Wednesday, September 22, 2021

Prof. H. Anton Timur Djaelani MA : Birokrat yang tidak Birokratis

sumber foto: validnews.id

 

Tulisan ini untuk ikut mengenang Pak Timur dalam buku “Mengenang Pak Timur Djaelani sebagai Tokoh Pendidikan Islam Indonesia”

 

    Nama Anton Timur Djaelani sudah kukenal sejak aku di Pendidikan Guru Agama (PGA IV th) Curup dan ketika di sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogya. Nama itu tentu hampir semua anak-anak yang aktif di organisasi pelajar Islam mengenalnya. Ketika aku kuliah di Fakultas Syari’ah IAIN Yogya, beliau dikenal sebagai tokoh-tokoh awal dari lulusan PTAIN yang terpilih melanjutkan kuliah ke Barat (Canada) disamping teman-teman beliau yang belajar ke Timur Tengah di Universitas Al-Azhar Mesir  (Zakiyah Darajat, Isa Syarul, Ibrahim Husen Dll).  Nama-nama itu selalu memberi inspiriasi bagi kami mahasiswa untuk bisa melanjutkan kuliah ke Luar Negeri ke Barat ataupun ke Timur Tengah. Mereka ketika pulang ke Indonesia menjadi pejabat dan pimpinan di Departemen Agama. 

 

    Pak Timur begitu panggilan yang biasa kami gunakan sebagai bawahannya menyebut atau memanggil beliau. Jarang sekali kami memanggilnya dengan menyebut jabatan beliau seperti Pak Direktur  ketika beliau menjadi Direktur Perguruan Tinggi Agama Islam ataupun Pak Dirjen ketika beliau menjabat Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Panggilan seperti itulah yang dikehendaki beliau kepada anak buahnya. Hal ini rupanya membuat anak buahnya dekat dan tidak “takut” ketika harus bertemu atau ketika di panggil beliau. Ini pulalah yang menyebabkan anak buahnya juga berani menyampaikan unek-unek atau problem rumah tangganya. Tidak jarang ketika ada anak buahnya mengeluh kekurangan uang untuk pengobatan atau untuk ngontrak rumah, beliau  membantu keperluan tersebut.

 

    Kepemimpinan beliau yang demokratis dan akrab dengan anak buah,  penulis rasakan sendiri. Ketika penulis menjabat sebagai Kepala Seksi IAIN dan PTAIS  (eselon IV dan beliau adalah Dirjen (eselon I). Jarak jabatasn yang cukup jauh. Suatu hari aku dipanggil Pak Timur di ruang kerjanya dan diberitahu bahwa besok beliau akan ke Banjarmasin  untuk menghadiri acara di IAIN Antasari dan beliau meminta aku ikut bersamanya. Keesokan harinya aku pagi-pagi sudah dikantor  (Kantor Departemen Agama di jalan Thamrin ) dan sekitar jam 08.00 langsung diajak ke lapangan terbang Kemayoran dengan mengendarai mobilnya yang beliau supir sendiri. Beliau tidak membawa tas atau koper. Ketika penulis tanya kok bawa mobil sendiri Pak , bukan diantar supir. Beliau menjawab “Biar saja kan kita nanti sore pulang”. Sesampai di airport beliau parkir mobil lalu mengajak saya ke bagian chek in  dan kemudian masuk ke ruang tunggu. Setelah sampai di IAIN sekitar jam 11.00 lalu acara dan selesai acara resmi   kemudian ada pertemuan dengan pimpinan. Sekitar jam 15.00 kami diantar ke airport lagi terus  balik ke Jakarta.  Sesampai di airport Kemayoran lalu kami ke parkiran, ambil mobil. Ketika beliau mau masuk mobil aku pamit tidak ikut bersama beliau, karena rumahku di Pulomas Jakarta Timur dan rumah beliau di Jalan Kramat VII Jakarta Pusat. 

 

    Anton Timur Djaelani lahir di Kauman Purworejo, Jawa Tengah, 27 Desember 1922 dari pasangan R. Moh. Djaelani dan Siti Fatimah. Beliau menamatkan Sekolah Dasar (HIS) di Kebumen, MULO dan AMS di Yogyakarta, di samping itu belajar juga di Sekolah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta sampai Jepang masuk Indonesia

Pada tahun 1950 Anton Timur menjadi mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan di tahun itu juga (1950)  Fakultas Agama Islam UII diserahkan kepada  Pemerintah untuk menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdasarkan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 1950.  Kemudian pada tanggal 26 September 1951, PTAIN diresmikan dengan memiliki tiga jurusan, yaitu : Jurusan Dakwah (kelak menjadi Fakultas Ushuludin), Jurusan Qodlo (kelak menjadi Fakultas Syari'ah), dan Jurusan Pendidikan (kelak menjadi Fakultas Tarbiyah). PTAIN ini kemudian berubah menjadi IAIN dan kini berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

 

    Pak Timur menamatkan PTAIN tahun 1955 dan termasuk angkatan pertama mahasiswa PTAIN yang melanjutkan studi ke Negara Barat (Canada) yaitu di McGill University Montreal  (1956-1959) dan mendapat gelar Magister (MA) tahun 1959 dengan thesis berjudul  “The Syarekat Islam Movement: Its Contribution to Indonesia Nasionalism.” Beliau menguasai beberapa Bahasa asing, Belanda, Inggeris dan Arab.

 

    Beliau dikenal sebagai pejabat yang sederhana, rajin, disiplin dan tekun. Beliau bekerja tanpa ingin dikenal,  dengan mengundang mass media pada setiap kegiatannya juga  tanpa gembar gembor terhadap apa yang telah dikerjakannya. 

 

    Wawasan beliau yang luas sebagai seorang aktifis pergerakan membuat beliau selalu berbuat untuk memperbanyak lembaga-lembaga pendiidkan Islam dan untuk meningkatkan kualitas umat Islam. Karena itu perhatiannya terhadap penyebaran lembaga pendidikan Islam cukup tinggi.

 

Kapan beliau menjadi pejabat di Departemen Agama?. Dalam suatu berita  tentang peresmian Universitas Islam Riau pada tanggal 18 April 1963 disebutkan bahwa acara peresmian  dilakukan oleh Menteri Agama (Saifuddin Zuhri), dalam hal ini diwakili oleh Kepala Bagian Urusan Perguruan Tinggi Agama yaitu Bapak H . Anton Timur Djaelani MA, sekaligus menandatangani piagam berdirinya Universitas Islam Riau. 

 

Jabatan Kepala Bagian Urusan Perguruan Tinggi Agama ada dalam struktur Departemen Agama  tahun 1950 – 1958. Ini memberi petunjuk bahwa setelah tamat PTAIN kemudian mendapat gelar MA di Mc Gill University Canada  beliau telah bertugas di Departemen Agama di Bagian Urusan Perguruan Tinggi Agama dan pada tahun 1963 ia telah menjabat sebagai kepala bagian Urusan Perguruan Tinggi Agama seperti berita diatas. 

 

Kemudian ketika nama Urusan Perguruan Tinggi Agama berubah menjadi Biro Perguruan Tinggi Agama (1963-1967), beliau sebagai kepala Bironya. Namun ketika  Biro Perguruan Tinggi Agama berubah menjadi Direktorat Perguruan Tinggi Agama dan Pesantren Luhur  tahun 1967 beliau masih menjadi salah satu kepala Bagian dan Direkturnya Bapak Purwosutjipto yang menjabat pada tahun 1967 – 1969. Ketika Pak Purwosutjipto pensiun beliau diangkat menjadi Direktur Perguruan Tinggi dan Pesantren Luhur (1969) dan tak lama kemudian Direktorat itu berubah namanya menjadi Direktorat Perguruan Tinggi Agama tanpa kata-kata Pesantren Luhur dan   beliau tetap sebagai direkturnya sampai dengan tahun 1972. 

 

Di tahun 1972 itu beliau diangkat menjadi Inspektur Jenderal Departemen Agama sampai dengan berakhirnya masa jabatan Mukti Ali sebagai Menteri Agama (1978). Ketika Menteri Agama berganti dengan  Alamsyah Ratu Prawira Negara  dalam struktur baru Departemen agama beliau diangkat menjadi Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaaan Agama Islam yang sering disebut Dirjen Binbaga Islam  sampai dengan tahun 1983. Direktorat Jenderal Binbaga Islam ini membawahi empat direktorat yaitu:  Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum (Ditbinpaisun), Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam (Ditbinrua Islam), Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam (Ditbinpertais) dan Direktorat Badan Peradilan Agama (Ditbinbapera).

 

Kalau dilihat dari riwayat beliau bekerja dan menjabat di Departemen Agama, waktu pengabdian beliau terbanyak ditugaskan di bagian Perguruan Tinggi Agama kemudian diselingin selama 5 tahun menjadi Inspektur Jenderal. Salah satu upaya beliau sebagai orang pergerakan ingin perguruan tinggi islam itu berkualitas dan menyebar di seluruh Indonesia. Hal ini sesuai pula dengan tuntutan masyarakat daerah ketika itu yang ingin di daerah mereka berdiri perguruan tinggi Islam, bukan hanya di pusat-kota di Jawa.  Biasanya tokoh Islam di daerah bersama-sama dengan Gubernur dan Bupati menuntut agar didaerah mereka berdiri pula perguruan tinggi Agama Islam. Hasrat tersebut makin tinggi setelah peristiwa G.30.S tahun 1965. 

 

Pak  Timur Djaelani sebagai Direktur Perguruan Tinggi Agama ketika itu mencoba memenuhi keinginan tersebut , maka berdirilah banyak fakultas-fakultas agama sebagai cabang dari IAIN yang tersebar di hampir seluruh propinsi dan banyak kabupaten. Jumlah IAIN ketika beliau menjadi Dirjen empat belas buah, yaitu IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Ar-Raniry   Aceh, IAIN Alauddin Makasar, IAIN Raden Fatah Palembang, IAIN Sunan Ampel Surabaya, IAIN Antasari Banjarmasin, IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru, IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, IAIN Raden Intan Lampung, IAIN Wali Songo Semarang dan IAIN Sumatera Utara Medan. Masing-masing IAIN itu mempunyai fakultas-fakultas cabang yang tersebar di banyak propinsi dan dan kabupaten dengan jumlah semua 103 Fakultas. 

 

Pertambahan fakultas yang begitu cepat belum sempat diimbangi penambahan jumlah dosen yang cukup dan berkualitas. Karena itu Fakultas-fakultas cabang tadi hanya diizinkan membuka kuliah sampai tingkat sarjana muda (BA). Bila lulusannya ingin mendapat gelar sarjana lengkap (Drs/Dra), maka mereka harus melanjutkan kuliah  ke fakultas induknya. Keadaan inilah nantinya oleh Direktur Perguruan Tinggi Agama di masa Dr. Muljanto Sumardi dan Dirjennya M.Kafrawi MA serta menteri Dr. Mukti Ali diadakan rasionalisasi fakultas cabang. Karena menurut Mukti Ali ada tiga kelemahan utama IAIN yaitu pertama lemah dalam mental ilmu, kedua lemah dalam Bahasa asing, dan ketiga lemah dalam metodolgi. 

 

Pada masa itu juga pelaksanaan pendidikan agama di perguruan tinggi umum mendapat banyak kritikan, dianggap kurang berhasil membuat anak atau mahasiswa menjadi muslim yang baik yang mampu mengamalkan ajaran agamanya  serta berbudi pekerti yang luhur. Di sisi lain materi yang diajarkan kurang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman. Harusnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  seiring dan saling melengkapi dengan ajaran agama , sehingga pelajaran agama di perguruan tinggi umum tetap aktual dan menarik mahasiwa. 

 

Oleh karena itu Pak Timur membuat berbagai program dalam bentuk kelompok-kelompok studi  Islam untuk berbagai disiplin Ilmu yang anggotanya dosen-dosen di perguruan tinggi umum bersama dengan dosen dari perguruan tinggi agama. Kelompok-kelompok inilah nantinya melahirkan buku-buku daras pelajaran agama di perguruan tinggi umum. Buku-buku tersebut kemudian  dikenal dengan judul Islam untuk Disiplin Ilmu (IDI). Buku IDI yang sudah berhasil disusun antara lain Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi,  Islam untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran, Islam untuk Disiplin Ilmu Bahasa, Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum, Islam untuk Disiplin Ilmu Sosiologi, Islam untuk Disiplin Ilmu Biologi, Islam untuk Disiplin Ilmu Pertanian. Di samping itu beliau berusaha untuk  menambah dosen-dosen  agama di perguruan tinggi umum.  

 

Ketika pak Timur menjadi Dirjen Binbaga Islam (1978 – 1983) persoalan status dan posisi madrasah baik negeri dan swasta  sudah sama dengan sekolah karena ditetapkannya  SKB 3 MENTERI tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah. Yang belum sama antara sekolah dan madrasah adalah  sarana dan prasarana, jumlah guru dan kualitas guru. Oleh karena itu di masa beliau menjadi Dirjen Binbaga pada Pelitaa ke tiga (1979-1984), maka sasaran pembangunannya lebih difokuskan mengejar ketinggalan di bidang sarana dan prasarana, kekurangan guru dan peningkatan kualitas guru khususnya bidang studi umum.

 

 

SKB 3 MENTERI merupakan perjuangan tokoh-tokoh Islam yang tidak ingin eksistensi madrasah dan pesantren terpinggirkan. Keluarnya Kepres No. 34 Tahun 1974 tentang Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan, yang kemudian diikuti dengaan Inpres No. 15 tahun 1974  yang mengatur pelaksanaannya telah menimbulkan gejolak dan ketegangan di kalangan  umat Islam. Karena dengan Kepres dan Inpres tersebut wewenang Departemen Agama dalam mengelola  pendidikan dialihkan ke Departemen Pendidikan.  Perlakuan yang diskriminatif terhadap madrasah akan makin jelas dengan keluarnya Kepres dan Inpres tersebut dikarenakan: Pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 jo UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan hanya dijanjikan akan diatur dengan UU tersendiri. Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem.  Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Keppres 34/1972dan  Inpres 15/1974  ini  dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.

 

Ketika ada sidang Kabinet Terbatas  tanggal 26 Nov 1974, Menteri Agama RI (Mukti Ali) menyampaikan kecemasan umat Islam berkaitan dengan isi dan implikasi lebih jauh dari Keppres dan Inpres tersebut. Kemudian Presiden  memberi perhatian terhadap masalah tersebut, dan mengeluarkan petunjuk pelaksanaan terhadap  Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 Tahun 1974, yang isinya :

1.   Pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan kebudayaan, sedangkan tanggung jawab Pendidikan Agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama.

2.   Untuk pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 agar diatur dengan sebaik-baiknya perlu ada kerjasama antara Departemen P&K, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama.

 

Sebagai tindak lanjut  petunjuk Presiden tersebut, maka pemerintah mengambil kebijakan  dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah melalui  SKB 3 Menteri, tanggal 24 Maret 1975  Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).  Isi SKB 3 MENTERI tersebut antara lain mengakui eksistensi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang sama dengan sekolah. Di mana disebutkan dalam SKB 3 MENTERI tersebut bahwa: 

1.   Madrasah meliputi 3 tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA

2.   Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.

3.   Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.

4.   Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

SKB ini di satu sisi telaah memberi kejelasan dan kepastian terhadap eksistensi madrasah berupa:

1.     memberikan pengakuan eksistensi madrasah  yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum

2.     memberikan kepastian yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif.

3.     Madrasah  melalui SKB ini  ter integrasi  ke dalam sistem pendidikan nasional yang setara dengan sekolah umum meskipun pengelolaannya tetap berada ada Departemen Agama.

4.     Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, murid-murid madrasah pun memperoleh pengajaran pengetahuan umum yang sama pula

 

Dengan kata lain SKB 3 MENTERI ini telah membuka peluang dan kesempatan yang sama antara madrasah dan sekolah dalam hal : pertama, terjadinya MOBILITAS  sosial dan vertikal siswa-siswa madrasah dan kedua, TERBUKANYA  peluang  anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.

 

Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta didirikan pada  tahun 1981 semasa Pak Timur menjadi Dirjen Binbaga Islam. Semula Sekolah Pascasarjana ini berupa Program Pascasarjana kemudian dirubah menjadi Fakultas Pascasarjana, berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Dirjen Binbaga Islam) Departemen Agama No. KEP/E/422/81. Surat Keputusan Dirjen Binbaga Islam itu dikuatkan oleh Surat Keputusan Menteri Agama No. 78 tahun 1982 yang berisi ketetapan tentang pembukaan Fakultas Pascasarjana pada IAIN Jakarta dan mengangkat Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Dekan. 

 

Setelah pensiun sebagai Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam beliau aktif  sebagai pengajar pada pascasarjana di IAIN (kini UIN) Jakarta, di samping itu sebagai dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta,dan bersama Pak Alamsyah Ratu Prawira Negara mendirikan  Universitas Juanda Bogor, Beliau juga pernah menjabat Ketua STAI Thawalib Jakarta. Semua ini menunjukkan kecintaan beliau dengan dengan perguruan tinggi Islam sebagai wadah kaderisasi umat dan kaderisasi calon pemimpin  bangsa Indonesia.

 

 

                                                                        HR Bambuapus, 3 April 2017

 



[1] Tulisan ini untuk ikut mengenang Pak Timur dalam buku “Mengenang Pak Timur Djaelani sebagai Tokoh Pendidikan Islam Indonesia”

No comments: