Thursday, March 19, 2009

Sejarah Singkat Pengelolaan Pendidikan Agama di Lingkungan DEPAG (1946 1987)

Tulisan dimuat dalam Majalah Pembimbing No. 65 dan 66, tahun 1988. Ditjen Kelembagan
Pendahuluan
Pada masa penjajahan Belanda, masalah pendidikan agama diurus oleh dua departemen, yaitu Departemen van Onderzvijst en Eeredinst untuk pengajaran agama pada sekolah umum dan Departemen van Binnenlandsche Zaken untuk pengajaran agama. pada lembaga4embaga Islam (madrasah dan pesantren). Pengertian pengurusan di sird lebih berfokus kepada mengamati, mengawasi dan menjaga. pendidikan agar agama dan lembaga pendidikan agama agar tidak membahayakan kepentingan penjajah. Jadi, pengurusan bukan untuk mernbantu dan memajukan lembaga pendidikan agama. Setelah Departemen Agama berdiri pada tanggal 3 fanuari 1946 berdasarkan Ketetapan Pernerintah No. I /sd tahun 1946 dalarn Kabmet Syahrir, maka tugas utamanya adalah mengamb:d alih tugas keagamaan yang pada masa penjajahan Belanda berada di berbagai unit departemen. Tugas tugas tersebut adalah: masalah pengajaran agama di dua departemen yang telah disebutkan di atas, masalah haji, perkawinan, zakat fitrah, mesjid dan penghulu yang juga berada di bawah Departemen van Binnenlandsche Zaken. Masalah Mahkamah Islam, Raad Agama serta Penghidu Landraad diurus oleh Departement van Justitie dan masalah pergerakan agama diurus oleh Kantoor der Advizeur voor Inlandscheen Mohammadansche Zaken. Dengan berdirinya Departemen Agama, pengertian pengurusan seperti di masa penjajahan diubah bukan untuk mengamati dan mengawasi, tetapi membina, membantu dan memajukan kehidupan beragama di negara Indonesia tercinta ini. Berdirinya Departemen Agama merupakan kebutuhan dan tuntutan sejarah. Dengan adanya Departemen Agama diharapkan perhatian dan pembinaan kehidupan beragama akan menjadi salah satu tugas pembangunan bangsa sebagai realisasi dari negara Pancasila. Salah satu modal yang dirniliki rakyat Indonesia pada waktu memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 adalah lembaga pendidikan Islam berupa pesantren dan madrasah yang tersebar luas dengan bentak dan corak serta susunan yang sangat bervariasi. Pesantren dan madrasah ini selama. masa penjajahan tidak pernah mendapat bantuan, malah selalu diawasi dan dihambat perkembangannya. Sikap tersebut tampak jelas tercermin dalam Ordonansi Guru (Guru Ordonantie) tahun 1905 yang tercantum dalam Statsb1ad 1905 no. 550 yang berlaku untuk Jawa dan Madura terhitung 2 Nopember 1901. Isi ordonansi itu mengharuskan adanya izin tertulis bagi setiap guru agama yang akan mengajar sebelum melakukan tugasnya. Kepada guru agama. diwajibkan membuat uraian yang terperinci mengenai sifat dari pendidikan yang dikelola serta membuat daftar murid menurut bentuk tertentu yang harus dikirim. secara periodik. Selanjutnya ditentukan pula bafiwa bupati atau pejabat yang sama kedudukannya bertugas mengawasi dan mengecek apakah guru agama tersebut bertindak sesuai dengan izinnya dan mengawasi pula murid murid yang berasal dari luar daerah. Ordonansi ini kemudian diubah menjadi Ordonansi Guru tahun 1925 yang tercantum dalam Staatsblad 1925 danberlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam Ordonansi Guru tahun 1925, guru agama hanya diwajibkan untuk memberi tahu bukan meminta izin, tetapi ditentakan pula. sanksi hukuman kurungan atau denda bila melanggar. Ordonansi guru ini dirasakan umat Islam sebagai usaha pihak penjajah Belanda untuk menghambat dan mengurangi arus penyebaran agama Islam. Reaksi secara terbuka dan terkoordinir dicetuskan oleh Sarekat Islam dalam Kongres; Al Islam tahun 1922 yang menyatakan bahwa Ordonansi Guru tahun 1905 itu mengharnbat kegiatan guru agama Islam. Ordonansi 1925 dari segi isi tidak banyak berbeda dengan ordonansi 1905, hanya penurunan izin kepada pemberitahuan saja. Tetapi sikap, untuk mengawasi dan menghambat agama Islam tetap dirasakan umat Islam. Oleh karena itu, pada tahun 1926 (1 5 Desember) dalam Kongres Al Islam di Bogor dicetuskan secara tegas sikap, menolak cara pengawasan terhadap pendidikan agama. Reaksi berikutnya datang dari Muhammadiyah. Melalui Kongres ke 17 tanggal 12 20 Februari 1928 Muhammadiyah dengan sangat keras menuntut agar ordonansi guru ditarik kembali. Reaksi pal¬ing keras ditunjukkan oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat melalui Rapat Besar di Bukittinggi tanggal 18 Agustus 1928 menetapkan mosi menolak Ordonansi Guru diberlakukan di Minangkabau. Sikap, pernerintah Belanda terhadap pendidikan agama di sekolah umum adalah netral seperti dinyatakan dalam pasal 179 (2) Indische Staatsregeling bahwa pendidikan umum adalah netral. Artinya, pengajaran diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing masing. Di sekolah menengah umum yang berbahasa Belanda sepc;:ti MULO (Meer Hitgebreid Lager Onderwijst) dan AMS, (Algemene Middelbare School) pada tahun 1930 an diajarkan juga pelajaran agama Islam bagi murid mu¬rid yang berminat dan bersifat sukarela. Pelajaran diberikan 1 kali seminggu, biasanya pada sore hari. Murid dikumpulkan dalam satu ruangan untuk semua tingkatan. Gurunya kebanyakan berasal dari kalangan pembaharu. Pada sekolah partikelir, berdasarkan Staatsblad 1924 No.68 ditentukan bahwa murid bebas untuk tidak mengikuti pelajaran kalau orang tuanya menyatakan keberatan. Pada sekolah umum. partikelir Islam seperti HIS Met Qur'an, MULO met Qur'an, diberikan pula pelajaran agama Islam sebagai tarnbahan. Setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, madrasah dan pesantren tetap berjalan sesuai dengan kernampuan para pengasuh dan masyarakat pendukungnya. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dari masyarakat, aiadrasah bukan saja berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga. berperan sebagai basis perjuangan menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Di samping itu secara langsung telah ikut mencerdaskan rakyat Indo-nesia. Oleh karena itu, wajar bila Pernerintah RI menunjukkan perhatian yang tinggi. Perhatian tersebut tercermin dalarn pengumuman BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indone¬sia Pusat) tanggal 22 Desember 1945 yang antara lain menganjurkan bahwa dalarn memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang¬kurangnya diusahakan agar pengajaran di langgar langgar dan madrasah berjalan terus dan diperpesat. Pada tanggal 27 Desember 1945 BP KNIP dalarn rapatnya memutuskan pula antara lain: menyarankan agar pendidikan agama mendapat tempat yang teratur seksa~ _ ia dan mendapat perhatian yang sernestinya dengan tidak mengtzangi kemerdekaan golongan golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipeluknya. BP KNIP merekomendasikan agar madrasah dan pesantren mendapat perhatian, tuntunan dan bantuan material dari pernerintah, karena madrasah dan pesantren pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berakar dalarn masyarakat Indonesia. BP KNIP juga. mernutuskan untuk membentuk kon dsi khusus dengan tugas merumuskan lebih terperinci mengenai garis besar pendidikan di Indonesia. Komisi ini dikenal dengan nama Panitia Penyelidik Pengajaran Republik Indonesia yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara. Dalarn laporan yang disusun oleh Panitia tanggal 2 Juh 1946 diusulkan: 1. Pelajaran agama dalarn semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah; 2. Para guru dibayar oleh pernerintah; 3. Pada Sekolah Dasar, pendidikan agama diberikan mulai kelas IV; 4. Pendidikan tersebut diselenggarakan sen dnggu sekah pada jam tertentu; 5. Para guru diangkat oleh Kernenterian Agarna; 6. Para guru agama diharuskan juga cakap dalarn pendidikan urnurn; 7. Pernerintah menyediakan buku untuk pendidikan agarna; 8. Diadakan latihan bagi para guru agarna; 9. Kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki; 10. Pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan; Ketentuan no. 6, 8, 9 dan 10 tarnpaknya saran untuk menyempumakan sistern pendidikan di madrasah dan pesantren yang telah berlangsung selarna ini, yang dianggap terlalu menitikberatkan pada pendidikan agarna sernata. Tulisan ini terbatas mernbahas sekolah agarna dan madrasah negeri dan unit pengelola pendidikan agarna di Departernen Agarna. Perkembangan Persekolahan Agama Islam Departernan Agama Pendidikan Dasar dan Menengah Madrasah Negeri Ketika Departernen Agarna didirikan, salah satu tugas Bagian Pendidikan adalah mengadakan suatu "pilot project" sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang orang atau organisasi yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta). Tugas ini mengandung maksud sekolah agarna (madrasah) n fflik pernerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh bagi pihak swasta dalarn mengelola pendidikan agarna. Pendirian madrasah negeri merupakan sisi lain dari bentuk bantuan dan pernbinaan terhadap madrasah swasta. Bentuk pertarna dari pembinaan terhadap madrasah dan pesantren setelah Indonesia merdeka adalah seperti yang ditentukan dalarn Peraturan Menteri Agarna No.1 tahun 1946, tanggal 19 Desernber 1946 tentang pemberian bantuan madrasah.Dalarn peraturan tersebut dijelaskan bahwa madrasah adalah tiap tiap tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agarna Islam sebagai pokok pengajarannya (Iihat penjelasan pasal I peraturan tersebut). Bantuan tersebut diberikan setiap tahun dan baru terbatas untuk beberapa karesidenan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Surakarta. Bentuk bantuan berupa uang yang hanya boleh digunakan untak: 1) memberi tunjangan kepada para guru, 2) membeli alat alat pelajaran, 3) menyewa dan atau memelihara ruang ruang dan gedung madrasah dan 4) membiayai adn dnistrasi. Peraturan tersebut mencanturnkan pula ketentuan bahwa dalam madrasah itu. hendaknya diajarkan juga. pengetahuan umum setidak tidaknya: a) bahasa Indonesia, berhitung dan membaca serta menulis dengan huruf latin di madrasah tingkat rendah, b) ditambah dengan ilmu ilmu tentang bumi, sejarah, kesehatan tumbuh tumbuhan dan alam di madrasah lanjutan. Jumlah jam pengajaran untuk pengetahuan umum sekurang¬kurangnya 1/3 dari jun dah jam pengajaran seluruhnya. Ketentuan untuk mengajarkan pengetahuan umum. 1/3 dari seluruh jam pengajaran dilatarbelakangi oleh saran Panitia 1'enyelidik Pengajaran yang mengamati bahwa di madrasah¬madrasah jarang sekali diajarkan pengetahuan umum vang sangat berguna bagi kehidupan sehari hari. Kekurangan pengetahuan umum akan menyebabkan orang mudah diombang ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran kurang luas. Menurut peraturan ini, jenjang pendidikan dalam madrasah tersusun dalam:
  1. Madrasah Tingkat Rendah, dengan lama belajar sekurang¬kurangnya 4 tahun dan berumur 6 sampai 15 tahun;
  2. Madrasah Lanjutan dengan masa belajar sekurang¬kurangnya 3 tahun setelah tamat Madrasah Tingkat Rendah dan berumur 11 tahun ke atas.
Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI. Dalarn Peraturan tersebut dinyatakan bahwa jenjang pendidikan madrasah adalah:
  1. Madrasah Rendah (sekarang dikenal dengan sebutan Madrasah lbtidaiyah) dengan masa belajar 6 tahun
  2. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (sekarang Madrasah Tsanawiyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat Madrasah lbtidaiyah.
  3. Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Ma'drasah Aliyah), lama belajar 3 tahun setelah tarnat Madrasah Tsanawiyah.
Madrasah lbtidaiyah Negeri sebagian besar berasal dari madrasah madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh, Lampung dan Surakarta. Sejak tahun 1946 ada 205 Sekolah Rendah Islam yang diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh yang dengan Ketetapan Menteri Agama no. I tahun 1959, pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Kementerian Agama dan namanya diubah menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI). Kernudian melalui Keputusan Menteri Agama No.104 tahun 1962 diubah namanya menjadi Madrasah lbtidaiyah 11.1egeri (MIN). Hal yang sama terjadi di karesidenan Lampung. Sebanyak 19 SRI berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 2 tahun 1959. Di Karesidenan Surakarta sebanyak 11 SRI dengan Penetapan Menteri Agama no. 12 tahun 1959. Sejak tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta berdasarkan Penetapan Menteri Agama no. 80 tahtui 1967. Kesempatan penegerian itu kemudian dihentikan pada tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.813/ 1970, ketika itu jumlah MIN sudah mencapai 358 buah. Madrasah Tsanawiyah, seperti haInya Madrasah lbtidaiyah, juga kebanyakan berstatus swasta. Madrasah Tsanawiyah negeri baru mulai didirikan pada tahun 1967. Penegerian Madrasah Tsanawiyah ini semula dimaksudkan sebagai model bagi madrasah swasta. Sampai tahun 1970 Madrasah Tsanawiyah Negeri yang disingkat (M.Ts.A.I.N) telah be~un dah 182 buah dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setelah restrukturisasi dan relokasi berdasarkan Keputusan Menteri Agama no. 15,16 dan 17 tahun 1978, singkatan Madrasah Tsanawiyah Negeri dari M.Ts.A.I.N diubah menjadi MTsN dan jun dahnya menjadi 470 buah. Jun dah tersebut hingga saat ini (1988) masih tetap. Madrasah Aliyah Negeri pertarna kali didirikan melalui proses penegerian seperti halnya Madrasah Tsanawiyah Negeri berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 80 tahun 1967. Dalam keputusan itu disebutkan penegerian Madrasah Aliyah AI Islarn Surakarta, Madrasah Ahyah di Magetan Jawa Timur, dan Madrasah Aliyah Palangki di Surnatera Barat. Proses penegerian be~alan terus sampai dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 yang mengatur penghentian penegerian sekolah madrasah swasta dan pendirian sekolah sekolah/madrasah negeri dalarn lingkungan Departemen Agarna. Sampai tahun 1970 jumlah Madrasah Aliyah Negeri sebanyak 43 buah. Singkatan Madrasan Ahyah Negeri pada mulanya M.A.A.I.N kemudian diubah menjadi MAN berdasarkan Keputusan Menteri Agarna no. 15, 16 dan 17 tahun 1978. Pertumbuhan madrasah negeri yang berasal dari penegerian madrasah swasta, berakibat ketidakseirnbangan baik dari segi jun dah maupun dari segi lokasi antar propinsi. Ketidakseimbangan tersebut dapat diamati pada tabel berikut ini. Tabel di atas menunjukkan adanya k~tidakseimbangan baik antar jenjang maupun antar lokasi propinsi. Antar jenjang terlihat bahwa jumlah Madrasah Tsanawiyah Negeri jauh lebih besar daripada Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Ada propinsi yang jurnlahnya besar dan ada propinsi yang jurrdahnya sangat n dnim dan malah ada yang tidak ada MIN, tetapi ada MTsN. Ada pula yang punya MTsN tanpa mempunyai MIN dan MAN. Ketidakseimbangan itu tampaknya masih memerlukan penataan kembali, mengingat kepentingan pembinaan madrasah secara nasional. Untuk itu diperlukan saling pengertian dan pengorbanan antara daerah dengan tidak sdalu mendasarkan pada alasan sejarah dan kepentingan daerahnya sendiri. Ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang menyebabkan belum dimungkinkannya penambahan madrasah negeri baru. Yang lebih baik lagi, bila dimungkinkan pendirian madrasah negeri baru untuk daerah¬daerah propinsi tertentu. Prestasi besar yang pernah dilaksanakan Departemen Agama dalam penyelenggaraan madrasah adalah mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah ini mencoba menjabarkan ide dalam UU No. 4 tahun 1950 (Undang Undang Pendidikan), pasal 10 ayat 2 yang berbunyi "belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar..” MWB mulai diperkenalkan pada tahun ajaran 1958/1959. Pendirian MWB ini diarahkan pada pembangunan jiwa bangsa untuk kemajuan di lapangan ekononi, industrialisasi dan transmigrasi. Di MWB anak tidak hanya dididik pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tetapi juga ketrampilan untuk mendukung kesiapan anak didik untuk berproduksi atau bertransn Ligrasi dengan swadaya dan ketrampilan yang diperoleh di MWB. Hal ini karena kebanyakan murid madrasah berasal dari keluarga petard dan pedagang. Lama belajar MWB 8 tahun dengan pertimbangan bahwa pada umur 6 tahun anak sudah wajib sekolah dan setelah umur 15 tahun diizinkan mencari nafkah. Sayang sekali MWB ini dalam pelaksanaannya tidak mudah apalagi setelah bantuan kepada madrasah berangsur angsur berkurang dan akhirnya pada tahun 1970, MWB terhenti sama sekali. Dukungan dan kerjasama dengan departemen lain, seperti Departemen Tvansrnigrasi tentunya dapat menyiapkan para transrnigran yang terdidik dan produktif. Sekolah Dinas Pendirian Sekolah Dinas di lingkungan Departemen Agama didorong oleh tugas untuk memenuhi dan merealisir rekomendasi BP KNIP dan Panitia Penyelidik Pengajaran mengenai pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum. Dorongan itu makin mendesak setelah ditetapkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No.: 1142/Bhg.A (Pengajaran),tanggal2Desemberl946danNo.12857/ Kj. (Agama) tanggal 12 Desember 1946 yang menetapkan adanya pengajaran agama di Sekolah Rakyat Negeri. Peraturan ini berlaku mulai tanggal I januari 1947. Dalam Peraturan Bersama itu ditentukan antara lain bahwa pelajaran agama boleh diajarkan di Sekolah Rakyat Negeri mulai kelas IV dan hasil pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas. Adapun biaya untuk pengajaran agama menjadi tanggungan Departemen Agama dan guru agama diangkat oleh Departemen Agama. Kewajiban menyiapkan dan mengangkat guru agama untuk Sekolah Rakyat Negeri yang demikian banyak dan tersebar di seluruh Indonesia mendorong Departemen Agama mengambil langkah langkah penyiapan. Langkah yang diambil Departemen Agama untuk mengisi kekurangan guru agama dalam rangka merealisir Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri PP&K tersebut adalah dengan menempuh 2 tahap, yaitu:
  1. Jangka Pendek, menyelenggarakan pendidikan/kursus singkat dengan melatih 90 orang calon guru agarna selama 2 minggu. Dari jumlah itu yang dinyatakan lulus hanya 45 orang dan merekalah yang diangkat pertarna sebagai guru agama dari Departemen Agama yang bertugas mengajar agama di Sekolah Rakyat Negeri di seluruh jawa dan Madura. Langkah lain adalah menyelenggarakan ujian calon guru agama untuk Sekolah Rakyat berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1951. Peserta harus memenuhi syarat antara lain: 1) berijazah sekurang kurangnya Madrasah Tsanawiyah atau yang dipersamakan, 2) mempunyai pengetahuan umum serendah rendahnya sama dengan mereka yang berijazah Sekolah Rakyat atau berijazah Sekolah Normal atau yang setingkat dengan itu, dan 3) mempunyai pengetahuan agama yang cukup untuk memberi pendidikan agama di sekolah rendah. Usaha ini ditempuh karena masih sangat kurangnya guru agama di Sekolah Rakyat, sedangkan PGA/SGAI baru didirikan.
  2. Jangka panjang membuka/mendirikan pendidikan khusus yang menyiapkan calon guru agama. Dalam rangka merealisir program jangka panjang dalam penyiapan calon guru agama, pada tanggal 16 Mei 1948 di Solo didirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHAI). Sekolah ini kemudian dipindahkan ke Yogyakarta pada tanggal 8 Desember 1948, tetapi karena agresi kedua, sekolah ini terhenti dan baru pada tanggal 16 januari 1950 dibuka kembali. Tugas menyiapkan calon guru agama di sekolah umurn menjadi makin mendesak, setelah ditetapkannya UU no. 20 tahun 1950 tentang Dasar dasar Pendidikan dan Pegajaran di sekolah. Pasal 20 ayat 1 dan 2 Undang Undang tersebut menentukan bahwa dalam sekolah sekolah negeri diadakan pelajaran agama. Orang tua. murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau tidak. Cara menyelenggarakan agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri PP&K bersama sama dengan Menteri Agama.
Dalam penyiapan calon guru agama dan hakim agama dikenal adanya. "Konsep Sigit", yaitu suatu. rencana dari Drs. Sigit, Kepala Jawatan Agama RI (1950 1952). Rencana tersebut adalah: 1 . Pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang meliputi: a. Program pendek, dengan lama belajar 2 tahun setelah tamat SMP atau Madrasah Tsanawiyah b. Program panjang, dengan lama belajar 5 tahun, setelah tamat Sekolah Rakyat atau Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun. Mata pelajaran umum yang diberikan setingkat dengan Sekolah Guru Bantu (SGB) ditambah ilmu agama dan bahasa Arab. Itu sebabnya lama belajar di SGAI 5 tahun, bukan 4 tahun seperti SGB. Dengan langkah ini guru agama diharapkan mempunyai kemampuan seperti guru umum lulusan SGB ditambah kemampuan khusus bidang agama (SGB Plus). Konsep ini untuk menjawab sekaligus saran dan pendapat yang menyatakan bahwa guru agama kurang memiliki pengetahuan umum. Sekolah ini dipersiapkan secara khusus untuk memenuhi kebutuhan guru agama pada sekolah sekolah umum. 2. Pembukaan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI) Lama belajar SGHAI 4 tahun setelah SMP dan Madrasah Tsanawiyah. Sekolah ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan guru guru di madrasah, baik guru bidang studi umum maupun guru bidang studi agama serta menyiapkan tenaga administrasi pada Pengadilan Agama. SGHAI mempunyai 4 bagian yaitu: a. Bagian A, untuk calon guru kesusasteraan b. Bagian B, untuk calon guru ilmu alam pasti. c. Bagian C, untuk calon guru ilmu agama. d. Bagian D, untuk calon tenaga administrasi Pengadilan Agama. Konsep Sigit ini tampaknya secara tegas mernbedakan kemampuan yang harus dimiliki oleh calon guru agama pada sekolah umum dan calon guru untuk madrasah. Bagi calon guru agama pada sekolah umum ditekankan untuk mempunyai pengetahuan dan kemampuan yang sama dengan guru umum (lulusan SGB) di sarnping mempunyai pengetahuan ilmu agama. Hal ini dimaksudkan agar para guru agama tidak merasa rendah diri dan diremehkan oleh guru urnum di sekolahnya. Di samping itu, dimaksudkan agar guru agama mempunyai pengetahuan yang luas sehingga dapat mengajarkan agama melalui pendekatan ilmu pengetahuan umum. Dengan kata lain, ilmu agama yang diajarkan sejalan dengan ilmu umurn dan tidak menimbulkan pertentangan antara agama dan umum. Sedangkan bagi guru pada madrasah dipersiapkan secara khusus menurut bidang studi yang diperlukan di madrasah. Oleh karena itu, ada calon guru bidang sosial, ilmu pasti alam, dan agama Islam. Dengan pola ini diharapkan madrasah akan meningkat mutunya seperti yang diharapkan oleh banyak pihak sebagaimana tercern dn dalam rekomendasi BP KNIP. Secara tidak langsung pula diharapkan pendidikan di madrasah mengajarkan dua bidang ilmu, yaitu bidang ilmu. pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Hanya berapa persen perimbangan antara keduanya dalam konsep Sigit belum disebutkan secara jelas. Baru dalam Peraturan Menteri Agama no. 1 tahun 1946 disebut bahwa pada madrasah harus diajarkan sekurang kurangnya 1/3 pengetahuan umum. Tampaknya konsep Sigit masih menganut pendapat tersebut. Mula mula rencana Sigit ini hanya dijalankan di daerah Yogyakarta saja. Baru setelah Kementerian Agama RI di Yogyakarta digabung dengan Kementerian Agama RIS di Jakarta dalam negara kesatuan RI berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama No. 10 A.11/2/2175 tanggal 10 Agustus 1950, maka Menteri Agama (ketika itu KH. Wahid Hasyim) hendak menjalankan rencana tersebut ke seluruh Indonesia. Ird tercermin dalam Surat Edaran Menteri Agama No.277/C/C 9 tanggal 15 Agustus 1950 yang menganjurkan agar setiap daerah karesidenan di Indonesia membuka Sekolah Guru Agama Islam, dengan sedikit perubahan nama. yaitu SGAI diubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) dan SGHAI diubah menjadi Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA). Atas anjuran tersebut, pada tahun 1951 berdirilah SGHA di Aceh, Bukittinggi dan Bandung. Sedangkan PGA berdiri di Tanjung Pinang, Aceh, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjung Karang, Bandung dan Pamekasan. Konsep Sigit tersebut kemudian ditinjau kembali oleh HM.Arifin Tarnyang sewaktu menjadi Kepala Jawatan Agama (1952¬1958). Konsep baru ini dikenal dengan "Konsep Arifin Tamyang" yang mengadakan perubahan sebagai berikut:
  1. PGA jangka pendek (2 tahun) dan PGA jangka panjang 5 tahun dihapuskan (lihat Penetapan Menteri Agama tanggal 21 Nopember 1953). Sebagai gantinya PGA tersebut diubah menjadi 6 tahun yang terdiri PGAPN 4 tahun dan PGAAN 2 tahun.
  2. SGHA dihapuskan (lihat Penetapan Menteri Agama tanggal 9 Mei 1954) terutama bagian A, B dan C. Bagian D dianggap masih diperlukan. Sebagai ganti dari bagian D didirikan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) yang lama belajarnya 3 tahun dengan murid murid pilihan dari PGAPN 4 tahun. Kalau SGHA tadinya 4 buah, PHIN tinggal 1 buah di Yogyakarta.
Dengan berlakunya "Konsep Arifin Tamyang", maka hapus pula usaha menyiapkan calon guru bidang studi umum untuk madrasah madrasah dan tidak ada lagi penyiapan calon guru bidang studi agama untuk madrasah. Tampaknya penyiapan guru agama untuk sekolah umum dan guru bidang studi agama pada madrasah hanya disiapkan oleh PGA. Dengan den dkian tidak ada lagi perbedaan antara kemampuan calon guru agama pada sekolah umum dengan calon guru bidang studi agama pada madrasah, karena kurikulum mereka dan kelas mereka sama. Dalam kaitan ini menarik dikaii pendapat Prof. Dr. H. Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia yang mensinyalir bahwa penurtman mutu lulusan PGA belakangan ini (1957) dibandingkan dengan Julusan PGA dan SGHA adalah akibat perubahan konsep tersebut. Pendapat ini ada benarnya bila ditilik bahwa kalau dalarn konsep Sigit dibedakan secara tegas antara kurikulum PGA dan SGHA bagian C karena masing masing mernpunyai spesifikasi khusus yang harus disiapkan, sedangkan pada konsep Arifin kurikulumnya disamakan. Hal itu berakibat adanya mata. pelajaran tertentu di SGHA bagian C dihapuskan padahal berguna untuk menunjang tugasnya. Perubahan jurrdah dan jenis sekolah setelah diterapkan konsep Arifin dapat dilihat pada tabel berikut ini : Sebagai suatu sekolah yang dipersiapkan untuk menjadi guru agama dan pegawai Departemen Agama, maka kepada murid¬muridnya diberi ikatan dinas (lihat Peraturan Menteri Agama no. 6 tahun 1950 dan no. 7 tahun 1950) dengan ketentuan sesudah pendidikannya selesai diwajibkan bekerja sebagai guru/pegawai negeri pada sekolah sekolah/madrasah madrasah/kantor kantor yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Ikatan dinas tersebut diberikan pada pelajar PGA dan SGHA yang memenuhi syarat. Lamanya wajib bekerja setelah selesai pendidikan adalah selama masa sekolah ditambah 2 tahun dan sekurang kurangnya, 3 tahun kerja. Pemberian ikatan dinas kepada murid sekolah PGA dan SGHA ini berlangsung terus walaupun sudah berubah nama menjadi PGAP, PGAA dan PHIN. Baru pada tahun 1969 ikatan dinas dihentikan bagi seluruh murid karena keterbatasan anggaran negara. Semenjak itu secara formal PGAPN, PGAAN dan PHIN tidak lagi menjadi sekolah dinas, tetapi menjadi umum milik negara yang bersifat kejuruan. Sejak itu pula lulusan sekolah PGA tidak dijan dn untuk menjadi guru agama. Bentuk lain dari sekolah negeri Departemen Agama adalah Sekolah Persiapan IAIN (SP IAIN) yang merupakan sekolah pengganti atau kelanjutan Sekolah Persiapan PTAIN yang bermaksud mempersiapkan mereka yang berijazah Madrasah Menengah Tinggi yang berhasrat masuk PTAIN, namun pengetahuan umumnya kurang memadai atau bagi mereka yang berijazah Sekolah Menengah Tinggi dengan pengetahuan agama yang kurang mencukupi. Tegasnya, mempersiapkan calon mahasiswa agar setelah masuk PTAIN dapat rnengikuti kuliah dengan baik. Lama belajar di SP IAIN 2 tahun setelah men dliki ijazah Madrasah Tingkat Menengah Atas dengan lama belajar 5 tahun. Sekolah Persiapan IAIN diresmikan pada tahun 1961 (1 tahun setelah IAIN didirikan) di Yogyakarta berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 9 tahun 1961. Kalau SP PTAIN tidak memberikan dvil effect bagi lulusannya, SP IAIN memberikannya sama dengan ijazah PFEN dan PGAA. Ini salah satu perbedaan di antara keduanya, dan ini pula yang nantinya menggeser tujuan dari pendirian SP IAIN itu. Lebih lebih setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1957 yang mengubah lama belajar menjadi 3 tahun setelah tamat Madrasah Tsanawiyah atau Sekolah Lanjutan Pertama. Akhirnya praktis SP IAIN sama saja dengan Madrasah Aliyah dan lulusan SP 1AIN dapat melanjutkan ke perguruan tinggi negeri lainnya. Perkembangan kuantitatif SP IAIN sejalan dengan perkembangan Fakultas dan IAIN itu sendiri. Dari satu. SP IAIN di Yogyakarta pada tahun 1961 telah menjadi 38 buah pada tahun 1970 dan sampai talum 1977 telah menjadi 83 buah dan tersebar di seluruh Indonesia. Ketika diadakan reorganisasi dan relokasi Sekolah Madrasah di lingkungan Departemen Agama berdasarkan Keputusan Menteri Agarna. No.17 tahun 1978, SP IAIN diubah menjadi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan beralih pula lingkungan pembinaannya dari Direktorat Perguruan Tinggi Agama kepada Direktorat Pendidikan Agama. Dalarn perkembangan sekolah dinas pendidikan agama, pernah juga berdiri Pendidikan Pegawai Urusan Agama dan Peradilan Negeri (PPUPAN) di tiga kota yaitu Jakarta, Kediri dan Ujung Pandang. Sekolah ini dipersiapkan untuk menjadi pegawai negeri di lingkungan Departemen Agarna. Sekolah ini setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah. Pada tahun 1974 di lingkungan Direktorat Pendidikan Agama terdapat 7 jenis sekolah dinas yaitu: 1. Pendidikan Guru Agama Negeri 4 tahun sebanyak 145 buah 2. Pendidikan Pegawai Urusan dan Peradilan Agama (PPUPAN), sebanyak 3 buah. 3. Pendidikan Guru Agama Negeri 6 tahun (PGAN 6 tahun), sebanyak 115 buah. 4. Pendidikan Guru Agama Negeri 6 tahun puteri (PGAN 6 tahun Puteri), I buah. 5. Pendidikan Guru Agama Luar Biasa Negeri 6 tahun (PGALBN 6 tahun), 1 buah. 6. Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), 1 buah. 7. Sekolah Dasar Latihan PGAN 6 tahun, 13 buah. Nomor 1 dan 2 adalah tingkat menengah pertama dan no. 7 tingkat dasar. Selebihnya setingkat Sekolah Menengah Atas. Satu lagi sekolah negeri milik Departemen Agama adalah SP IAIN yang ketika itu bernaung di bawah Direktorat Perguruan Tinggi Agama. Berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 15, 16 dan 17 tahun 1978 dalam rangka reorganisasi, relokasi dan restrukturisasi persekolah Departemen Agama, maka jenis sekolah tinggal 4 jenis yaitu MIN, M`rsN, MAN dan PGAN. Pergeseran tersebut dapat diamati pada tabel berikut ini. Pendidikan Tinggi Agama Islam Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Perkembangan negara dan tuntutan untuk mengisi kemerdekaan membutuhkan lebih banyak tenaga terdidik, tidak hanya untuk tingkat dasar dan menengah, tetapi juga tingkat tinggi. Lebih lebih lagi bagi perkembangan tugas Departemen Agama, makin dituntut tenaga ahli lulusan perguruan tinggi khususnya dalam bidang ilmu agama Islam. Kebutuhan akan perguruan tinggi agama Islam merupakan tuntutan umat Islam. Mengingat masih banyaknya lulusan madrasah yang melanjutkan studinya ke negara negara Timur Tengah ena di dalam negeri tidak ada satupun perguruan tinggi agama nalik, pemerintah. Usaha pembentukan Universitas Islam Negeri baru menjadi kenyataan setelah berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) berdasarkan Peraturan Pernerintah No. 34 tahun 1950. PTAIN ini diambilkan dari Fakultas Agama Universitas Islam In¬donesia (Ull) Yogyakarta. Alasan pendirian PTAIN ini dapat disimak dalam konsideran peraturan tersebut.
  1. Bahwa oleh masyarakat banyak dihajatkan tenaga ahli ilmu keagamaan pada umumnya untuk ditugaskan dalam beberapa lapangan pernerintah; bahwa sekarang telah sangat dirasakan kekurangan tenaga tenaga ahli dalam ilmu keagamaan Islam;
  2. Bahwa untuk mencapai keahlian tersebut, hingga kini pelajar pelajar Indonesia terpaksa mengikuti pelajaran pada perguruan perguruan tinggi di luar negeri yang tidak mempunyai hubungan yang seksama dengan madrasah¬madrasah di Indonesia;
  3. Bahwa oleh karena itu perlu diadakan Perguruan Tinggi Agama Islam yang sesuai dengan hajat masyarakat dan keadaan di Indonesia.
Pendirian PTAIN ini atas persetujuan bersama Menteri Agama RIS di Jakarta (KH. Wahid Hasyim) dan Menteri Agama RI di Yogyakarta (KH. Faqih Usman) dan juga putusan sidang kabinet Republik Indonesia tanggal 11 dan 12 Agustus 1950. Peraturan Pernerintah No. 34 ini ditandatangani oleh Mr. Assaat selaku pemangku jabatan Presiden RI pada tanggal 14 Agustus 1950. Dalam PP tersebut ditentukan maksud (tujuan) PTAIN adalah "untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam". Penyelenggaraan dan hari penetapan pembukaan PTAIN diserahkan kepada Menteri Agama bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Ketentuan terakhir ini dimaksudkan untuk menjaga supaya derajat dan sifat perguruan tinggi irii yang menjadi negeri tidak berbeda dengan perguruan tinggi negeri lainnya. Mengamati Peraturan Pernerintah tersebut, tampak bahwa tujuan pendirian PTAIN bukan hanya untuk menyiapkan pegawai Departemen Agama karena PTAIN bukan perguruan tinggi kedinasan, tetapi perguruan tinggi yang mempersiapkan tenaga ahli dalam ilmu pengetahuan agama Islam. Berdasarkan tujuan di atas, maka dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan No. K/1/14641 tahun 1951 (agama) dan 28665/Kab tahun 1951 (pendidikan) tanggal 21 Oktober 1951 diatur penyelenggaraan PTAIN. Dalam peraturan itu ditentukan lama pendidikannya 4 tahun dan baru di tingkat Baccaloriat dan Doktoral chperbolehkan memilihjurusan yaltu jurusan tarbiy* qadha' dan dakwah. Mata kuliah yang diberikan di samping ilmu pengetahuan agama Islam diajarka n juga mata kuliah umum dengan tujuan memberikan dasar dan keinsyafan akan pendirian hidup yang luas dan kuat kepada para mahasiswa selaras dengan tujuannya. Mata kuhah umum tersebut antara lain ilmu pendidikan dan kebudayaan, ilmu jiwa, pengantar hukum, asas asas hukum publik dan hukum privat, etnologi, sosiologi dan ekonon d. Akademi Dinas 11mu Agama (ADIA) Berdirinya PTAIN diikuti lagi dengan dibukanya ADIA (Akaden d Dinas Emu Agama) di Jakarta. ADIA ini didirikan karena kebutuhan tenaga guru agama yang mendapat pendidikan tinggi untuk bertugas di Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas masih dirasakan kurang, lebih lebih dengan makin banyaknya dibuka PGA di seluruh tanah air. Kebutuhan ini tampaknya belum dapat dipenuhi oleh PTAIN yang memang bukan perguruan tinggi kedinasan. Oleh karena itu, berdasarkan Penetapan Menteri Agama no. 1 tahun 1957 tertanggal I Januari 1957 didirikan ADIA (Akademi Dinas 11mu Agama). Perkuliahan pertama dimulai tanggal 17 Juni 1957. ADIA dimaksudkan untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri untak mencapai ijazah pendidikan semi –akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama di sekolah sekolah lanjutan umum, kejuruan maupun agama. Sedangkan tujuan umumnya adalah untuk mempertinggi mutu dan derajat pendidikan budi pekerti dari pengajaran agama di sekolah lanjutan umum, kejuruan maupun agama. Jurusan jurusan pada ADIA pada mulanya hanya jurusan Pendidikan Agama dan Sastra Arab. Baru pada tahun 1959 bertambah dengan dibukanya jurusan Imam Tentara. Kalau PTAIN secara struktural berada dalam pembinaan Departemen Agama (Sekretariat), ADIA secara struktural berada di bawah Jawatan Pendidikan Agama. Sebagai suatu Akademi Dinas mahasiswa ADIA adalah pegawai negeri yang bernaung di bawah jawatan Pendidikan Agama dengan status guru agama/ guru madrasah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) IAIN merupakan gabungan dari PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta, berdasarkan Peraturan Presiden no. 11 tahun 1960, tanggal 9 Mei 1960 yang ditandatangani oleh Djuanda selaku Pejabat Presiden. Dalam penjelasan Peraturan Presiden tersebut antara lain disebutkan latar belakang dan alasan pendirian IAIN. "Mengingat akan sejarah Indonesia dalam lapangan kehidupan kerohaniannya zaman zaman lampau (Sriwijaya, Mataram d1l) serta kehidupan kerohanian negara negara Timur lainnya dengan Universitas Al Azhar dan Universi¬tas Aligarh umpamanya, serta mengingat pula akan pertumbuhan negara negara Afrika yang kebanyakan penduduknya memeluk Agama Islam, pantaslah kiranya Pernerintah mencurahkan lebih banyak perhatiannya kepada pertumbuhan pendidikan tinggi tentang agama serta ilmu pengetahuan Islam ini. Kini Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri telah berkembang dan tidak dapat lagi dimasukkan dalarn satu. fakultas. Lebih lebih lagi jika diingat bahwa ilmu pengetahuan Islam adalah luas sekali, yang sebagaimana diketahui meliputi segala kegiatan kehidupan manusia, maka suatu fakultas tidak akan d4at menampung keseluruhannya itu. Perkembangan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri sudah sedemikian rupa sehingga dapat diarahkan pertumbuhannya ke arah Al Azhar. Lain daripada itu di samping Perguruan Tinggi Agama Islam yang maksudnya untuk mencukupi tenaga tenaga ahli dalam lapangan pendidikan yang diperlukan oleh dinas dan masyarakat. Mengingat hal hal di atas itu sernuanya maka sekarang telah tiba waktunya untuk menggabungkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama di Jakarta menjadi Institut Agama Islam Negeri yang kedudukan hukumnya seperti Institut Tehnologi di Bandung (Peraturan Pernerintah no. 6 th 1959) agar supaya ada pimpinan yang satu, untuk kelancaran serta kesempurnaan penyelenggaraan pendidikan tinggi tentang agama dan ilmu pengetahuan Islam itu". PTAIN yang semula mempunyai jurusan jurusan Tarbiyah, Qadha dan Da'wah dan ADIA dengan jurusan jurusan Pendidikan Agama, Sastra Arab dan Imam Tentara dalarn penggabungannya berubah menjadi empat fakultas yaitu: 1) Jurusan Tarbiyah dan Pendidikan Agama menjadi Fakultas Tarbiyah di Jakarta, 2) Jurusan Qadha menjadi Fakultas Syari'ah di Yogyakarta, 3) Jurusan Da'wah menjadi Fakultas Ushuluddin di Yogyakarta, dan 4) Jurusan Sastra Arab menjadi Fakultas Adab di Jakarta. Sedangkan jurusan Imam Tentara dihapuskan. Dari dua bentuk perguruan tinggi sebelun inya PTAIN dan ADIA tampak adanya dua orientasi tujuan yang agak berbeda. Hal tersebut sesuai pula dengan nama lembaga pendidikan itu. Kalau PTAIN bermaksud menghasilkan ahli agama Islam yang memiliki pengetahuan yang lengkap yaitu ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan umum yang berkaitan. Oleh karena itu, orientasi PTAIN bersifatjangka panjang karena lembaga ini mempersiapkan para pernikir (ilmuwan Islam) dan pernegang kendali kegiatan pembinaan agama dan pembinaan kehidupan beragama. dalam masyarakat. Sedangkan ADIA berorientasi kepada kebutuhan praktis jangka pendek, yaitu meningkatkan kemampuan para guru yang mengajar agama. di sekolah sekolah umum, kejuruan dan madrasah di lembaga pendidikan formal serta menjadi pegawai negeri di lingkungan Departemen Agama. Setelah PTAIN dan ADIA menjadi IAIN, tujuan pendirian 1AIN tidak jauh berbeda dengan tujuan FTAIN, yaitu "memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat untLik memperkembangkan dan memperdalarn ilmu pengetahuan tentang agama Islam". Namun dalam perkembangannya orientasi pencetakan pegawai negeri menjadi lebih menonjol. Hal ini dikarenakan makin luasnya lapangan kerja di kantor kantor pernerintah dan masyarakat yang membutuhkan alunu ti 1AIN. Pergeseran orientasi tujuan IAIN tampak setelah dikeluarkannya Peratuan Menteri Agama No. 1 tahun 1972. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa "IAN adalah suatu institut yang memberi pendidikan dan pengajaran agama Islam tingkat univer¬sitas serta menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam". Pada pasal berikutnya disebutkan maksud dan tujuan 1AIN yaitu:
  1. Membentuk sarjana sarjana muslim yang berakhlak mulia, berilmu dan cakap serta mempunyai kesadaran bertanggung jawab atas kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
  2. Mencetak sarjana sarjana muslim/pejabat pejabat agama Is¬lam yang ahli untuk kepentingan Departemen Agama, maupun untuk kepentingan instansi lain yang memerlukan keahliannya di dalam agama Islam serta untuk memenuhi keperluan umum.
Maksud dan tujuan IAN pada peraturan tersebut tampaknya ingin menggabungkan tujuan pendirian PTAIN dan tujuan pendirian ADIA. Namun dalam kenyataannya, orientasi pada pencetakan pejabat lebih menonjol dibandingkan orientasi kepada penyiapan para pen dkir Islam. Mungkin ini pula penyebab, adanya kekhawatiran LAJN belurn mampu mencetak para ulama, seperti yang dilontarkan beberapa pihak. Selama perjalanannya sampai saat ini IAIN telah berkembang pesat, terutama setelah wakil wakil rakyat di MPRS menyuarakan besarnya hasrat daerah daerah yang kuat'agamanya untuk mendirikan suatu fakultas agama negeri di daerahnya. Hasrat tersebut tercermin dalarn Ketetapan MPRS tanggal 3 Desember 1960 no. II/MPRS/1960, lampiran A Bidang Mental Agama/ Kerokhanian/Penelitian ad. 2 sub a terutama ad 7, disusul lagi dengan Resolusi MPRS no.I/Res/MPRS/ 1963, Lampiran A ad 5, yang dengan tegas men dnta perluasan IAIN. Setelah adanya Ketetapan MPRS tersebut, berdirilah banyak fakultas agama. di seluruh Indonesia sehingga pada tahun 1963 saja sudah bertambah 10 fakultas baru di lingkungan IAIN Yogyakarta. Untuk memudahkan pembinaannya, berdasarkan Keputusan Menteri Agama no. 49 tahun 1963, tanggal 25 Februari 1963, ditetapkan pembagian IAIN pembina menjadi dua buah yaitu 1) [AIN Sunan Kahjaga Yogyakarta yang membawahi fakultas fakultas di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, dan 2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membawahi fakultas yang berada di daerah Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera. Perkembangan fakultas yang demikian pesat di daerah daerah itu telah mendorong lahirnya Peraturan Presiden No. 27 tahun 1963, tanggal 5 Desember 1963, yang menyatakan dimungkinkannya pembentukan IAIINT baru bagi daerah daerah yang mempunyai sekurang kurangnya tiga jenis fakultas. Buah dari Peraturan Presiden ini maka fakultas fakultas IAIN berjumlah 104 fakultas yang tersebar di seluruh wilayah Indone¬sia. Sedangkan 1AIN induk menjadi 14 buah seperti yang kita kenal saat ini yaitu:
  1. IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, didirikan berdasarkan Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960;
  2. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 49 tahun 1963;
  3. IAIN ar Raniry Banda Aceh, didirikan berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 87 tahun 1964;
  4. IAIN Raden Fatah Palembang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 87 tahun 1964;
  5. IAIN Antasari Banjarmasin, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 89 tahun 1964;
  6. IAIN Sunan Ampel Surabaya, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 20 tahun 1965;
  7. IAIN Alauddin Ujung Pandang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 79 tahun 1965;
  8. IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 57 tahun 1966;
  9. IAIN Imam Bonjol Padang berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1966;
  10. IAIN Sultan Thaha Saefuddin Jambi, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 84 tahun 1967;
  11. IAIN Raden Intan Tanjung Karang Lampung, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No 189 tahun 1968;
  12. IAIN Walisongo Semarang, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 31 tahun 1970;
  13. IAIN Sultan Syarif Qosim Pekanbaru, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 194 tahun 1970;
  14. IAIN Sumatera Utara Medan, berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 97 tahun 1973.
Kalau pada awalnya fakultas di lingkungan IAIN terdiri dari empat jenis yaitu Fakultas Syari'ah, Tarbiyah, Ushuluddin dan Adab,dalam perkernbangannya bertarnbah satu. jenis lagi yaitu fakultas Dakwah. Perubahan terjadi pada jenis jurusan di fakultas fakultas tersebut. Perkembangan IAIN yang sangat pesat itu, ternyata mernbawa dampak pada kemandegan mutu. Tenaga dosen yang berkelayakan yang jumlahnya sedikit terpaksa harus disebar ke seluruh daerah. Akibat tenaga sangat kurang, penerimaan dosen baru tidak begitu ketat. Di samping itu pertambahan jun dah IAIN tidak ditunjang oleh kenaikan anggaran dan pengembangan sarana fisik. Untuk mengatasi masalah ini setelah tahun 1973 program IAIN yang utama adalah peningkatan mutu dan penyetopan pembukaan fakultas baru. Malah dilakukan penghapusan dan relokasi fakultas fakultas yang dianggap kurang layak dan sulit berkembang.Berdasarkan Keputusan Presiden no. 9 tahun 1987, jun dah IAIN tetap dipertahankan 14 buah dengan jumlah fakultas 90 buah dan jenis fakultas tetap sama. Namun demikian, perkembangan ini diikuti dengan penguatan status dan posisi IAIN. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1985, tanggal 4 juli 1985, status IAIN makin kuat dan sejajar dengan perguruan tinggi negeri di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. lni menunjukkan perhatian pemerintah terhadap pendidikan agama Islam tetap konsisten seperti ketika mendirikan PTAIN. Bambuapus, oktober 1988 Daftar Kepustakaan Boland, B.J., Pergumulan Islam di Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta, 1985. Departemen Agama, Peranan Departemen Agama Dalam Revolusi dan Pembangunan Bangsa, Jakarta, 1965. Himpunan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama Pusat, Jakarta, 1985/1986. Himpunan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama di Daerah, Jakarta, 1986/1987. Tiga puluh enam tahun Departemen Agama Dalam Strukrur Pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta, 1982. Direktorat Pendidikan Agama, Almanak 1974, Jakarta, 1975. Almanak 1975, Jakarta, 1976. Direktorat Perguruan Tinggi Islam, Kumpulan peraturan dan Pedoman, Jakarta, 1976. Djaelani, H.A. Timur, NIA, Kebijaksanaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ditjen Pernbinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1982. Kementerian Agama, Pedoman Pejabat Kantor Kantor Agama, Jilid III, Jakarta, t.th. ----------, Pedoman Penjabat Kantor-Kantor Agama, Jilid VI, Jakarta, 1957. ----------, Pertelaan Konperensi Kementrian, Departemen, Jawatan Agama Seluruh Indonesia, jilid I s/d V, Jakarta, 1950. Konperensi Dinas Ke II Kementerian Agama Nopember 1951 di Malang, Jakarta, 1951. ---------, Konperensi Kementerian Agama ke V Semarang Januari 1954, Jakarta, 1954. Konperensi Kementerian Agama ke V1 Tretes juni 1955, Jakarta, 1956 Noer, Dehar, Administrasi Islam di Indonesia, Edisi Baru, Yayasan Risalah, Jakarta, 1983. Noeh, H. Zaini Ahmad (alih bahasa); Peradilan Agama Islam di Indonesia, PT. Intermasa, Jakarta, 1980. Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/ IAIN di Pusat, Buku Pedoman IAIN. Jakarta, 1980. --------, Sejarah IAIN Tahun 1976 sampai 1980, Jakarta, 1986. Kajian tata Struktur Organisasi IAIN (Kajian Struktur Kelembagaan dan Struktur Keilmuan), Jakarta, 1987. Proyek Penyempurnaan Organisasi dan Tatalaksana Departemen Agarna, Struktur Organisasi Departernen Agama 1946 1974, Jakarta, 1982/1983. Proyek Penefitian Keagamaan Departemen Agama; Derap Langkah Departemen Agama (1946 1982), Jakarta, 1982/1983. --------, Sejarah Departernen Agama (Naskah Tahap ke IV), Jakarta, 1983/1984

No comments: