Wednesday, March 18, 2009

Madrasah, Pendidikan Satu Atap dan Otonomi Daerah

Tulisan ini sebagai ungkapan rasa bahagia dan turut bergembira serta berdoa semoga khusnul khotimah atas terbitnya buku menyambut 70 tahun K. H. DR (HC) Tolha Hasan dan keluarga. Penulis melihat Pak Tolha (panggilan akrabnya) sebagai seorang teman, seorang sahabat, seorang guru, seorang kiayi dan seorang bapak sebagaimana dirasakan selama pergaulan dengan beliau selama ini.

Ketika Gus Dur menjadi presiden, tiga kali dan dalam tiga peristiwa yang berbeda, beliau menyampaikan pidato sambutan agar pendidikan di Departemen Agama disatu atapkan dengan pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional. Menyikapi pendapat tersebut, penulis pernah menanyakan kepada Menteri Pendidikan Nasional (Pak Yahya Muhaimin) bagaimana pendapat beliau tentang pendapat Bapak Presiden tersebut. Pak Yahya (Menteri Pendidikan Nasional) menyatakan dia mendengar pendapat tersebut, tapi belum tahu bagaimana menterjemahkannya. Lalu penulis menyarankan bagaimana kalau kita minta Menteri Agama yang menterjemahkan pendapat tersebut. Bukankah Pak Tolha (Menteri Agama ketika itu) adalah orang yang kenal baik dan sahabat Gus Dur serta tahu jalan fikiran Gus Dur. Dari hasil pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, penulis melapor dan memintakan pendapat Pak Tolha. Jawaban Pak Tolha, Gus Dur itu pemikirannya jauh ke depan dan kadang-kadang banyak orang belum dapat menangkap dan memahami apa yang dimaksudkannya, tapi ini sinyal yang harus kita terjemahkan. Gus Dur bukan orang otoriter yang pendapatnya mutlak harus segera dilakukan. Karena itu, kata beliau untuk waktu realisasinya kita tanyakan saja dengan ”umat” apakah mereka ada masalah bila pendidikan di Departemen Agama disatu atapkan dengan pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional. ”Umatlah” yang tahu persis keadaan realitas pendidikan di lapangan. Mendengar pendapat Pak Tolha yang demikian arief dalam menterjemahkan pemikiran Gus Dur, penulis mengambil inisiatif mempertemukan para tokoh dan kiayi yang mengelola pendidikan madrasah dan pesantren untuk memintakan pendapat mereka tentang lontaran bapak presiden tersebut. 

Pada awalnya dalam pertemuan tersebut nampak banyak pendapat yang keberatan terhadap penyatuan pendidikan di Departemen Agama ke Departemen Pendidikan, karena kekhawatiran lembaga pendidikan madrasah dan pesantren akan lebih terdikriminasi, bahkan mungkin akan dihapuskan. Pemikiran mereka kalau madrasah diserahkan ke Pendidikan Nasional timbul kekhawatiran jangan-jangan ciri khas madrasah tidak dapat dipertahankan sehingga madrasah tidak ada bedanya dengan sekolah. Bukankah pengelola pendidikan di Pendidikan Nasional itu bukan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan madrasah, sehingga mereka tidak dapat memahami ”ruh” dari madrasah, sehingga dikhawatirkan kebijakan-kebijakan yang diambil akan menghilangkan ciri khas dari madrasah itu sendiri. Lebih-lebih lagi bila Menteri Pendidikan Nasionalnya ”orang abangan” atau bahkan orang ”non Islam”, maka kekhawatiran tersebut menjadi lebih besar. Bukankah dulu pernah Menteri Pendidikan Nasional melarang jilbab bagi siswa sekolah dan melarang mendirikan masjid di kampus dan sekolah? Bukankah pendidikan selama ini sangat dipengaruhi ”politik penguasa” yang tentu labil dan kebijakannya dapat berubah setiap waktu. Atas dasar pengalaman selama ini mereka tetap khawatir bila pendidikan di Departemen Agama diserahkan ke Departemen Pendidikan Nasional. 

Namun ketika diskusi telah memasuki kondisi politik saat ini (reformasi), dimana transparansi mulai tumbuh dan penguasa tidak dapat seenak sendiri mengatur pemerintahan. Belum lagi di sisi lain, DPR makin berperan, terutama dalam pengesahan Undang-Undang Pendidikan Nasional dan Undang-Undang APBN, serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan, maka disadari bahwa pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional) tidak dapat seenak sendiri memperlakukan madrasah, lebih-lebih dengan banyaknya anggota DPR dan DPRD yang berasal dari lulusan madrasah dan pondok pesantren, yang mereka paham dan tahu persis tentang madrasah dan pesantren, tentu tidak akan tinggal diam bila madrasah dan pesantren di anaktirikan apalagi dihapuskan.

Akhirnya diskusi mempertanyakan untung rugi bila pendidikan di Departemen Agama disatukan dengan Departemen Pendidikan Nasional. Prinsip para tokoh pendidkan dan kiayi berpendapat bahwa pendidikan dalam satu atap tidak menjadi masalah, bila akan membuat madrasah dan pesantren mendapat perlakuan yang lebih baik dan dapat mengembangkan diri dengan lebih leluasa serta ciri khas dan rohnya madrasah tidak diintervensi. Atas dasar pertimbangan seperti itulah maka Pak Tolha selaku Menteri Agama melayangkan surat ke Menteri Dalam Negeri yang menyatakan madrasah akan di otonomikan secara bertahap, sesuai dengan kesiapan masing-masing daerah. Surat ini sebagai respon terhadap lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sayangnya tindak lanjut dari kesediaan Departemen Agama itu tidak ditindak lanjuti oleh pengganti beliau, sehingga sampai sekarang persoalan pendidikan di Departemen Agama di daerahkan atau tidak tetap menjadi masalah dan perlakuan diskriminasi di daerah makin dirasakan oleh banyak madrasah dan pesantren. Tulisan ini menelusuri akar diskriminasi dan peluang untuk mengakhirnya. Pertumbuhan awal madrasah Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam yang telah hadir, tumbuh dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara ini .

Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan madrasah dari bentuk pengajian di rumah-rumah, terus ke mushollah, masjid dan kebangunan sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini. Demikian pula dari segi materi pendidikan, telah terjadi perkembangan dari yang tadinya hanya belajar mengaji Al-Qur’an kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, terus ke pengajaran tauhid, hadis, tafsir, tarikh Islam dan bahasa Arab. Kemudian masuk pula pelajaran umum dan ketrampilan. Dari segi jenjang pendidikan, telah terjadi pula perkembangan dari belajar mengaji Quran kejenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian berubah ke jenjang Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah,dan Madrasah Aliyah. Pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dipengaruhi secara cukup kuat oleh tradisi madrasah di Timur Tengah masa modern yang sudah mengajarkan ilmu ilmu agama dan umum, serta sistem pendidikan yang dibawa oleh Pemerintah Belanda . Kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan dan membatasi karena kekhawatiran akan munculnya militansi kaum muslimin terpelajar . Kebijakan inilah yang memicu beberapa madrasah dan pesantren mengisolir diri dari intervensi ”dunia luar” dengan tetap mengajarkan hanya pelajaran agama, Namun sekelompok yang lain melihat banyak hal yang menarik dari sistem ”sekolah Belanda”, sehingga menimbulkan gagasan membuka sekolah seperti sekolah Belanda namun dengan tambahan pelajaran agama dan ada juga madrasah yang menggunakan pola sekolah dengan tambahan pelajaran umum. Upaya yang kedua terakhir inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai upaya modernisasi madrasah (pendidikan Islam).

Madrasah sebagai sekolah agama Pemerakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi organisasi “modernis" Islam seperti Jami’at Khair, Al Irsyad, dan Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, pendirian lembaga pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi dan gerakan Islam, seperti Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al Washliyah, Matlaul Anwar dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) dengan corak dan ciri khas masing masing . Adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini, pada awalnya setidaknya ditandai oleh dua kecenderungan organisasi organisasi Islam dalam mewujudkannya yaitu: 
Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Usaha ini melahirkan sekolah-¬sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan tambahan pengajaran Islam.
Kedua, munculnya madrasah madrasah modern, yang memakai system sekolah dan fokusnya tetap pada pengajaran agama dengan tambahan pelajaran umum .
Kedua bentuk usaha ini pada dasarnya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan "sekolah Islam" yang sebenamya sekolah umum dengan memasukkan pengajaran agama. Kelompok inilah nantinya melahirkan sekolah umum Islam seperti SR Islam (SD Islam), SMP Islam, SMA Islam diikuti nama organisasinya. Di sisi, lain ada sistem dan kelembagaan "madrasah" yang menggunakan pola sekolah dan tetap menitik¬ beratkan pengajaran agama, namun dengan tambahan pelajaran umum. Kelompok inilah yang melahirkan MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah) dan MA (Madrasah Aliyah) seperti yang kita kenal saat ini.

Upaya integrasi madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terus berlanjut. Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) dalam maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945 menganjurkan, bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan" . Perhatian pemerintah RI terhadap madrasah dan pesantren ini semakin terbukti ketika Kementerian Agama resmi berdiri pada 3 Januari 1946. Dalam struktur organisasinya, Bagian C adalah bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurusi masalah masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren) . Namun menarik diamati, perhatian pemerintah yang begitu besar diawal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU No.4 Tahun 1950 jo UU No. 12 Tahun 1954) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar . Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada diluar sistem.

Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan dibawah Menteri Agama . Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Bagan berikut ini dimana madrasah dan pendidikan keagamaan/pesantren belum dianggap bagian dari sistem pendidikan nasional dan yang baru masuk hanyalah sekolah umum Islam sebagai bagian dari sistem sekolah. Keadaan inilah yang mendorong tokoh-tokoh Islam menuntut agar madrasah dan pendidikan keagamaan dimasukkan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Reaksi terhadap sikap pemerintah yang mendiskriminasikan menjadi lebih keras dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan Instruksi Presiden No 15 Tahun 1974. Kepres dan Inpres ini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres itu sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam.

Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah yang kemudian mengambil kebijakan untuk melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Dan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Kepres dan Inpres di atas, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri). SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD, SMP dan SMA. Kemudian lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Makna SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa siswa madrasah yang selama ini terbatas di lembaga lembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), dan kedua, membuka peluang kemungkinan anak¬-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Meskipun demikian, bukan berarti SKB Tiga Menteri ini tanpa masalah. Melalui SKB ini memang, status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya. Dengan SKB ini pula alumni MA dapat melanjutkan ke universitas umum, dan vice versa, alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN. Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum, dimana komposisi kurikulum madrasah 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama.

Efek penyamaan kurikulum ini adalah bertambahnya beban yang harusi dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah sebagai sekolah agama harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik. Namun, dengan penguasaan ilmu ilmu agama hanya 30% termasuk Bahasa Arab, tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN, apalagi untuk melanjutkan studi di Timur Tengah dan juga menjadi calon calon ulama . Undang-undang ini juga tidak menampung madrasah yang fokus utamanya pelajaran agama dan pelajaran umum sekedar tambahan yang merupakan bentuk awal dari madrasah modern di Indonesia. Di sisi lain hasil dari SKB ini belum memuaskan, karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Kenyataan itu tampak ketika lulusan madrasah mau masuk ke perguruan tinggi umum ataupun ke dunia kerja, dimana perlakuan diskriminatif sangat dirasakan oleh mereka.

Pengakuan madrasah sebagai sekolah umum (berciri khas Islam) Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama (integrasi madrasah dalam sistem pendidikan nasional secara penuh), baru dicapai dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989., dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran agama Islam (7 mata pelajaran) . Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti pe¬nyelenggaraan dan pengelolaan madrasah oleh Departemen Pendidikan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Kenyataannya beban kurikulum bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dan lebih berat dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Hal itu dikarenakan pihak madrasah (Departemen Agama) menerjemahkan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang ”madrasah adalah sekolah umum yang bedciri khas Islam” dan ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” diterjemahkan beban kurikulum madrasah adalah 100% pelajaran umum di sekolah ditambah dengan 100% pelajaran agama di madrasah. Padahal jam belajar tetap sama dan sikuensnya juga sama. Disisi lain kondisi, fasilitas dan latar belakang anak madrasah dengan anak sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah. Namun ada juga madrasah yang memahami beratnya beban kurikulum itu, lalu mereka terpaksa menambah jam belajar hingga sore dan malam, khususnya madrasah yang dipondok pesantren seperti Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pesantren Darunnajah. Madrasah yang tidak menambah jam pelajaran ataupun tidak mensiasati makna ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” maka hasil lulusan mereka menjadi ”tanggung” artinya penguasaan agama tidak memadai dan penguasaan umum juga belum mencukupi. Inilah yang kebanyakan dialami madrasah-madrasah yang akhirnya mengesankan kualitas madrasah yang rendah baik untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum maupun ke perguruan tinggi agama. Kebijakan ini disatu sisi memperkuat posisi madrasah terhadap sekolah, namun disisi lain dianggap memperlemah posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan agama yang fokus utamanya agama dan pengetahuan umum sebagai tambahan. Kebijakan ini juga yang dianggap memperlemah munculnya kader-kader ulama. Ini pula yang menjadi dasar Menteri Agama Munawir Sjadzali (1983-1993) mendirikan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) dan kemudian dijadikan Madrasah Alyah Program Keagamaan (setelah UU No. 2 Tahun 1989) yang komposisi kurikulum 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum plus pengajaran bahasa (Arab dan Inggris) secara intensif. Dengan program ini input IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi menjadi support bagi kemunculan calon calon ulama. Karena komposisi agamanya tetap lebih besar dari umum, maka luliusannya lebih banyak diterima di perguruan tinggi agama, khususnya di Timur Tengah. Dilihat dari sisi ini, kehadran MAPK sejatinya adalah bentuk respon positif progresif madrasah terhadap tantangan yang dihadapi. Namun dalam kenyataannya kehadiran MAPK masih ditumpangkan menjadi bagian atau program dari MA (karena politis menurut UU no.2 tahun 1989 belum memberi tempat pengakuan untuk yang jenis ini, karena jenjang dasar dan menengah pertamanya tidak diakui/ tidak dimungkinkan oleh undang-undang tersebut. Demikian juga madrasah dan pesantren yang hanya semata-mata memberikan pelajaran agama tidak juga terakomodasi dalam undang-undang sistem pendidikan nasional ini (UU No. 2 Th 1989). Tentu hal ini masih dirasakan sebagai bentuk diskriminasi dalam pendidikan. Padahal umat menghendaki madrasah tetap memberi peluang yang sama antara madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dengan madrasah sebagai sekolah agama yang berwawasan Indonesia dan kemodernan ataupun madrasah yang semata-mata memberikan pelajaran agama. Bukankah ketiganya merupakan upaya mencerdaskan anak bangsa, namun dengan fokus yang berbeda?. Jadi yang membedakan madrasah dengan sekolah umum sekarang bukan lagi pada bobot pengetahuan umumnya tapi pada kualitas dan ciri khas madrasah itu sendiri Sampai disini persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah. Dengan kata lain madrasah sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, karena itu anak madrasah dapat pindah dan melanjutkan pendidikan baik secara vertikal, maupun secara horizontal dan diagonal, tetapi pendidikan keagamaan di luar madrasah dan sekolah Islam masih dianggap di luar sistem. Persoalan yang tertinggal adalah persoalan mutu madrasah yang serba tanggung. Mungkin ke depan madrasah sebagai sekolah umum dikhususkan pada penguasan bidang studi umum sebagaimana sekolah, namun ciri khas Islam ditampilkan bukan dari banyaknya mata pelajaran agama, tetapi bagaimana membuat anak didik menjadi muslim yang baik. Tentu ini menjadi tantangan berat karena harus merubah pola pengajaran agama yang cenderung kognitif ke pola afektif dan psikomotorik. Dengan demikian porsi waktu untuk pelajaran agama dapat dikurangi, demikian juga untuk mengejar ketinggalan pelajaran umum, maka tidak semua mata pelajaran umum harus ditatap mukakan persis seperti sekolah, tapi dapat juga dengan melihat pelajaran yang lemah dan utama diberi porsi waktu yang lebih banyak sedangkan pelajaran yang kurang utama atau dapat dipelajari sendiri atau dengan sistem penugasan dan porsi tatap mukanya dikurangi. Dengan demikian beban kurikulum madrasah tidak berat sehingga penguasaan materi dapat lebih diutamakan.

Pengakuan madrasah sebagai sekolah agama Setelah persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas selesai secara sistem, maka masih ada persoalan dengan madrasah sebagai sekolah agama yang memberikan porsi utama pengajaran agama ditambah pengetahuan umum sebagai ciri ke Indonesiaan dan kemodernan belum mendapat tempat dalam sistem pendidikan nasional versi UU No. 2 Tahun 1989. Hal ini masih mengundang perasaan yang ”kurang puas” di kalangan umat, karena masih ada perasaan pemerintah memojokkan madrasah yang berfokus pada pengajaran agama dan dengan tambahan pelajaran umum. Juga masih terdengar pendapat yang menyatakan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam itu sebagai upaya ”mendangkalkan agama” bagi umat Islam Indonesia. Tentu prasangka ini tidak beralasan, karena memang peminat untuk memasukkan anak ke madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam jauh lebih besar dibanding dengan yang ingin memasukkan anaknya ke sekolah agama yang pengetahuan agamanya lebih besar dari pengetahuan umum seperti ditunjukkan oleh data bahwa anak-anak yang memilih program pilihan agama jauh lebih kecil (48%) dari yang memilih pilihan IPS atau matematika (52%) . Perjuangan untuk memasukkan madrasah sebagai sekolah agama (fokus utama pengajaran agama) dalam sistem pendidikan nasional baru berhasil setelah diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 . Dalam undang-undang ini diakui kehadiran Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi dan khusus (pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. MI, MTs, MA dan MA Kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri (bagian kesembilan) pasal 30 . Undang-Undang No. 20 tahun 2003 telah memberi peluang yang sama kepada madrasah dan pesantren yang bukan sekolah umum berciri khas Islam untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak didiskrimanasi di mata negara. Secara formal madrasah sebagai sekolah agama dan pendidikan keagamaan lainnya sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan pendidikan keagamaan lainnya sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu mobilitas diantara lembaga pendidikan tersebut terbuka baik mobilitas vertikal, horizontal dan diagonal. Undang-undang sisdiknas No. 20 tahun 2003 ini telah membuka peluang kembalinya kebhinekaan lembaga pendidikan islam yang diakui menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian tidak diperlukan lagi aktifitas ujian ekstranei, ujian persamaan dan sejenisnya bagi madrasah yang bukan sekolah umum untuk mengikuti kurkulum sekolah.
Madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai jenis pendidikan keagamaan lainnya perlu menata diri untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pendidikannya secara tersendiri namun sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Ke depan dengan telah diundangkannya Sistem Pendidikan Nasional 2003, maka madrasah sudah bisa memilah diri menjadi tiga pola yaitu: 
    a. Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam, seperti yang selama ini. Madrasah jenis ini harus berani menterjemahkan kurikulumnya tetap 100% walaupun umum sama dengan sekolah dan khusus sama dengan madrasah. Ini berarti pel;ajaran umum tidak semua harus diajarkan tatap muka , demikian juga pelajaran agama. Yang diajarkan hanya yang esensial (Mata pelajaran utama sekolah umum itu). Demikian juga dengan pelajaran agama, tidak semua diajarkan tatap muka. Dengan demikian anak didik dapat lebih berkonsentrasi kepada pelajaran umum sesuai dengan kompetensi yang diharapkan, namun mereka tetap dididik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Dengan cara ini akan tampak madrasah sebagai sekolah umum yang berani bersaing kualitas dengan sekolah umum lainnya, namun mereka adalah muslim-muslim yang baik (taat menjalankan agamanya) Dengan demikian madrasah akan dikenal sebagai lembaga pendidikan Indonesia yang menghasilkan lulusan yang mengusai pengetahuan umum dengan bagus, tetapi juga sebagai muslim yang baik.
    b. Madrasah sebagai sekolah agama, di mana focus utama adalah pelajaran agama. Pelajaran umum hanya sebagai penunjang saja. Di sini murid madrasah disiapkan untuk penguasaan agama dengan baik tetapi juga mendapat tambahan masalah keindonesiaan dan kemodernan. Ini penting agar lulusan madrasah sebagai sekolah agama yang hidup dan tumbuh di bumi Indonesia, tetapi berpengetahuan luas dan berwawasan global. Madrasah seperti inilah yang akan melahirkan calon-calon ahli agama yang berwawasan luas dan global. Sebagai tindak lanjut dari undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, maka sudah waktunya Departemen Agama segera memisahkan Madradsah Aliyah Program Keagamaan menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan yang beridiri sendiri dan terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam.
    c. Madrasah sebagai sekolah kejuruan, dimana fokus pelajaran pada ketrampilan hidup (life skill) namun siswa dildidik dan dilatih untuk menjadi seorang muslim yang baik. Untuk itu perlu ditata kurikulum yang cocok untuk menghasilkan anak didik dengan kompetensi yang demikian itu. Sudah waktunya Departemen Agama segera memisahkan Madrasah aliyah program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sebagai tindak lanjut dari UU No.20 Th 2003.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 ini, telah memberi tempat yang layak bagi madrasah sebagai sekolah agama dan berbagai pendidikan keagamaan lainnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu sudah sepatutnya kesempatan penghargaan ini digunakan dengan sebaik-baiknya bagi lembaga pendidikan keagamaan untuk menata diri sesuai dengan ketentuan perundangan ini. Artinya segera menata pendidikan keagamaan yang mana masuk pendidikan formal, mana yang nonformal dan mana yang informal. Demikian juga mana yang berjenjang dari pendidikan dasar sampai ke pendidikan tinggi, yang mana yang tidak perlu berjenjang. Dan yang lebih mendesak lagi segera memisahkan MA Program Keagamaan dan MA Program Ketrampilan menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan dan Madrasah Aliyah Kejuruan yang berdiri sendiri, terpisah dari Madrasah Aliyah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam. Inilah tugas berat Departemen Agama ke depan.

Madrasah dan Otonomi Daerah Persoalan lain yang muncul dalam perkembangan madrasah adalah persoalan madrasah diotonomikan sebagaimana sekolah atau tidak. Persoalan ini muncul setelah diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah . Ketentuan UU No. 22 Tahun 1999 pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain). Dilain pihak pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan salah satu dari 11 (sebelas) bidang yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota. Pertanyaan lanjutan yang muncul dari penafsiran terhadap dua pasal di atas adalah apakah madrasah termasuk dalam bidang pendidikan ataukah bidang agama?. Di sini muncul dua pendapat: Pertama; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan lain yang diasuh Departemen Agama tidak diotonomikan sebagaimana maksud pasal 7 ayat satu dari UU No. 22 Tahun 1999. Ini berarti pendidikan di Departemen Agama dikategorikan sebagai bagian dari sistem agama, bukan bagian dari sistem pendidikan nasional. Kedua; yang mengatakan bahwa pendidikan agama dan pendidikan yang dikelola Departemen Agama adalah bagian dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan diotonomikan, maka pendidikan di lingkungan Departemen Agama juga harus diotonomikan . Di sisi lain melalui UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ditentukan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk itu, sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda beda. Kini, Departemen Agama dihadapkan pada dua pilihan sulit di atas: (1) tetap mengelola madrasah secara sentralistik, artinya tidak mengotonomikan; atau (2) menugaskan kepada pemerintah daerah tingkat II untuk mengelola madrasah, sebagai konsekwensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan. Pilihan satu dari keduanya, pasti ada plus minusnya, tergantung kepentingan dan kebutuhan Departemen Agama maupun madrasah itu sendiri. Kalaulah sentralisasi (tidak diotonomikan) tetap sebagai pilihannya, maka Departemen Agama masih secara langsung menyelenggarakan pembinaan dan pengendalian madrasah¬ di seluruh Tanah Air sebagaimana selama ini. Pilihan ini mengandung makna bahwa Departemen Agama memandang madrasah berada dalam sistem agama sebagaimana telah disinggung di atas. Sumber dana yang diberikan untuk melaku¬kan pembinaan dapat secara langsung dikelola oleh Departemen Agama. Sementara daerah menjadi pelaksana dari kebijakan pusat seperti selama ini berjalan. Bahkan, pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Agama- berhak menentukan jenis jenis program dan target yang semestinya dicapai oleh masing masing madrasah di pelbagai tingkatannya. Sekilas, kelihatannya pilihan ini sangat menguntungkan. Namun, bila dikaji lebih jauh, temyata, pilihan ini bisa menimbulkan empat kerugian yang mungkin timbul. 
Pertama, sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 yang memberikan sentralisasi pada lima bidang di atas, maka dapat dipastikan bahwa sumber dana pembinaan madrasah hanya berasal dari sektor agama dan boleh jadi ditambah dari sektor pendidikan yang porsinya sudah banyak didaerahkan. 
Kedua, boleh jadi madrasah tidak menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi menjadi bagian dari sistem agama. Sedangkan undang¬-undang di atas justru menyerahkan pengelolaan pendidikan, sepenuhnya kepada pemerintah daerah tingkat II. Konsekuensinya, madrasah tidak akan pemah mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dari pemerintah daerah di mana madrasah itu berada. Ketiga, boleh jadi budaya otonomi pendidikan kepada madrasah akan terganggu oleh keputusan politik dari pusat, sehingga para guru dan kepala madrasah tidak menjadi kreatif dalam pengelolaan madrasah karena segala program dan kebijakan madrasah diputus¬kan dan didistribusikan dari pusat.
Keempat, birokrasi tetap tidak efesien, berbelit belit sehingga ada persoalan dari bawah tidak segera teratasi, semua harus sampai ke pusat.
Jika altematif kedua menjadi pilihan, maka Departemen Agama menyerahkan pengelolaan madrasah ke tangan pemerintah daerah tingkat II . Itu berarti, Departemen Agama (Pusat) akan ”kehilangan” sasaran pengelolaan madrasah secara langsung. Dengan demikian, peran Departemen Agama dalam bidang pendidikan hanya terbatas dalam bidang kebijakan, monitoring, evaluasi dan pengawasan. 
Bila alternatif kedua yang diambil, maka ada sekitar lima keuntungannya :
Pertama, madrasah akan segera "dikukuhkan" dan "diakui" menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan pengukuhan dan pengakuan tersebut, madrasah akan memperoleh perlakuan sejajar tidak lagi didiskriminasi dengan sekolah umum-, demikian juga dalam hal pendanaan maupun status sosial.
Kedua, budaya otonomi pendidikan pada madrasah akan tumbuh subur dengan berkurangnya intervensi dari pusat, sehingga para guru dan kepala madrasah dapat lebih leluasa mengembangkan sumber daya maupun dana yang dimiliki seraya belajar merumuskan program kerja yang lebih realisitis dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, madrasah melalui guru dan kepala madrasahnya dapat memanfaatkan secara maksimal ”stakeholders” madrasah untuk kepentingan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan tanpa harus menunggu juklak dan juknis dari pusat.
Keempat, fokus pembinaan dari pusat yang selama ini lebih menekankan pada persoalan administrafif dapat dikurangi, dan lebih difokuskan pada: 1) menetapkan standar mutu akademik untuk lulusan madrasah perjenjang; 2) menfasilitasi dalam menumbuhkan wadah wadah yang akan berfungsi sebagai auditor mutu di masing masing daerah; 3) memfasilitasi pembangunan jaringan antar daerah dalam kerangka tukar tukar menukar sumber daya yang diperlukan bagi penciptaan keseimbangan/ pemerataan mutu madrasah madrasah yang ada di daerah daerah; dan 4) memfasilitasi pengembangan kerjasama dengan sekolah sekolah luar negeri melalui program linkage, program kembar (twinning) ataupun franchising.
Kelima, memberikan peluang kepada madrasah untuk mengembangkan pendekatan kemitraan antar madrasah atau lembaga lembaga yang memayungi madrasah dalam melakukan upaya¬-upaya peningkatan mutu.
Pertanyaan lain yang timbul, jika pendidikan dilingkungan Departemen Agama tidak ditugaskan kepada Daerah, bukan tidak mungkin Daerah merasa kurang bertanggung jawab terhadap madrasah dan menganggap madrasah adalah tugas dari pemerintah pusat (Departemen Agama). Bila muncul perasaan dan sikap seperti ini, maka akan terjadi dengan sendirinya perlakuan yang berbeda antara sekolah dan madrasah di daerah. Ini berbahaya dan dapat menimbulkan kesenjangan kembali antara madrasah dan sekolah yang telah dialami begitu panjang (sejak UU No. 4 Tahun 1950 s/d UU No. 2 Tahun 1989). Bukankah perasaan didiskriminasikan dan dianak tirikan oleh Pendidikan Nasional dan Pemerintah Daerah begitu menyakitkan. Akankah muncul lagi diskriminasi dan penganaktirian tersebut, hanya gara-gara ”mempertahankan kekuasaan”. Lebih-lebih lagi dengan telah ditetapkannya UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, dimana madrasah sudah dikelompokkan sebagai pendidikan umum tidak lagi sebagai ”pendidikan keagamaan” [lihat pasal 17 ayat (2) dan 18 ayat (3)].

Bukankah ini memberi indikasi lagi bahwa sudah waktunya madrasah diserahkan kepada Daerah sebagaimana sekolah yang sudah lebih dahulu diserahkan. Memang ada kekhawatiran sebagian pihak , bahwa kalau madrasah diserahkan kepada Daerah timbul kekhawatiran jangan-jangan ciri khas madrasah tidak dapat dipertahankan sehingga madrasah tidak ada bedanya dengan sekolah. Bukankah pengelola pendidikan di Pendidikan Nasional itu bukan orang-orang yang berlatar belakang pendidikan madrasah, sehingga mereka tidak dapat memahami ”ruh” dari madrasah, sehingga dikhawatirkan kebijakan-kebijakan yang diambil akan menghilangkan ciri khas dari madrasah itu sendiri. Kekhawatiran tersebut adalah lumrah sebagai bentuk tanggung jawab, namun yang paling bijak bukannya menghentikan proses pemberian otonomi tapi mengkaji lebih dalam dan mencarikan solusi yang paling menguntungkan bagi madrasah. Kebijakan ini sepertinya merupakan ”kompromi”, namun tetap perlu dikritisasi, karena memang dapat memecahkan persoalan di tingkat Daerah, namun belum memecahkan persoalan di tingkat pusat antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional.

Pada tingkat pusat masih banyak persoalan yang dapat memunculkan diskriminasi lagi seperti persoalan pembagian alokasi dana. Bukankah alokasi dana pendidikan ditentukan oleh Departemen Pendidikan bersama DPR (komisi X dan Komisi Anggaran)? Sedangkan Departemen Agama bermitra dengan Komisi VIII. Juga struktur pendanaan pada sektor pendidikan yang terbagi atas Program Wajib Belajar Sembilan Tahun; Program Pendidikan Menengah; Program Pendidikan Tinggi dan Program Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan yang secara tidak langsung mencerminkan Direktorat Jenderal di Departemen Pendidikan Nasional? Lalu dimana untuk Madrasah dan Pendidikan Keagamaan? Begitu pula dalam pembuatan kebijakan-kebijakan pendidikan seperti RPP, ataupun kebijakan pendidikan lainnya yang diatur dalam bentuk Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, hampir dan sering pihak Departemen Agama terlupakan. Untuk itu ke depan kita perlu memperhatikan dan mengkaji lagi pemikiran dan lontaran pendapat Gus Dur untuk menyatu atapkan pendidikan di bawah Departemen Agama dengan pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional. Bukankah dengan terpisahnya pengelola pendidikan ini masih menimbulkan banyak diskriminasi seperti disinggung di atas. Boleh jadi ide untuk ”bedol desa” pendidikan di Departemen Agama ke Departemen Pendidikan Nasional suatu hal yang dapat menjadi bahan diskusi.

Dengan ”bedol desa” tersebut kekhawatiran bahwa di Departemen Pendidikan Nasional tidak mempunyai SDM yang mengenal ”ruh” madrasah dan kurang berpihak kepada madrasah dapat dihindari. Dengan demikian kekhawatiran ciri khas madrasah akan hilang atau pudar menjadi tidak beralasan. Bedol desa dengan arti seluruh perangkat dan personal pengelola pendidikan di Departemen Agama pindah (boyong) ke Pendidikan Nasional. Dengan demikian maka madrasah tidak akan terisolir atau diisolir oleh sistem , tapi menjadi bagian yang kokoh dari sistem dan perlakuan diskriminatif ataupun dianak tirikan tidak akan muncul. Demikian pula kekhawatiran kekurangan guru bidang studi umum yang diberikan Pendidikan Nasional sedikit, serta anggaran pendidikan untuk Departemen Agama belum proposional tidak akan muncul. Hal yang lebih penting lagi perlakuan diskriminatif dalam pemberian dana bantuan bagi guru sekolah dengan guru madrasah akan dapat dihindari, sehingga perasaan sesama guru menjadi makin kokoh antara sesama pendidik. Banyak lagi barangkali keuntungan yang didapat madrasah, yang terang perlakuan terhadap madrasah akan sama dengan sekolah. Kalaulah Departemen Agama ingin tetap mengelola pendidikan sebagaimana selama ini dan agar tidak didiskriminasi oleh Departemen Pendidikan Nasional , maka pihak Departemen Agama perlu ”berjuang keras” dan ”rajin serta tekun” untuk tidak ”tertinggal atau ditinggalkan” . Berbagai kemungkinan ini perlu didiskusikan lebih lanjut oleh Departemen Agama tentunya dengan semangat ”memberi peluang dana dan fasilitas yang proporsional serta tidak merugikan madrasah dan pendidikan keagamaan” itu sendiri, bukan dengan semangat ”takut kehilangan binaan”. Wallahua’lam bis sawab. 

HR Bambuapus, 20 Muharram 1427 H 19 Februari 2006

No comments: