Wednesday, September 08, 2021

MODERASI BERAGAMA Menurut Kacamata seorang guru

Tulisan ini diterbitkan di buku Konstruksi Moderasi Beragama Catatan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2021.

 

Moderasi istilah yang populer setelah reformasi di Indonesia. Istilah moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) bermakna “mengurangi kekerasan atau penghindaran keekstreman”. Moderasi biasa dikaitkan sebagai sikap penengah antara  sikap liberal dan radikal. Dalam istilah berfikir moderasi dimaknai sebagai orangyang berfikiran luas, bukan berfikiran sempit. Melihat sesuatu tidak langsung hitam putih tapi melihat masalahnya secara luas dan mendalam sambil memahami kenapa masalah itu terjadi.  Kata moderasi biasa disandingkan dengan kata toleransi plural, multikultural, artinya menghakui dan menghargai adanya perbedaan tanpa saling mendiskreditkan satu sama lain. Lawan dari moderasi adalah memandang sesuatu menurut pengetahuan yang diketauhinya yang dianggap benar,  dan yang berbeda dianggap  salah. Biasanya diistilahkan dengan intoleran, radikal, mau menang sendiri.

  

Munculnya sikap tidak menghargai perbedaan dan senang mendiskreditkan orang dalam masyarakat karena  mereka berfikiran sempit, merasa pendapatnya yang benar dan yang berbeda itu salah dan lebih parah lagi bila dituduh merusak agama atau kafir.  Sikap seperti ini  menjadi sumber  konflik dalam masyarakat. Keadaan ini tumbuh subur setelah reformasi.Boleh jadi ini salah satu dampak negatif reformasi di tengah negara belum siap dengan  aturan main dalam berdemokrasi. Sikap  ini diakibatkan oleh “kurang luas fikiran/pandangannya” dalam melihat sesuatu masalah.

Kunci menanamkan sikap moderasi adalah dengan  beri mereka pengetahuan luas dan ajak melihat fakta keragaman yang terjadi di dunia ini. Dengan demikian mereka akan  menyadari bahwa  hidup ini akan selalu berhadapan dengan keragaman dan perbedaan. Keragaman budaya, faham, ataupun agama adalah satu keniscayaan (sunatullah) yang bukan untuk dipertentangkan.  Kunci hidup bersama dalam keragaman adalah sikap moderasi, menghargai dan menghormati perbedaan serta  tidak gampang mendiskreditkan atau memusuhi orang yang tidak sepaham dengannya.

 

Dalam pembelajaran agama agar tidak sempit pengetahuannya ajak mereka melihat betapa luas ilmu agama itu dan betapa banyak ragam dan pendapat dalamnya. Tanpa kita mengetauhi ragam dan pendapat itu akan menyebabkab kita berfikir pendapat kitalah yang paling benar dan yang lain salah. Bila sekedar berfikir seperti itu tidak apa-apa, tapi kalau sudah menganggap yang lain salah dan dianggap “kafir” atau keluar dari Islam padahal masalahnya hanya perbedaan penafsiran. Ini akan menimbulkan masalah , di sinilah masalah moderasi penting. Sikap memahmi dan menghargai adanya perbedaan. 

 

 

Tampaknya kunci menanamkan sikap moderasi adalah dengan  membuka fikiran tentang adanya perbedaan faham dalam beragama, melihat sendiri fakta banyaknya perbedaan itu dan kemudian membuat peluang berkumpul bersama dalam titik temu. Dalam menyikapi perbedaan itu, banyak peluang titik temu yang bisa diwujudkan dengan duduk bersama, bersilaturrahim, berbincang, berdiskusi dalam berbagai masalah lainnya. Misalkan diadakan “ajang bersama dalam sains” sebagai titik temu. Sekolah Islam dan sekolah Kristen misalnya membuat acara kelas bersama untuk membahas suatu konsep sains di bawah bimbingan guru sains sekolah Islam dan sekolah Kreisten, Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok yang berbaur. Ini akan mendekatkan hati dan keakraban di antara mereka. Walaupun mereka berbeda agama, berbeda ras, tapi mereka tidak merasa ada perbedaan dalam hidup bersama. Kegiatan olah raga, seni, ketrampilan juga bisa menjadi titik temu. Tentu ini semua menjadi kegiatan ekstra kurikuler atau ko kurikuler yang diprogramkan, dibiayai dan difasilitasi oleh pemerintah dan sekolah. Tempat pelaksanaannya bisa bergantian suatu saat di sekolah Islam disaat lain di sekolah Kristen misalnya.. 

 

Kunci menanamkan sikap moderasi tidak cukup dengan menasehati atau menjadikannya bahan ajaran di sekolah. Apalagi bila hanya mengandalkan mata pelajaran tertentu seperti pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, ataupun pelajaran PPKN dengan jam yang terbatas. Tidak cukup pula dengan aturan atau pedoman bersikap moderasi di sekolah. Tidak cukup pula dengan dibuatnya buku pelajaran moderasi. Menanamkan sikap (karakter) moderasi pada anak harus menjadi komitmen dan tugas bersama,  pemerintah, sekolah, orang tua dan masyarakat untuk mewujudkannya dalam perilaku hidup bersama. Faktor pembiasaan dan  keteladanan dari para guru dan pimpinan sekolah serta sikap pemerintah dan masyarakat ikut menentukan kesuksesan program moderasi beragama ini.

 

Di Sekolah Pascasarjana UIN Ssyarif Hidayatullah banyak juga mahasiswa yang  melakukan penelitian untuk tesis dan disertasinya tentang pendidikan multikultural, tentang moderasi, tentang pluralisme, tentang radikalisme. Ini menunjukkkan adanya perhatian dan kesadaran mahasiswa UIN untuk mencarikan jalan keluar agar masyarakat Indonesia tidak mengutamakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu perbedaan dan hidup saling menghargai. Semua penelitian itu mengenai penanaman nilai-nilai toleransi, multikultural, moderasi di lembaga pendidikan.  

 

Salah satu dari  hasil Peneltian itu berjudul  “Pendidikan Multikultural pada Budaya sekolah” yang dilakukan salah seorang mahasiswa (Noblana) kandidat doktor  bimbingan saya di sekolah Pascasarjana cukup menarik. Karena selama ini kebanyakan para tokoh pemerintahan dan pakar pendidikan   selalu menekankan perlunya penanaman nilai-nilai itu melalui pendidikan di sekolah. Malah menugaskan mata pelajaran tertentu untuk tugas itu misalnya mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dan mata pelajaran PPKN. Artinya lebih bersifat formal. Namun hasil penelitian saudara Noblana dengan menggunakan pendekatan ethnografi, menyimpulkan bahwa penanaman nilai-nilai kepada siswa tidak cukup dengan  hanya memberikan pelajaran agama dan budipekerti, sama juga untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila tidak cukup hanya dengan adanya mata kuliah Pancasila. Tapi harus dibarengi dengan mengkontruksi nilai tersebut dalam budaya sekolah dalam berbagai kegiatan yang diprogramkan, difasilitasi dan didanai melalui kegiatan ekstra kurikuler, kokurikuler dan kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Juga Local genius (budaya lokal) di masyarakat dimanfaatkan juga menjadi ajang penanaman nilai-nilai dan  membangun modal budaya siswa dengan mengajak siswa ikut di dalamnya. 

 

Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa bila kita ingin menanamkan sikap moderasi pada anak didik kita, maka jangan hanya mengandalkan guru Pendidikan Agama dan guru PPKN, tapi menjadi “program sekolah” yang semua unsur bekerjasama untuk mewujudkannya. Dari segi kognitif (nasehat atau penjelasan mengenai moderasi) dilakukan semua guru Pendidikan Agama dan guru PPKN di kelas dan penugasan membaca berbagai buku misalnya. Kemudian diikuti dengan program dari sekolah dengan melibatkan semua guru untuk membudayakan sikap moderasi di sekolah dengan berbagai aktifitas baik ekstra kurikuler, ko-kurikuler maupun hidden curriculum. Tidak kalah pentingnya juga siswa diajak ikut menikmati budaya lokal yang hidup diaerah itu yang menampilkan sikap moderasi penduduk setempat.

 

Faham keagamaan baik di kalangan Islammaupun agama lain cukup banyak ragamanya. Keragaman faham keagamaan tersebut   harus dikenalkan dan dijelaskan kenapa terjadi perbedaan faham tersebut, agar mahasiswa paham dan menyadarinya sebagai suatu keniscayaan.  

Di sinilah cara  Prof Harun Nasution memulai untuk memunculkan sikap  moderasi beragama di lingkungan IAIN. Pengajaran agama di Indonesia selama ini bersifat parsial, tidak melihat Islam secara utuh terlebih dahulu, baru melihat bagian yang parsial itu dan mengetauhi kenapa itu terjadi. Ini menyebabkan faham keberagaman  mereka sempit. Bukankah mata kuliah yang diajarkan langsung parsial. Mulai Al-Qur’an, Hadist, Fiqh, Tauhid, SKI. Namun semua berdiri sendiri, diberikan oleh dosen yang berbeda. Padahal semua berkaitan satu sama lain. Hal ini menyebabkan pandangan kita menjadi sempit.  Ketika Prof Harun Nasution memberikan diskusi dan perkuliahan terhadap para dosen IAIN, terjadi perdebatan seru,  karena kebanyakan dosen berpegang pada pendapat yang mereka terima dan baca. Di sinilah Prof Harun membuka fikiran mereka bahwa begitu luasnya Islam itu. Kalau selama ini Islam yang kita ketauhi hanya parsial, sekarang mereka diajak melihat  Islam secara utuh lebih dahulu sehingga memahami adanya keragaman faham dalam Islam. Melihat kenyataan kajian Islam yang parsial itu, maka beliau menulis dan menerbitkan buku yang “Islam ditinjau dari berbagai aspek”. Buku ini terdiri dari dua jilid. Jilid I, memperkenalkan Islam dari berbagai aspeknya (6 bab).Jilid 1 ini menjelaskan  lebih banyak  aspek-aspek sejarah, kebudayaan, dan lembaga-lembaga di samping aspek spriritual dan moral dalam Islam. Di mana Bab 1) Agama dan pengertian dalam berbagai bentuknya; 2) Islam dalam pengertian yang sebenarnya; 3) Aspek ibadah; latihan spiritual dan ajaran moral; 4) Aspek sejarah dan kebudayaan; 5) Aspek politik; dan 6) Lembaga kemasyarakatan Jilid II, terdiri dari 5 bab. Berisikan aspek pemikiran yang ada  dalam Islam Bab 1) Aspek hukum; 2) Aspek teologi; 3) Aspek filsafat; 4) Aspek mistisisme; 5) Aspek pembaharuan dalam Islam,

 

Buku ini menolak pemahaman bahwa Islam itu hanya berkisar pada ibadat, fiqih, tauhid, tafsir, hadist, dan akhlak saja. Tetapi termasuk didalamnya, sejarah, peradaban, filsafat, mistisisme, teologi, hukum, lembaga dan politik. Kemudian buku ini menjadi buku wajib bagi setiap mahasiswa IAIN (saat ini dikenal sebagai UIN) apa pun fakultas dan jurusannya.

 

Buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek ini ingin menjelaskan mengenai hakikat Islam itu sendiri secara luas. Hal tersebut dikarenakan masih banyak dikalangan masyarakat Indonesia, baik kalangan bukan umat Islam, dan bahkan kalangan umat Islam itu sendiri yang menilai bahwa Islam itu bersifat sempit. Kekeliruan paham itu terjadi karena kurikulum pendidikan agama Islam yang banyak dipakai di Indonesia hanya ditekankan pada pengajaran ibadah, fikih, tauhid, tafsir, hadis, dan bahasa Arab dan itupun biasanya diajarkan hanya menurut satu mahzab dan aliran saja. Ini menyebabkan pengetahuan mereka mengenai Islam terasa  ”sempit”, akibatnya berdampak juga kepada masyarakat. Di kalangan masyarakat Indonesia terdapat kesan bahwa Islam itu bersifat sempit. Kesan itu timbul dari salah pengertian tentang hakikat Islam. Kekeliruan paham ini terdapat bukan hanya di kalangan bukan umat Islam, akan tetapi juga di kalangan umat Islam sendiri, bahkan juga di kalangan sebagian agamawan-agamawan Islam.

 

Prof Harunlah yang membuka fikiran para dosen menjadi lebih terbuka dan luas terhadap berbagai paham keagamaan dalam Islam. Ketika fikiran mereka sudah terbuka dan luas, maka adanya perbedaan pemahaman akan disikapi dengan penuh pengertian tanpa harus menyalahkan dan menjelekkan satu pendapat dengan pendapat yang lain, tapi memberikan penjelasan kenapa yang satu berpendapat demikian dan yang satu lagi berpendapat demikian.

 

Prof. Harun Nasution telah berhasil merombak cara pandang sempit menjadi berfikir inklusif dan berprasangka baik dengan orang lain. Bagi yang kurang berkenan dengan langkah Prof Harun Nasution mereka menggelari kampus UIN dulu  IAIN Syarif Hidayatullah sebagai “Kampus Liberal” dan bagi yang menghargai usaha Prof. Harun Nasution mereka menyebutnya “Kampus Pembaharuan”. 

 

Kalau selama ini kelompok lulusan Timur Tengah dan kelompok lulusan Barat sering dipertentangkan dan digambarkan sebagai dua kubu yang berseberangan dalam mengkaji studi Islam, oleh beliau di dekatkan dalam wadah Sekolah Pascasarjana. Beliau meyakini bahwa Studi Islam  baik di Timur Tengah maupun di Barat mempunyai kekhasan, keunggulan dan kelemahan masing-masing. 

 

Studi Islam di Timur Tengah lebih menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Islam diyakini sebagai agama wahyu yang bersifat transenden. Tidak diperlakukan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah, tetapi diletakkan secara terhormat sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Studi ilmiahnya diarahkan  untuk memperluas pemahaman dan memperdalam keyakinan serta menarik kemaslahatanya bagi kepentingan umat. 

 

Studi Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan peradaban, dan bukan sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum muslimin melihatnyaIslam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiahdiperlakukan sama dengan  studi ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka.

 

Studi Islam di Timur Tengah memiliki keunggulan dalam memahami aspek doktrinal, yang menjadi basis ilmu pengetahuan  Islam  serta kaya  akan penguasaan khazanah Islam . Namun mempunyai kelemahan dalam metodologi .  Sedangkan studi Islam di Barat yang kaya dalam metodologi tapi miskin dalam penguasaan basis ilmu pengetahuan Islam.

Kolaborasi antara dosen lulusan Timur Tengah, lulusan Barat ditambah dengan lulusan dalam negeri termasuk lulusan UIN sendiri telah memperkuat studi Islam di Indonesia dan dapat menjadi rujukan dunia internasional dalam mempelajari Islam secara kaffah.

 

Di sisi lain Prof Harun Nasution  juga  menghargai lulusan Licence dari Timur Tengah yang selama ini belum diakui sama dengan S1, hanya diakui  sama dengan sarjana muda. Beliau menyamakannya dengan lulusan S1 dan dapat langsung diterima di program S2 Sekolah Pasacasarjana. Kebijakan ini telah membuka saluran pendidikan lanjutan bagi lulusan Licence Timur Tengah yang tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di Timur Tengah  karena   biaya dan berbagai aturan di perguruan tinggi tersebut.

  

Beginilah  cara beliau membuka sekat pemisah dan mempertemukan antara lulusan Timur Tengah dan lulusan Barat serta lulusan dalam negeri sebagai satu kelompok yang bersinergi dalam mengkaji Islam. Mereka  bukan kelompok yang  berseberangan, saling memuji diri sendiri dan mengecilkan kelompok lain. 

 

Departemen Agamapun turut mendukung program penyekolahan ke Barat dan ke Timur Tengah. Bila selama ini yang belajar ke Timur Tengah kebanyakan mahasiswa mandiri (“mahasiswa terjun bebas” istilah mereka), mulai  diatur secara formal dengan pihak pemerintah Mesir dan Al-Azhar. Seleksi dilakukan di Indonesia dan ditest bersama dosen Al-Azhar yang didatangkan ke Indonesia. Calon mahasiswa yang lulus langsung diterima di Universitas Az-Azhar dan diatur oleh KBRI. Biaya keberangkatan juga dibiayai Departemen Agama. Setelah mereka selesai Magister dan doktor diangkat menjadi dosen di UIN, IAIN dan STAIN. 

 

Program pengiriman dosen ke luar negeri diperbanyak, baik ke barat maupun ke Timur Tengah dengan maksud memberi wawasan yang lebih luas untuk melihat literatur yang begitu banyak dalam mengkaji Islam.  Juga memberi pengalaman mengalami sendiri menjadi minoritas, bergaul dengan mayoritas beragama yang berbeda agama dan  budayanya. Kesemua untuk membuka wawasan para dosen. Sedangkan yang belajar ke Timur Tengah mereka hidup dan bergaul bersama  kelompok mayoritas (Islam),  namun dengan budaya yang berbeda.

 

Perubahan IAIN menjadi UIN juga merupakan upaya untuk mengkaji  Islam secara utuh tidak hanya melihat dari segi agama tapi juga pandangan ilmu pengetahuan. Memandang ilmu agama terpisah dari ilmu pengetahuan menyebabkan umat Islam mundur tertinggal dalam sains dan teknologi. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan upaya untuk mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan. Tidak ada lembaga perguruan tinggi yang merasa penting mengembangkan masalah ini,  kecuali perguruan tinggi Islam itu sendiri. Inilah yang menjadi alasan utama kenapa perlu merubah IAIN menjadi UIN seperti yang dikemukan Prof. Harun Nasution ketika diskusi rencana perubahan IAIN menjadi UIN.

 

Moderasi itu adalah ciri perguruan tinggi. Maka aneh bila Perguruan tinggi menghasilkan lulusan yang berfikiran sempit dan memandang sesuatu langsung pakai kacamata hitam putih. Kampus UIN sebaiknya  menjadi  contoh “kampus moderasi”. Kampus terbuka  yang memungkinkan semua orang datang, belajar, berdiskusi, bertukar pikiran, saling mengenal dari pelbagai suku, agama, budaya dan bangsa. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mempunyai banyak dosen  yang memiliki keahlian tertentu, sayangnya mereka banyak dipakai di luar kampus. Baik di perguruan tinggi lain, atau di lembaga-lembaga swasta lainya. Bila kita ingin membesarkan UIN secara kelembagaan, maka berilah kesempatan dan dukungan agar keahlian mereka itu tidak dikembangkan diluar UIN, tapi di kampus mereka sendiri. Caranya  buatkan mereka  “Warung Keilmuannya” di kampus. Dukung dengan staf, fasiltas dan dana, agar mereka menghidupkan dan mengembangkan bidang keahliannya di kampus. Warung tersebut dikelola bersama dosen yang sejenis.   Insya’allah mereka akan merasa dihargai,  merasa bertanggungjawab dan merasa senang membesarkan kampus  UIN mereka sendiri. 

 

Dosen-dosen  yang punya keahlian Qur’an buatkan mereka  “Warung Kajian Al-Qur’an”, yang hafal Al-Qur’an buatkan “Warung Tahfiz”, yang punya keahlian hadist buatkan “Warung Kajian Hadist”. Munculkan aneka warung keilmuan  lainnya seperti “Warung Kajian Kitab Kuning”, “Warung Kajian Fiqh Empat Mazhab”, “Warung Kajian Agama-Agama”, “Warung Da’i Milineal”, “Warung Seni dan Drama Islam”, “Warung Kajian Islam Asia Tenggara”, “Warung Kajian Islam di Barat”, “Warung Kajian Islam di Timur Tengah”, “Warung Kajian Manuskrif Islam”, “Warung Kajian Politik”,  “Warung Sains Terapan”,  “Warung Ekonomi Syariah”, “Warung Bengkel Sekolah dan Madrasah”, dsb...dsb.

 

Warung-warung inilah  yang akan menghidupkan suasana akedmik dan suasana moderasi,  karena terbuka untuk semua orang tanpa memandang suku, agama, dan bangsa. Warung-warung ini akan menjadi “Mall Keilmuan”. Kajian apaun yang dicari tentang islam dan Indonesia ada di situ. Dengan demikian akan  mengundang orang dari berbagai suku, bangsa, agama dan budaya dan  mahasiswa serta dosen serta staf akademik akan terbiasa bergaul di tengah keragaman. Secara tidak langsung sikap moderasi  akan muncul dan menjadi budaya kampus UIN Syarif Hidayatullah. 

Para dosen dengan berbagai ragam keahlian mereka mendapat saluran mengembangkan profesionalitasnya tanpa harus mejadi penjual di warung orang lain. Dengan kata lain dosen akan membesarkan kampusnya  sendiri sebagai kebanggaannya sebagai seorang  dosen. 

Mahasiswa UIN sendiri mendapat peluang belajar hidup dan praktek ditengah keragaman, diluar kegiatan belajar kurikulum formal di Fakultasnya,  Insya’allah mahasiswa UIN akan merasa senang mendapat peluang belajar dan praktek bidang keahlian yang diinginkannya dari warung-warung itu, dari pada di luar kampus yang boleh jadi membuar mereka tidak moderat dalam beragama. Mahasiswa menjadi terbiasa bergaul dengan orang yang beraneka ragam, suku, agama dan bangsa yang berbeda tanpa harus belajar ke luar negeri.

 

Ada hal yang menarik setelah IAIN berubah menjadi UIN, muncul kekhawatiran UIN akan kehilangan “ciri khasnya sebagai Perguruan Tinggi Islam”. Dikhawatirkan mahsiswa UIN akan kehilangan jati dirinya sebagai seorang muslim yang taat. Gejala ini mulai dirasakan di kalangan UIN dan masyarakat. Salah satu penelitian mahasiswa (Jumal Ahmad) kandidat Magister  Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang meneliti “Tingkat Religiositas Keagamaan Mahasiswa”  di salah satu fakultas UIN cukup menarik temuannya.  Mahasiswa yang berasal dari pesantren dan Madrasah Aliyah merasa religiositas mereka berkurang. Kalau dulu rajin salat sunah, sekarang tidak, kalau dulu rajin puasa Senin Kamis, sekarang jarang, kalau dulu selalu mengaji Al-Qur’an setiap hari, sekarang menjadi kadang-kadang. Sedangkan mahasiswa yang berasal dari SMA, SMK merasa tidak ada hal yang spesifik yang menarik mereka untuk meningkatkan religiositas mereka. Mereka yang selama ini jarang salat sunah merasa biasanya saja. Mereka yang selama ini tidak bisa membaca al-Qur’an tetap juga. Mereka yang selama ini hafal ayat Al-Qur’an dangat terbatas ketika salat tetap juga seperti itu tidak bertambah hafalannya. Gejala ini tampaknya cukup mengkhawatirkan dan perlu dikaji lebih lanjut oleh pihak UIN agar ciri khas keIslaman tidak pudar dan terkalahkan oleh perubahan setelah menjadi universitas.

 

Dalam suatu perkuliahan tentang pendidikan di Dunia Islam, ditampilkan bahwa betapa beragamnya pemeluk agama di dunia ini. Islam hanya 23 % saja dari jumlah seluruh penduduk dunia. Dengan kata lain setiap ada empat orang di situ ada satu orang Islam. Merekapun menetap di wilayah tertentu sebagai mayoritas yaitu di Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara di  belahan dunia lain mayoritas non Islam, kalaupun ada umat Islam mereka minoritas disana. Fakta ini menunjukkan bahwa di masa globalisasi saat ini tidak mungkin kita menghindari hidup dalam keraga man tersebut. Dan kunci hidup dalam keragaman bersama orang lain, kita  harus saling menghargai dan saling menghormati agar kerukunan dan kedamaian terjamin.  

 

Demikian juga  paham keagamaan dalam Islam, begitu banyak ragamnya. Bila kita tidak mengetauhi dan memahami kondisi tersebut, kita akan gampang terjebak untuk melihat titik berbedanya, karena itu rawan konflik. Bila ada titik beda, kuncinya  saling hormati dan hargai bukan  saling menyalahkan. Namun bila kita mengambil titik persamaannya maka akan muncul titik temu untuk saling menghargai, saling menghormati dan bekerjasama. 

 

                                                                       HR Bambu Apus 19 Agustus 2020

No comments: