
Belajar Islam di Timur Tengah khususnya Saudi Arabia dan Mesir sudah lama menarik minat orang Indonesia. Hal ini terbukti dalam sejarah haji Indonesia, hampir setiap tahun dalm pemberangkatan jamaah haji, selalu ada sekelompok pemuda yang tidak mau pulang setelah selesai menunaikan ibadah haji, dan menggunakan kesempatan untuk “mukim” tinggal di Mekkah, Madinah ataupun terus ke Mesir untuk “belajar agama”.
Beberapa tokoh terkemuka seperti Abdur Rauf Al-Sinkili dan Muhammad Yusuf Al-Makkasari merupakan kelompok yang belajar dengan pola tadi pada abad ke-17. Kemudian tokoh Abdus Somad Al-Palimbani, Arsyad Al-Banjari, Akhmad Khatib Minangkabau, Nawawi Al-Bantani, merupakan kelompok yang belajar dengan pola tadi sebelum abad ke-18 dan 19 dan tokoh seperti Ahmad Dahlan, Wahid Hasyim, Abdul Wahab Hasbullah, Abdul Halim Majalengka, Mahmud Yunus dan tokoh-tokoh lain yang mewakili generasi abad ke-20 melakukan hal yang sama. Kesemuanya itu menunjukkan minat belajar agama pada tingkat lanjutan ke Timur Tengah masih cukup menarik dan tinggi.
Memperhatikan minat dan keinginan masyarakat untuk melanjutkan belajar ke Timur Tengah tersebut, maka salah satu alasan pendirian PTAIN adalah untuk memberi kesempatan bagi pemuda Indonesia yang ingin memperdalam agama pada tingkat universiter, namun tidak dapat ke Timur Tengah.
Alasan lain pendirian PTAIN seperti yang disebutkan dalam konsideran Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950 adalah untuk menyiapkan calon tenaga pegawai bagi kepentingan Departemen Agama. Kedua alasan itu merupakan harapan ummat dan pemerintah kepada PTAIN ketika Indonesia baru merdeka.
HARAPAN TERHADAP PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM
Kini, ketika Indonesia merdeka telah berusia 54 tahun dan dunia telah masuk ke milineum ketiga dengan globalisasinya, apakah tujuan dan harapan tadi masih relevan? Untuk itu ada baiknya direnungkan kembali tentang harapan-harapan berbagai pihak terhadap PTAI ke depan ini. Membicarakan harapan berbagai pihak terhadap PTAI dimaksudkan untuk mengetahui “demand” tuntutan dan kebutuhan mereka terhadap PTAI.
1. Harapan Masyarakat
Masyarakat , baik masyarakat desa atau kota , masyarakat “terdidik” ataupun “kurang terdidik” menganggap lulusan PTAI sebagai “orang alim” yang paham agama dan melaksanakan ajaran agama khususnya ibadah mahdah . Oleh karena itu hampir disetiap kesempatan atau forum, bila ada kegiatan berbau agama, orang-orang selalu melirik lebih dahulu, apakah di forum atau kesempatan itu ada mahasiswa atau lulusan PTAI. Misalkan dalam sholat berjamaah, ketika mencari siapa yang akan menjadi imam, maka dilihat dulu, apakah disitu ada mahasiswa atau lulusan PTAI, bila ada maka ia dipersilahkan lebih dahulu untuk menjadi imam. Demikian pula ketika ada kenduri atau selamatan. Waktu akan acara memimpin doa, maka dilirik pula mahasiswa atau lulusan PTAI. Demikian juga dalam berbagai kegiatan agama atau kegiatan yang bersentuhan dengan agama seperti sholat Jum’at, upacara kematian. dalam acara doa, ceramah, nasehat/fatwa dan lain-lain. Mereka merasa kurang “afdol” bila disitu masih ada lulusan PTAI.
Dalam perasaan masyarakat bidang-bidang kegiatan tersebut merupakan “otoritas” PTAI. Sama halnya bila masalah kesehatan yang muncul orang akan selalu melirik ke para dokter atau ahli kesehatan masyarakat.
Di samping itu masyarakat menganggap “orang PTAI” tentu melakukan ibadah dengan “baik dan teratur serta berakhlak yang terpuji”. Masyarakat akan merasa “aneh dan janggal” bila anak PTAI tidak mampu melakukan hal tersebut. Mereka tidak mengerti apakah anak tersebut lulusan fakultas Syariah, Ushuluddin, Tarbiyah, Adab ataupun Dakwah, bahkan jurusan apapun juga mereka tidak peduli yang mereka pahami setiap anak dan lulusan PTAI tentu mampu mengamalkan dan memimpin kegiatan keagamaan.
2. Harapan Ulama dan Pimpinan Organisasi/Kelembagaan Islam
Disisi lain para ulama/tokoh agama, maupun pimpinan organisasi atau kelembagaan Islam, mengharapkan dari para lulusan PTAI muncul kader-kader pimpinan ummat ataupun “ulama muda” dan para organisator. Merekalah yang diharapkan untuk menggerakkan berbagai lembaga dan organisasi Islam baik dalam bidang dakwah, kemasyarakatan, ekonomi, dan politik. Dengan demikian mesjid yang jumlahnya ratusan ribu , juga majelis-majelis taklim, lembaga dakwah, lembaga bazis dan berbagai organisasi/kelembagaan Islam akan menjadi pusat-pusat pemberdayaan ummat yang digerakkan oleh para alumni PTAI.
3. Harapan Pemerintah
Pemerintah , berharap dari PTAI tersedianya para “administratur Islam” yang mampu mengelola adminstrasi pemerintah dan swasta, khususnya yang berkaitan dengan kelembagaan Islam seperti unit kantor departemen agama, pesantren, madrasah , masjid, majelis taklim dan berbagai unit kelembagaan Islam lainnya.
Di samping sebagai administrator, pemerintah berharap juga lulusan PTAI mampu menjadi pembina rohani dari lembaga-lembaga pemerintah dan swasta seperti di kantor-kantor, rumah sakit, panti jompo dsb. Karena PTAI berada di daerah, maka tentunya harapan pemerintah daerah harus mendapat perhatian pula. Harapan pemerintah daerah ini akan memberikan spesifikasi wilayah berdasarkan potensi, adat dan kultur daerah itu sendiri.
4. Harapan Orang Tua
Orang tua yang menyekolahkan anaknya di PTAI juga berharap agar anaknya menjadi “orang alim” dalam arti mempunyai pengetahuan dan pemahaman agama yang cukup, melaksanakan ajaran agama dan mampu memberi bimbingan agama serta berakhlak yang baik. Kemudian setelah lulus mendapat pekerjaan yang “layak”. Begitu besar harapan orang tua ini, menyebabkan kadang-kadang mahasiswa masuk PTAI bukan atas kemauannya sendiri tapi lebih didorong oleh kemauan orang tuanya.
5. Harapan Mahasiswa
Mahasiswa sendiri berharap dengan pengetahuan agama dan umum yang didapat dan gelar sarjana yang diperoleh, akan menjadi bekal mencari pekerjaan yang layak, sehingga dapat meningkatkan kehidupannya dan status sosialnya, di samping itu dapat juga mengabdi pada bangsa dan agama.
Selain harapan-harapan tadi masih ada satu hal lagi yang juga perlu mendapat perhatian yaitu tantangan global yang merupakan faktor ekternal yang patut menjadi perhatian dan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
TANTANGAN YANG DIHADAPI PTAI
Salah satu kritik yang ditujukan kepada dunia pendidikan kita adalah bahwa sistim dan proses pendidikan yang ada kurang sekali memperhatikan pembentukan kepribadian yang mandiri, kreatif, inovatif dan demokratis. Beban matakuliah dengan jumlah SKS yang begitu banyak telah mempersempit ruang kreasi bagi para mahasiswa untuk mengembangkan kepribadiannya sebagai calon sarjana yang mandini yang mampu meresponi lingkungan sosialnya secara kreatif Dalam benak mahasiswa terdapat dua target utama yang selalu memenuhi pikirannya. Pertama bagaimana memenuhi target SKS yang telah ditetapkan agar segera berhasil meraih titel kesarjanaannya, dan kedua bagaimana. memperoleh pekerjaan dengan modal ijazah yang diraihnya. Dengan ungkapan lain, tujuan utama masuk perguruan tinggi adalah untuk meningkalkan "harga jual" dirinya dalam pasaran kerja, namun kurang disertai kualitas leadership dan entejpreneurship .
Indonesia dengan sumber daya alam yang demikian melimpah dan jumlah penduduk yang sangat besar tidak akan mampu bersaing dalam percaturan global kalau sarjana yang dilahirkan oleh perguruan tinggi tidak memiliki sikap mandiri serta semangat dedikasi yang tinggi. Mengenai semangat belajar, sesungguhnya mahasiswa Indonesia pada umumnya cukup tinggi, terlebih bagi mereka yang datang dan pedesaan yang merupakan tumpuan harapan keluarga serta model bagi adik adiknya. Hanya saja sesampai di kampus mereka kurang memperoleh iklim dan bimbingan belajar yang bagus, antara lain dikarenakan oleh fasilitas belajar serta kesungguhan dosen yang tidak optimal dalam melaksanakan tugasnya. Lebih dan itu, jumlah mata kullah yang begitu banyak telah memaksa mahasiswa untuk belajar sekedar mempersiapkan diri untuk lulus ujian, sehingga interaksi mahasiswa dengan dunia luar menjadi semakin mengecil.
Sistim SKS yang diimport dari manca negara ke Indonesia kelihatannya tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Idealnya, dua pertiga dari satuan pelajaran dilakukan di luar kelas baik secara mandiri maupun terstruktur. Sementara yang sepertiga berupa tatap muka di ruang kuliah. Namun pada prakteknya sebagian mahasiswa lebih mengandalkan tatap muka di kelas, sementara dua pertiga lainnya belum terarahkan secara matang. Kalau saja dua pertiga, lebih dikaitkan dengan dunia luar yang lebih empiris, terstruktur, sehingga sejak masih di bangku kuliah mahasiswa sudah mengenal kinerja profesional, maka kelak ketika tamat tidak harus kaget dan bingung memasuki realitas sosial yang baru. Dengan kata lain, proses pendidikan di perguruan tinggi hendaknya jangan teralienasi dengan problem problem sosial. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang pluralistik dari segi etnis, agama, dan budaya maka pemahaman dan kesadaran seorang sarjana akan pluralitas. Berbeda dengan masyarakat Barat yang telah mapan, proses modemisasi di Indonesia yang telah melahirkan berbagai benturan budaya dan politik secara signifikan sangat berpengaruh pada kinerja ekonomi. Dengan demikian, banyak faktor faktor non ekonomi yang berpengaruh pada kinerja ekonomi.. Isu SARA misalnya, ternyata telah menggoncang tatanan ekonomi, politik dan sosial budaya. Jadi, sangatlah penting bagi mahasiswa agar sejak dini memperoleh wawasan nusantara sehingga mereka juga memiliki wawasan komparatif dan marnpu berpikir alternatif
Trend pendidikan tinggi yang semakin mengarah pada demokratisasi dan desentralisasi pada urutannya mengajak pimpinan Perguruan Tinggi untuk lebih serius menjadikan masyarakat Perguruan Tinggi sebagai mitra pernerintah daerah dalam rangka mengembangkan potensi wilayah, baik dan segi ekonomi, politik, maupun budaya. Dengan demikian, muatan kurnas perlu ditinjau ulang sementara kurlok sebaiknya diperbesar, sehingga mendekatkan dunia kampus dengan kesempatan dan tantangan pembangunan wilayah masing masing. Dalam kaitan ini, mengapa Pesantren masih bertahan, salah satu sebabnya adalah karena pendidikan di pesantren sangat fleksibel dan memiliki orientasi sosial yang sarigat menonjol. Tentu saja banyak hal yang perlu dikritik dan segi pendidikan pesantren. Namun beberapa nilai yang sangat relevan untuk kita pelihara dan kita apresiasi adalah pesantren sangat menekankan nilai keikhlasan, kesederhanaan, cinta ilmu, persaudaraan, dan kemandirian. Kalau nilai nilai ini ditopang dengan ketrampilan yang bersifat profesional serta wawasan ilmu sosial dan kemoderenan, maka para sarjana. kita akan lebih mandin, kreatif dan dedikatif.
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA
Jumlah penduduk Islam Indonesia yang sangat besar sekitar 190 juta merupakan jumlah umat Islam terbesar di dunia dan menjadi sasaran layanan yang (client) sangat strategis. Di samping itu umat islam Indonesia dalam mengaplikasikan agama mempunyai beraneka ragam intitusi keagamaan yang jumlahnya ratusan ribu buah baik dalam bentuk masjid, mushallah, madrasah, pondok pesantren, majelis taklim/majelis dakwah, remaja masjid, badan amil zakat dan lain-lain. Kesemua kelembagaan tersebut memerlukan tenaga pengelola yang profesional dan visioner.
Di sisi lain begitu besarnya pengaruh Islam pada kehidupan mansyarakat yang telah menumbuhkan “kultur Indonesia yang bernuansa Islam”. Kultur ini memberikan kedekatan bangsa Indonesia dengan Islam, kalau tidak dapat dikatakan membuat bangsa Indonesia dikategorikan sebagai kelompok umat Islam. Belum lagi dengan banyaknya tokoh-tokoh baik tokoh politik, intelektual, ekonom, administratur dan tokoh agama yang juga berasal dari kalangan lulusan PTAI.
Begitu besar harapan banyak pihak dan begitu luas bidang yang dimasuki agama serta begitu banyak jumlah ummat Islam di Indonesia telah memberikan indikasi bahwa masa depan Islam di Indonesia akan banyak diwarnai oleh kemampuan PTAI menyiapkan diri sebagai sumber SDM Ummat yang mumpuni. Ini merupakan tantangan berat PTAI ke depan.
LANGKAH PTAI KEDEPAN
Dari harapan terhadap PTAI dari kalangan masyarakat, tokoh agama, pemimpin organisasi Islam, pemerintah, orang tua dan mahasiswa sendiri serta tantangan global, maka dapat ditarik satu profil dari lulusan PTAI yang diidamkan oleh banyak pihak tersebut.
Profil tersebut adalah lulusan yang mempunyai kemampuan dasar agama (basic competancy agama) yang cukup ; menguasai ilmu alat berupa bahasa Arab , Inggeris , ketrampilan komputer ; dan menguasai dasar-dasar kepemimpinan .
Bila harapan berbagai pihak tersebut dapat dipenuhi oleh PTAI, maka secara tidak langsung kehadiran PTAI dirasakan maknanya oleh berbagai pihak dan dengan sendirinya rasa tanggungjawab (sense of responbility) dan rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat akan tinggi
Rasa memiliki dan rasa tanggung jawab berbagai pihak terhadap PTAI ini akan menjadi kekuatan untuk menjamin keberlangsungan hidup (sustainability) PTAI. Keadaan ini juga akan memunculkan rasa percaya diri sehingga ketergantungan dengan pemerintah akan menjadi sangat berkurang
Pertanyaan sekarang, apakah kurikulum PTAI telah menjawab harapan dan profil dari lulusannya?. Bila belum maka perlu kaji ulang, termasuk adanya jenjang pendidikan S1, S2 dan S3 yang memberikan kemampuan yang berbeda satu sama lain. Keinginan agar lulusan PTAI menjadi ulama dan pemikir Islam tentunya diharapkan pada jenjang lulusan S2 dan S3 saja.
Kalau boleh menyimpulkan bahwa dari harapan dan tantangan global yang akan dihadapi lulusan PTAI tersebut, maka kemampuan minimal lulusan PTAI (S1) harus mencakup: Kemampuan dasar agama , kemampuan ilmu alat berupa bahasa arab dan komputer dan kemampuan dasar kepemimpinan. Dengan tiga kemampuan dasar itu, lulusan PTAI akan siap terjun ke masyarakat dan siap memasuki globalisasi .
Dengan tiga kemampuan dasar tersebut, PTAI dapat membuka berbagai bidang profesi yang dibutuhkan masyarakat. Bagi mahasiswa PTAI yang berminat menjadi “ulama”, dia dapat mengambil berbagai program studi yang khusus untuk itu seperti program studi Al-Qur’an, program studi Hadist, program studi Fiqh. Bagi yang ingin menjadi “ilmuan/scientis”, ia dapat mengambil program studi umum seperti psikologi, ekonomi, teknik, MIPA bahkan kedokteran sekalipun. Inilah yang disebut PTAI dengan “wider mandate”. Inilah pula nantinya yang membedakan fakultas umum di Universitas Islam Negeri dengan fakultas umum di Universitas Indonesia, atau Universitas Islam Indonesia. Bila pada Universitas Indonesia dan Universitas Islam Indonesia, pengetahuan umumnya sebagai kemampuan (spesialisasinya) dan pengetahuan agama sebagai pelengkap/pemandu. Sedangkan pada universitas Islam Negeri, Pengetahuan dasar agama sebagai fondamen dan pengetahuan umumnya sebagai kemampuan (spesialisasinya).
Tiga kemampuan dasar ini diterjemahkan oleh masing-masing PTAI dalam bentuk kurikulum minimal yang mata kuliahnya ditentukan sendiri. Tiga kemampuan dasar ini tidak harus diformulasikan dalam bentuk kurikulum yang diajarkan secara terstruktur, namun harus dibuat sedemikian dinamis dan fleksibel sehingga dapat dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, baik melalui kurikuler, ko kurikuler ataupun ekstra kurikuler.
Kemampuan Bahasa Arab dan komputer misalnya, dapat dilakukan dengan kerjasama pihak ketiga yang punya program tersebut . Kemampuan dasar kepemimpinan dapat diperoleh mahasiswa dengan aktif di organisasi mahasiswa ataupun melalui kegiatan ekstra kurikuler yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi mahasiswa, baik di kampus maupun di luar kampus.
Bagi mahasiswa yang telah memiliki kemampuan dasar tersebut yang boleh jadi diperolehnya di jenjang pendidikan sebelumnya tidak perlu dibebani lagi, sehingga ia dapat mengambil program berikutnya.
HR Bambuapus, 07042000.
No comments:
Post a Comment