Wednesday, March 18, 2009

Memberdayakan Badan Peradilan Indonesia dalam Rangka Penegakan Supremasi Hukum Menuju Masyarakat Indonesia Baru (Beberapa Catatan)

  • Secara konseptual, masuknya peradilan agama dalam struktur kesultanan dapat diartikan sebagai pengakuan secara resmi kesultanan terhadap lembaga peradilan dan juga dapat dianggap sebagai masuknya “ahli agama” dalam “jajaran birokrasi”.
  • Kehadiran peradilan agama sebagai simbol institusi keadilan dalam Islam. Alqur`an mengataskan Dan bila kamu menghukum di antara manusia, supaya kamu menghukum dengan seadil-adilnya (an-nisa` 57);
  • Desakralisasi keputusan pengadilan agama; secara fakta keputusan pengadilan agama yang dilandasi oleh ajaran agama, akan lebih mudah diterima dan dianggap sebagai penyelesai masalah, karena ada unsur “sakralisasi” dari putusan itu. Namun bila keputusan itu hanya dilandaskan pada ketentuan-ketentuan formal hukum saja, boleh jadi nilai sakral tersebut tidak tampak. Ini akan berakibat kepatuhan terhadap keputusan itu tidak “setulus hati”, namun lebih didasarkan keterpaksaan terhadap hukum.
  • Hakim dimata hukum dan ulama di mata ummat; Kemampuan / profesionalitas sebagai hakim dalam penguasan tehnis dan keluasan pengetahuan dalam bidang hukum sebagai cermin hakim di mata hukum, sedangkan integritas moral dan keteladanan sebagai pribadi yang bersih/bebas KKN dan penuh wibawa tercermin sebagai hakim sebagai ulama di mata ummat;
  • Profesionalitas dan integritas moral bagi para hakim merupakan dimensi utuh yang harus dimiliki seperti dua sisi mata uang yang baru bermakna bila kedua-duanya ada. Ini dapat dijadikan arah pembinaan kedepan.
  • Ilustrasi profesional dan integritas moral dapat diamati dari: Hadis nabi mengisyaratkan bahwa ada tiga golongan hakim; Satu golongan saja yang akan masuk surga dan dua golongan lain akan masuk neraka. Yang masuk surga adalah seorang hakim yang mengetahui apa yang benar dan memberi keputusan dengan kebenaran itu. Hakim yang tahu benar akan tetapi melakukan kezaliman dalam keputusannya akan masuk neraka (profesional tanpa integritas moral) dan begitu juga dengan hakim yang memberi keputusan sedangkan dia seorang yang jahil akan masuk neraka (integritas tapi tidak profesional)”
  • Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun; banyak ditentukan oleh profesionalitas dan integritas moral tadi, sedangkan pemisahan pemisahan yang tegas lembaga judikatif dan eksekuitif masih bersifat asesoris atau pendekatan formal semata. Artinya kelembagaan yudikatif dan eksekutif dapat terpisah tapi praktek kemandirian hakim belum tentu terwujud, bila sekiranya hakimnya diragukan profesionalitas dan integritas moralnya.
  • Keadilan tidak ditentukan oleh bergabungnya atau terpisahnya judikatif dan eksekutif, walaupun dengan berpisah akan lebih mengurangi kemungkinan campu tangan eksekutif terhadap legislatif. Yang penting sebenarnya integritas moral dan keprofesionalan para hakim yang membuat kemandirian dalam mengambil keputusan.
  • SDM hakim yang berkualitas merupakan syarat utama penegakan supremasi hukum; Dengan demikian sejak rekruitmen hakim harus demikian selektif dan transparan, kemudian diperlukan program penyekolahan pada jenjang pendidikan pasca sarjana sebagai upaya peningkatan profesionalitas dan juga program peningkatan integritas moral yang terus menerus sesuai dengan hadis “kadar keimanan seseorang dapat naik turun sesaui dengan keadaannya”.
  • Kesejahteraan hakim merupakan faktor penting dalam mewujudkan kemandirian hakim. Oleh karena itu program peningkatan kesejahteraan (jasmani dan rohani) tetap menjadi program utama.
  • Kebobrokan peradilan lebih didasarkan pada : pertama, menumpuknya perkara - makin panjang antrian para pencari keadilan - memberi peluang orang yang “tidak sabar antri” dan “berkemampuan” serta “nakal’ untuk bermain.; Kedua, terkooptasinya lembaga peradilan oleh pihak eksekutif. Kedua hal inilah yang perlu diatasi dengan seorang ketua yang profesional dan mempunyai integritas moral yang tinggi.
  • Seorang hakim hendaklah berkeahlian di dalam bidang hukum (profesional) dan dalam bahasa fiqh berkemampuan mujtahid. Ijtihad yang benar walaupun hasilnya salah tetap dapat nilai satu dan bila benar mendapat nilai ganda.

No comments: