Husni Rahim
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia . Madrasah tersebut telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk pengajian di rumah-rumah, terus ke mushollah, mesjid dan kebangunan sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini. Demikian pula dari segi materi pendidikan, telah terjadi perkembangan dari yang tadinya hanya belajar mengaji al-qur'an kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, terus ke pengajian kitab, lalu ke pengajaran agama di madrasah berupa mata pelajaran tauhid/ akidah, akhlak, fiqh, hadis, tafsir, sejarah Islam dan bahasa Arab.
Dari segi jenjang pendidikan, telah terjadi pula perkembangan dari belajar mengaji Quran kejenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian ketika sudah berbentuk madrasah telah pula berjenjang mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah (SMP),dan Madrasah Aliyah (SMA).
Masuknya penjajahan Belanda yang membawa sistim pendidikan Barat yang sekuler telah pula membuka mata umat Islam Indonesia, akan adanya sistem sekolah (school) yang memberi pengajaran pengetahuan umum (membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah dll). Perkembangan sekolah ini mengikuti politik penjajahan, dimana untuk orang Indonesia, diberi kesempatan yang sangat terbatas untuk bisa ikut sekolah Belanda (HIS/ELS, MULO, AMS) dan untuk anak-anak kalangan bangsawan dan pejabat Indonesia rendahan, disediakan HIS (sekolah kelas satu dan sekolah kelas dua (Ongko Loro).
Dalam perkembangannya anak-anak lulusan sekolah Belanda inilah yang dipakai oleh Belanda di pemerintahan dan perdagangan dan mereka nantinya membentuk kelompok elit tersendiri yang terpisah dari anak-anak lulusan madrasah yang hanya memfokuskan pengajarannya dengan pelajaran agama. Ketika mulai muncul semangat nasionalisme dan keinginan merdeka, mulailah terjadi pergaulan antara mereka yang tentunya masing-masing menghargai satu sama lain. Situasi inilah nantinya mempengaruhi dunia pendidikan Indonesia yang menginginkan anak didik mereka mempunyai kemampuan pengetahuan umum tapi tetap menjadi pemeluk agama yang baik. Ini melahirkan keinginan/tuntutan adanya pendidikan agama disekolah. Di sisi lain madrasah yang selama ini hanya belajar agama berkeinginan juga memberikan pengetahuan umum bagi anak didiknya, sehingga lulusannya berkemampuan agama yang baik, namun berpengetahuan umum juga (sebagai sarana memasuki pergaulan dunia). Ini melahirkan munculnya pengetahuan umum diajarkan di madrasah (membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah dan olah raga).
Kesadaran untuk memperbaharui atau modernisasi pendidikan Islam ini, pada tingkat awal, direalisasikan dengan pembentukan lembaga lembaga pendidikan Islam modern, yang selain terpengaruh gagasan pembaharuan madrasah di Timur Tengah, juga mengadopsi sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemerakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi organisasi “modernis" Islam seperti Jami’at Khair, al Irsyad, dan Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, pendirian lembaga pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi dan gerakan Islam, seperti Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al Washliyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti). Dengan corak masing masing yang berbeda.
Pada awal perkembangan adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini, setidaknya ada dua kecenderungan dalam eksperimentasi organisasi organisasi Islam di atas. Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Eksperimen ini melahirkan sekolah-¬sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam, misalnya terlihat dengan jelas pada perubahan Madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 menjadi Sekolah Adabiyah (adabiyab school) tahun 1915. Hanya terdapat sedikit ciri atau unsur dalam kurikulum sekolah (HIS) Adabiyah yang membedakannya dengan sekolah Belanda. Selain mengadopsi seluruh kurikulum HIS Belanda. Sekolah (HIS) Adabiyah menambahkan pelajaran agama 2 jam sepekan. Selaras dengan itu, Muhammadiyah mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan Belanda secara konsisten dan mcnyeluruh dengan mendirikan sekolah sekolah umum model Belanda hanya dengan memasukkan "pendidikan agama" (istilah Muhammadiyah: MULO met de Our’an) ke dalam kurikulumnya. Selain itu, Muhammadiyah juga mencoba bereksperimen dengan sistem dan kelembagaan madrasah modern dengan mendirikan Madrasah Muallimin dan Madrasah Muallimat. Hanya saja, madrasah yang dikembang¬kan Muhammadiyah ini tidak menjadikan sistem dan kelembagaan pendidikan Islam tradisional, apakah surau atau pesantren, sebagai basisnya.
Kedua, munculnya madrasah madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Berbeda dengan eksperimen pertama, eksperimen kedua ini justru bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem madrasah, surau, pesantren yang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigenous, dimodernisasi misalnya dengan mengadopsi aspek aspek tertentu dari sistem pendidikan modern Belanda, misalnya kandungan kurikulum, teknik dan metodologi pengajaran. Bentuk kedua ini tampak pada eksperimen H. Abdul Karim Amrullah yang pada 1916 menjadikan Surau Jembatan Besi lembaga pendidikan Islam tradisional Minangkabau sebagai basis pengembangan madrasah modern, yang kemudian dikenal dengan Sumatera Thawalib. Berbarengan dengan itu, Zainuddin Labay el Yunusi mengembangkan "Madrasah Diniyah", yang pada awalnya merupakan "madrasah sore" untuk memberikan pelajaran agama pada murid murid sekolah "gubemment”. Prakarsa ini diikuti oleh adiknya, Rangkayo Rahmah el Yunusiah yang mendirikan "Diniah Puteri". Karakteristik yang sama dapat dijumpai pada madrasah madrasah yang didirikan oleh Jami’at al-Khair di Jakarta tahun 1905, dan kemudian madrasah yang didirikan organisasi AI Irsyad. Termasuk dalam bentuk ini adalah eksperimen yang dilakukan oleh Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta pada¬ tahun 1906. Sebagaimana pesantren lainnya, pesantren ini tetap mempunyai basis pada pendidikan dan pengajaran ilmu-¬ilmu Islam seperti al Qur'an, Hadits, Fiqh, dan Bahasa Arab. Akan tetapi, pesantren ini juga memasukkan pelajaran membaca (tulisan latin), a1jabar, dan berhitung ke dalam. kurikulumnya. Rintisan Pesantren Mambaul Ulum. Ini diikuti beberapa pesantren lainnya. Pesantren Tebu Ireng, misalnya, pada tahun 1916 mendirikan "Madrasah Salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga mengajarkan berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis huruf latin. Model ini juga diadopsi oleh Pesantren Rejoso, Jombang yang mendirikan sebuah madrasah pada 1927.
Respons yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor yang berdiri tahun 1926. Berpijak pada basis sistem dan kelembagaan pesantren, Pondok Modern Gontor memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, mendorong santrinya mempelajari bahasa Inggris – selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstrakurikuler seperti olahiraga, kesenian dan sebagainya.
Kedua bentuk eksperimen ini pada dasarnya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan "pendidikan Islam" yang sebenamya pendidikan umum dengan memasukkan aspek aspek tertentu pengajaran Islam. Di sisi, lain ada sistem dan kelembagaan "madrasah" yang menitik¬ beratkan pengajaran agama baru kemudian memasukkan pelajaran umum dengan keragaman corak dan orientasinya. Organisasi organisasi Islam lain yang bergerak di bidang pendidikan mendirikan madrasah dan sekolah dengan nama, jenis, dan jenjang yang bermacam macam. Mathlaul Anwar di Menes, Banten mendirikan Madrasah lbtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Diniah. PUI pada tahun 1927 mendirikan Madrasah Diniah, Tsanawiyah dan Madrasah Pertanian. Perti tahun 1928 mendirikan madrasah dengan berbagai nama, di antaranya Madrasah Tarbiyah Islamiah, Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah, dan Kuliyah Syariah. Sejak berdiri tahun 1926, NU juga mendirikan Madrasah Awaliyah, lbtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya. Sementara di Tapanuli, Medan, Al Washliyah (1930) menyelenggarakan Madrasah Tajhiziyah, lbtidaiyah, Tsanawiyah, Qismul 'Ali, dan Tahassus. Di samping itu, ada madrasah yang mengguna¬kan nama formal Islam (Kuliah Muallimin Islamiah) didirikan oleh Mahmud Yunus di Padang (1913) dan Islamic College didirikan oleh Pesantren Muslim Indonesia (Permi) tahun 1931.
Menilik latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa proses pertumbuhan madrasah tidak hanya atas dasar semangat pembaharun di kalangan umat Islam. Kelahiran madrasah sesungguhnya juga beralas tumpu pada dua faktor penting;
Pertama, pendidikan Islam tradisional (surau, masjid, pesantren) dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai.
Kedua, laju perkembang¬an sekolah sekolah gubememen di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme, sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.
Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya dua pola respons umat Islam yang lebih progresif, tidak semata mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh dan berkembang di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin meningkat.
Comments
No comments:
Post a Comment