Tuesday, October 12, 2021

PEWARISAN NILAI-NILAI AGAMA PADA MASYARAKAT BUGIS



(Studi kasus di Desa BajoE, Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone)

Oleh:

Husni Rahim[1]

I

Studi pewarisan nilai-nilai agama bermaksud membantu menjelaskan anggapan umum yang sering ditujukan kepada kelompok ummat Islam tentang gelaran "Islam warisan, Islam turunan dan Islam statistik". Studi ini berbentuk studi kasus pada masyarakat Bugis di Desa BajoE; sedangkan masyarakat BajoE dan Mandar yang berdiam di dua kampungdalam desa itu tidak diteliti.

Penelitian ini mencoba mengungkapkan latar belakang budaya masyarakat Bugis di Desa BajoE, khususnya dalam kaitan adat dengan Islam dan mengungkapkan proses berlangsungnya pewarisan nilai-nilai agama dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Yang dimaksud nilai-nilai agama di sini adalah nilai-nilai agama Islam, khususnya mengenai dasar-dasar keimanan (Rukun Iman), dasar-dasar ibadah (Rukun Islam) dan akhlak serta nilai-nilai adat yang berkaitan dengan agama,

Dipilihnya Desa BajoE sebagai lokasi penelitian ini, berdasarkan pertimbangan bahwa desa ini sudah dikenal sejak dulu sebagai desa yang banyak menyelenggarakan kegiatan pendidikan agama. Di samping itu Desa BajoE telah menunjukkan diri sebagai "desa peralihan" dari tipe desa tradisional kepada kota, Juga mata pencaharian penduduknya dapat wakili gambaran umum penduduk desa dan kota, Alasan lainnya untuk memenuhi tema penelitian PLPIIS tahun ini "Perubahan sosial di desa pantai".

Pengumpulan data dalam penelitian ini memakai metode pengamatan, wawancara, kuesioner dan penelusuran data sekunder. Kuesioner ditujukan kepada kelompok nelayan, petani, pedagang dan pegawai yang dipilih secara acak berdasarkan lotre dari daftar nama yang telah dikelompokkan. Kuesioner dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan atau variasi diantara kelompok-kelompok ini dalam mewariskan nilai-niláí agama kepada anaknya, Penelitian lapangan dilakukan dalam tiga tahap dan berlangsung selama 14 minggu.

 

II

 

BajoE, sebuah desa pelabuhan yang menghubungkan Sulawesi Selatan dengan Sulawesi Tenggara, terletak 6 km dari kota Watampone. Luas desa 750 ha meliputi 7 kampung memanjang di sepanjang pesisir pantai, dihuni tiga suku, Bugis, Bajo dan Mandar dengan penduduk 8746 jiwa, terdiri dari 4583 perempuan dan 4163 laki-laki. Dari segi agama tercatat 8736 orang Islam dan hanya 10 orang beragama Kristen dan Hindu, berasal dari dua keluarga pendatang. Desa ini memiliki 10 buah sekolah meliputi sebuah Taman Kanak-Kanak Swasta Islam, 6 Sekolah Dasar, 2 Madrasah Ibtidaiyah dan satu Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri. Jumlah mesjid 5 buah dan Mushallah 2 buah, tetapi sembahyang  Jum'at hanya diselenggarakan di tiga mesjid saja. Tempat belajar mengaji Qur'an 28 buah dengan waktu belajar pagi dan sore. Bahasa harian yang dipergunakan penduduk adalah bahasa Bugis, sedangkan bahasa Mandar dan bahasa Bajo hanya digunakan terbatas di lingkungan suku itu sendiri.

 

III

 

Sistim kekerabatan orang Bugis di Bajo mengikuti sistem bilateral atau parental (dari pihak ayah dan pihak ibu). Keanggotaan dalam suatu kekerabatan (asseajaing) dibedakan atas kerabat dekat (seajing mareppe') dan kerabat jauh (seajing mabela). Kerabat dekat merupakan kelompok penentu dan pengendali martabat keluarga, Anggota kelompokini harus selalu dilibatkan dalam menghadapi masalah-masalah keluarga.

 

Dalam suatu keluarga Bugis, ayahlah yang berperan dan bertindak sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, Dilihat dari segi hak dan kewajiban ayah dan ibu dalam keluarga, dianut garis bilinial, dimana kedudukan ayah dan ibu sama pentingnya serta masing-masing mempunyai hak dan kewajiban tertentu terhadap anaknya, baik dalam bidang harta maupun dalan bidang pendidikan dan pembinaan keagamaan. Dalam hubungan orangtua dan anak, maka keakraban ibu dengan anak lebih menonjol dibanding keakraban ayah dengan anaknya dan anak lebih terbuka dengan ibu dari pada ayahnya. Sedangkan hubungan anak dengan nenek/kakeknya cukup akrab dan cenderung manja. Adapun hubungan anak dengan anggota kerabat lainnya lebih tampak dalam segi sopan santun, baik dalam bersikap ataupun dalam panggilan (sapaan). Besarnya pengaruh ibu terhadap anak ini, telah pula menyebabkan tidak tampak adanya perbedaan atau variasi dalam pewarisan nilai-nilai agama dari orangtua kepada anaknya diantara kelompok-kelompok nelayan, petani, pedagang dan pegawai.

 

IV

 

Masyarakat Bugis yang mendiami bagian terbesar daerah Sulawesi Selatan pernah bernaung di bawah beberapa kerajaan besar seperti Kerajaan Luwu, Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng dan berbagai kerajaan kecil lainnya. Ratusan tahun kerajaan-kerajaan itu berada di bawah pengaruh kepercayaan lama (kepercayaan terhadap roh dan nenek moyang), baru awal abad ke 17 masuklah Islam.

 

Periode penerimaan Islam sebagai agama resmi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar hanya berlangsung dalam waktu sekitar 9 tahun (1603-1612). Keberhasilan ini berkat adanya strategi dakwah[2] yang tepat dari tiga muballigh[3] besar penyiar agama Islam di Sulawesi Selatan. yaitu Dato' ri Bandang, Dato' ri Tiro dan Dato' ri Patimang. Strategi tersebut adalah "menampilkan diri bukan sebagai pihak yang ingin merebut pengaruh dan kekuasaan dari tangan para raja, tetapi menjadikan raja sebagai jalur dan media penyiaran dan penyebaran Islam".

Langkah pertama untuk merealisir strategi tersebut adalah mendekati dan mengajak raja pemegang supremasi kekuasaan tertinggi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar untuk memeluk Islam, yaitu Kerajaan Luwu dan Gowa[4]. Langkah kedua memfokuskan materi ajaran Islam pada aspek akidah[5], ibadah[6] dan tasawwuf[7] sedangkan aspek muamalah[8] yang banyak mengupas masalah kemasyarakatan dan kenegaraan kurang diajarkan. Dengan cara ini, maka benturan-benturan antara adat/kepercayaan lama dengan Islam menjadi tidak begitu tajam, disamping hapusnya kecurigaan pihak penguasa. Tetapi sebagai konsekuensi dari strategi dakwah yang demikian itu, maka ajaran Islam yang dibawa mengalami banyak persentuhan dan pembauran dengan kepercayaan lama dan adat yang telah tertanam sebelumnya.

Demikian intensif dan menyatunya persentuhan dan pembauran itu, maka "terjadi tanggapan umum di kalangan orang Bugis-Makassar bahwa orang Bugis-Makassar itu identik dengan Islam[9] di samping itu dikenal pula sebagai orang Islam yang fanatik. Dalam praktek kehidupan masyarakat Bugis Desa BajoE ada 5 bentuk kegiatan yang dianggap simbol utama sebagai orang Islam yaitu: 1) upacara kelahiran, 2) massunna/makkatte (khitan), 3) perkawinan, 4) kematian dan 5) zakat fitrah yang tetap dibayar walaupun tidak mampu. Kelima hal tersebut dijaga benar agar dapat terlaksana dengan baik,

 

Persentuhan dan pembauran antara adat/kepercayaan lama dengan Islam tersebut meliputi segi pemerintahan, kepercayaan dan sopan santun. Persentuhan dari segi pemerintahan tampak jelas dengan terbentuknya lembaga sara' yang mempunyai kedudukan dan struktur yang sama dengan lembaga adat. Di samping itu diakuinya sara' sebagai salahsatu unsur dari sistim panngaderreng[10], merupakan satu bentuk perpaduan dalam penetapan hukum. Persentuhan dari segi kepercayaan banyak terjadi seperti pada acara mendirikan rumah baru, dimana selain dibaca barzanji[11] dan doa sebagai simbol Islam, digantung pula kelapa, gula merah, kayu manis dan buah pala sebagai lambang adat dankepercayaan lama. Persentuhan dari segi sopan santun juga tampak seperti menjawab salam dengan membetulkan baju dan memakai kopiah ketika ada tamu. Di samping itu sanro (dukun) merupakan prototype orang yang mengkombinasikan antara adat/kepercayaan lama dengan Islam. Dalam praktek sanro memohon kepada Tuhan sekaligus kepada roh nenek moyang, karena itu bacaan-bacaan yang dibaca bercampur antara potongan-potongan ayat Qur'an, salawat dengan bacaan yang memuja roh atau benda-benda tertentu. Kemudian kepada seorang sanro diberi imbalan yang bersifat adat (seperti ketan hitam dan putih) dan bersifat agama (seperti zakat fitrah untuk sanro pasappe/dukun bayi).

 

Bila diamati persentuhan dan pembauran antara adat/kepercayaan lama dengan Islam, maka ada yang bersifat memperkuat atau mendukung sara', ada juga yang bersifat netral dan ada pula yang bersifat merugikan sara'. Suasana dan kondisi beragama demikian itulah yang diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.

 

Pewarisan nilai-nilai berlangsung sepanjang hayat, semenjak seseorang dapat berhubungan dengan orang lain sampai akhirnya ia berhenti berhubungan dengan orang lain. Proses pewarisan itu berlangsung perlahan-lahan sesuai dengan perkembangan umur, kemampuan, status dan peranan yang dimiliki seseorang. Pewarisan nilai dapat berlangsung dalam dua bentuk, yaitu pewarisan langsung, artinya secara tatapmuka dan pewarisan tidak langsung, artinya dengan perantaraan pihak ketiga.

 

V

 

Pewarisan langsung dapat berupa pewarisan dari individu kepada individu seperti dari ayah/ibu kepada anak, dari nenek/kakek kepada cucu dan dari teman kepada teman dan dapat pula berupa pewarisan dari individu kepada kelompok seperti dari ulama, imam dan ustadz kepada kelompok orang tertentu. Sifat pewarisan langsung ini dapat vertikal satu arah seperti dari ayah/ibu kepada anak atau dari ulama/ustade kepada kelompok dan dapat pula horizontal dua arah seperti dari teman kepada teman. Pewarisan tidak langsung dengan perantaraan pihak ketiga dapat melalui orang/kelompok yang melakukan kegiatan tertentu seperti melalui gerak anggota tubuh dalam tarian atau melalui suara (azan) dan juga melalui uswatun hasanah (contoh teladan yang baik).

Di samping itu pewarisan tidak langsung dapat pula melalui benda seperti lukisan, poster, kaligrafi, buku, majalah, radio, televisi dan sebagainya. Sifat pewarisan tidak langsung ini adalah vertikal Satu arah,

 

Bila dilihat dari segi media pewarisan, maka ada tiga komponen besar, yaitu melalui media bahasa, media peragaan dan media pembiasaan. Media bahasa dapat berbentuk bahasa lisan dan bahasa tulisan. Melalui bahasa lisan pewarisan dapat berupa nasehat langsung, pengajaran, pengajian ataupun ceramah, di samping itu dapat pula berupa cerita, dongeng maupun nyanyian yang mengandung pesan nilai-nilai tertentu. Melalui bahasa tulisan dapat pula disampaikan pesan nilai-nilai tertentu dengan simbol-simbol. Sedangkan melalui media peragaan dapat pula dipertunjukkan contoh perbuatan dan sikap yang baik serta terpuji, di samping itu dapat pula melalui gerak tarian atau permainan yang mengandung nilai-nilai tertentu. Kemudian melakui media pembiasaan, seorang anak dibiasakan untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang seperti membaca basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) setiap akan makan. Adapun jalur pewarisan nilai dapat melalui keluarga sebagai tempat bernaung dan dibesarkan, melalui masyarakat lingkungan sebagai tempat bermain dan bergaul dan melalui sekolah sebagai tempat mendapat pendidikan secara formal.

 

Suasana keagamaan di Desa Bajok ditandai dengan kesukaan penduduk memasang gambar dinding dari permadani berupa gambar-gambar:ka'bah dan mesjid; atau gambar poster/kalender orang sedang mengaji atau sembahyang. Kebiasaan lainnya adalah menempelkan tulisan indah (khat) atau kaligrafi yang berisi petikan ayat-ayat Qur'an. Suara azan dan salawat selalu berkumandang melalui pengeras suara dari menara-menara mesjid setiap menjelang waktu sembahyang wajib lima waktu. Kemudian memakai peci hitam merupakan kebiasaan penduduk dan dianggap pelengkap pakaian serta diidentikkan sebagai atribut Islam. Sedangkan memakai kopiah haji dipandang pula sebagai atribut Islam di samping sebagai simbol status.  

 

Suara orang mengaji di rumah-rumah penduduk jarang terdengar. Suara mengaji lebih sering terdengar dari kaset-kaset ataupun dari menara mesjid yang juga berasal dari kaset. Hampir tidak ditemukan ayah mengajari anaknya mengaji dan hanya satu dua orang saja ibu yang mengajari anaknya mengaji. Kebanyakan penduduk mengirim anaknya untukbelajar mengaji kepada guru mengaji. Demikian pula orangtua yang menga jari anaknya secara langsung, sembahyang atau masalah keimanan hampir tidak ditemukan. Kebanyakan orangtua mengatakan bahwa anaknya belajar sembahyang dan belajar masalah keimanan di sekolah atau madrasah. Kalaupun anak tahu cara sembahyang mungkin karena ia sering melihat orang sembahyang baik di rumah atau di mesjidOrangtua yang melakukan sembahyang berjama'ah di rumah jarang ditemukan, demikian pula orang tua yang mengajak anaknya sembahyang ke mesjid jarang terjadi. Kalaupun anak pergi sembahyang ke mesjid, itu karena ia diajak temannya. Menyuruh anak sembahyang jarang terdengar dari orangtua, berlainan dengan perintah belajar mengaji yang demikian gencar, karena dikaitkan dengan adat mapanre temme! (upacara tamat belajar mengaji).

 

Orangtua menganggap anaknya akan dapat belajar sembahyang dan masalah-masalah agama lainnya di sekolah, sedangkan di pihak lain, guru agama beranggapan, seharusnya orangtua mengajari anaknya agama di rumah. Orangtua beralasan sebab di sekolah ada pelajaran khusus agama Islam, dan guru agama beralasan pula waktu yang tersediasangat terbatas, padahal cakupan kurikulum luas sekali. Menurut guru agama di sekolah dasar/madrasah, seorang murid baru dapat dikatakan mampu sembahyang dengan baik, setelah duduk di klas IV, Berdasarkan data yang ada, maka dari jumlah 1417 murid sekolah di Desa BajoE, seharusnya 650 anak (46 %) yang telah duduk di klas IV ke atas, telah mampu sembahyang dengan baik. Berdasarkan pengamatan jumlah anak yang bersembahyang Jum'at diperkirakan kurang dari 10 %. Ini terjadi tentu karena antara guru dan orangtua tidak saling isi, padahal suasana keagamaan di desa ini sebenarnya menunjang ke arah itu.

 

Kegiatan pokok mesjid-mesjid adalah menyelenggarakan sembahyang berjama'ah lima waktu (walaupun dengan jumlah jama'ah yang tidak tetap), sembahyang Jum'at, sembahyang hari raya dan pengajian mingguan. Juga ketika ada peringatan hari-hari besar Islam. Suasana bulan puasa lebih semarak, dimana warung/rumah makan ditutup pada siang hari dan dibuka pada malam hari, mesjid dan mushallah menjadi penuh dengan orang sembahyang tarwih walaupun makin mendekati lebaran anggota jama'ah makin berkurang, suara beduk dan panggilan membangunkan sahur dari menara-menara mesjid berkumandang terus semenjak jam 02.00 sampai waktu subuh datang, di samping teriakan dan bunyi-bunyian dari para anak muda yang berkeliling membangunkan penduduk. Kesibukan rumah tangga makin meningkat seminggu menjelang lebaran, dimana para ibu dan remaja putri sibuk membuat kue lebaran, di samping itu pasar penuh sesak dengan orang-orang berbelanja untuk keperluan lebaran. Lebaran diawali dengan sembahyang hari raya di mesjid, lalu diteruskan dengan acara kunjung mengunjungi antar keluarga dan tetangga untuk saling maaf memaafkan. Hal ini dilakukan selama beberapa hari. Pembayaran zakat fitrah menjelang lebaran dilaksanakan secara saksama dengan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Tingkat Desa atau memberikan langsung kepada orang-orang yang dikehendaki. Di samping itu, selalu dilakukan upacara keagamaan yang berupa upacara daur hidup seperti kelahiran, aqiqah/makulawi, massunna/makkattez perkawinan dan kematian.

 

Demikian pula upacara-upacara syukuran dan tolak bala seperti naik rumah baru, meluncurkan perahu/rompong baru, pergi haji dan sebagainya, Perayaan maulid (kelahiran Nabi) dengan hidangan malenya (ketan dan telur warna warni) dimeriahkan pula sepanjang bulan Robi! ul Awwal secara bergantian oleh mesjid, sekolah dan instansi, demikian pula perayaan Mi'raj Nabi. Satu Muharram (tahun baru Islam) dianggap hari na'as besar (nakkase) dan hari jatuhnya satu Muharram, misalnya hari Kamis akan tetap dipandang sebagai hari-hari na'as sepanjang tahun itu. Sepuluh Asyuro diperingati dengan membuat bellah pitung rupa (bubur dengan bahan 7 jenis), juga Nisfu Sya'ban (pertengahan bulan Sya'ban) dan Nuzul Qur'an (hari turunnya Qur'an) diperingati.

 

VI

 

Kegiatan dan upacara keagamaan yang dilkser kan secara seremonial dalam keluarga dan masyarakat Bugis di Desa BajoE selama setahun cukup banyak dan hampir sambung menyambung setiap hari, ditambah lagi dengan suasana keagamaan yang menunjang. Kesemuanya itu telah berhasil membentuk dan membina suasana sebagai orang Islam dalam benak warganya.

 

Proses pewarisan nilai-nilai agama Islam dalam keluarga Bugis di Desa BajoE lebih banyak bersifat tidak langsung, melalui perantaraan pihak ketiga. Pewarisan langsung secara tatap muka dan bersifat "resmi" tidak banyak ditemukan dalam rumah tangga, kecuali mengenai nilai-nilai sopan santun. Di samping itu pewarisan mengaji Qur'an masih selalu dipelihara, walaupun tersedia pula cara untuk menjadikannya sebagai formalitas belaka (pallari dipercepat tamat).

 

Sebagai konsekuensi dari proses pewarisan yang banyak terjadi secara tidak langsung, maka nilai-nilai yang diwariskan pun lebih banyak nilai-nilai agama yang bersifat umum dan tidak mendalam. Adalah wajar bila rasa sebagai orang Islam terpateri dengan kuat di hati sanubari mereka, tanpa mengindahkan secara saksama nilai-nilai yang lebih mendalam, yang terkandung di dalamnya. Keadaan ini pula yang menyebabkan mereka lebih mudah disentuh emosi keagamaannya. Emosi keagamaan tersebut dapat diarahkan pada hal-hal positif ataupun kepada hal-hal negatif, tergantung siapa yang menyentuh dan mengarahkannya. Dari segi lain, demikian sedikitnya proses pewarisan nilai-nilai agama secara langsung, telah menyebabkan orangtua merasa belum pernah mewariskan nilai-nilai agama kepada anaknya. Inilah yang menjadi tantangan para muballigh masa kini.

 

Di samping itu, tidak adanya perbedaan pewarisan nilai agama dalam lingkungan keluarga diantara kelompok nelayan, petani, pedagang dan pegawai telah menunjukkan bahwa pewarisan nilai agama dalam lingkungan keluarga di Desa BajoE kurang penting dibandingkan melalui sekolah dan guru mengaji.

 

 

                                                            Ujung Pandang, 05 Juli 1982



[1]  Disajikan dalam seminar Akhir PLPIIS – UNHAS, ANGKATAN KE VII  Tanggal  13-15 Juli 1982 dipimpin Direktur Prof. Dr. Hasan Walinono . sebagai ringakasan hasil penelitian .

[2] Dakwah adalah seruan, ajakan kepada agama

[3] Muballigh adalah orang yang mengajak kepada agama

[4]  Bandingkan Y. Andaya, A Village Perception of Arung Palakka and the Makassar War of 1666-69 dalam Perceptions of the Past in Southeast Asia, ASAA Southeast Asia Publivations Series, 1979, hal. 366 dan Mattulada, Agama Islam di Sulawesi Selatan, Laporan penelitian, 1976, hal. 16-17.

[5] Akidah yang juga disebut keimanan berfokus pada seruan untuk percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa dan meyakini Muhammad sebagai utusanNya.

[6] Ibadah adalah tatacara berhubungan dan mengabdi dari manusia kepada Allah Swt.

[7] Tasawwuf adalah mistik dalam Islam

[8] Muamalah adalah ketentuan yang mengatur hubungan manusia denganmanusia termasuk di dalamnya aturan bermasyarakat dan bernegara

[9] Mattulada, Agama Islam di Sulawesi Selatan, Laporan Penelitian, 1976, hal. 33

[10] Panngaderreng yang menurut Mattulada adalah wujud kebudayaan Bugis-Makassar yang selain mencakup pengertian sistim norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, juga mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia bertingkah laku. Panngaderreng ini mencakup lima unsur yaitu ade', bicara, rapang, wari' dan sara'.

Ade' adalah adat istiadat; tata-krama; kebiasaan. Bicara adalah sabda; hukum; peraturan-peraturan hakim/raja. Rapang adalah jurisprudensi. Wari' adalah batas; norma; kaidah yang menyangkut batas-batas hak dan kewajiban kekeluargaan, garis keturunan dsb.

Sara' adalah syareat; hukum Islam. (Mattulada, Latca, disertasi, 1975, 306 - 308).

[11] Barzanji adalah kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh Syeh Barzanji dalam bentuk puisi yang berisi riwayat hidup Nabi Muhammad, dimulai dengan silsilah beliau ke atas sampai ke Nabi Ibrahim, lalu diteruskan dengan cerita kelahiran sampai hijrah ke Madinah ditambah lagi dengan gambaran dan sifat-sifat beliau




No comments: