Wednesday, March 18, 2009

Reformasi Kultur Budaya Para Pelaksana Pemerintahan untuk Menciptakan Kualitas Kerja

Makalah pengantar diskusi tokoh-tokoh masyarakat Sumbagsel, 24 Aguistus 2002, jam 10.00 wib, Jakarta. 
Makin lama makin banyak orang memikirkan apa yang akan terjadi seusai masa reformasi ini. Akan berhasilkah reformasi ini, dan berapa lama waktu yang diperlukan, setahun, tiga tahun , lima tahun atau sepuluh tahun. Belum ada yang bias menjawab.Soalnya begitu banyak permasalahan reformasi yang mencakup persoalan politik, pemerintahan, ekonomi, dan bahkan masyarakat sampai kebudayaan. Sebetulnya proses reformasi sudah dimulai, terutama dalam bentuk tuntutan masyarakat, kritik terhadap bermacam-macam aspek politik dan pemerintahan, perdebatan mengenai sistim politik, negara hukum, hak azasi manusia, hubungan antara negara dan masyarakat, dstnya. Kritik dan perdebatan ini, termasuk konflik yang ada, merupakan bahan yang mulai mengarahkan proses reformasi. Sasaran terutama dari pada kritik dan perdebatan sekarang adalah sistim politik, dan tuntutan terutama adalah demokrasi, termasuk sistem pemilihan umum, kepartaian yang bebas dari campurtangan pemerintah, penarikan angkatan bersenjata ke luar dari politik dan pemerintahan, pers yang bebas, dan negara hukum. 

Tuntutan ini semuanya penting sekali, dan tidak akan hilang dari perdebatan politik di Indonesia. Hanya saja, boleh ditanyakan apakah ada yang dilupakan, atau kalau tidak dilupakan, kurang ditonjolkan. Pertanyaan ini muncul karena dalam perdebatan selama ini terlihat bahwa banyak harapan dicurahkan pada reformasi politik -- pemilu, partai, DPR, kepresidenan, ABRI, UUD -- padahal institusi negara dipandang agak sepi, kurang diperhatikan. Yang dimaksudkan dengan "institusi negara" disini, adalah lembaga-lembaga pemerintahan seperti birokrasi umum, baik nasional maupun daerah, sistem peradilan, dan lembaga-lembaga negara yang setiap hari bertugas mengurusi keperluan warga negara-- pokoknya, lembaga-lembaga birokratif sebuah negara hukum. Reformasi politik dan reformasi institusi negara sangat berhubungan satu sama lain, tetapi dapat dipisahkan secara analitis sebagai persoalan yang berlainan, dan karena itu bisa diperdebatkan apakah yang satu atau yang lain, yang semestinya diprioritaskan. Para reformis sekarang mendahulukan reformasi politik. Tendensi ini dapat dimengerti dan masuk akal karena keruwetan sistim politik dan permainan pimpinan negara. Akan tetapi, mungkin ada gunanya kalau mempertimbangkan strategi lain, yang tidak mengesampingkan pembaharuan sistim politik, tetapi lebih banyak memperhatikan pembaharuan institusi negara. Karena hasil yang terakhir ini sangat penting juga dan bisa menuju ke reformasi politik secara tidak langsung. Lembaga-lembaga yang sehat, proses hukum yang cukup kuat dan berwibawa, merupakan landasan negara yang sehat, yang merupakan sine qua non daripada proses politik yang sehat. Tanpa syarat ini, belum tentu demokratisasi dan perbaikan ekonomi bisa berhasil. Keberhasilan ini amat tergantung pada institusi negara yang jujur, efisien, dan dipercayai masyarakat. Hingga kini birokrasi umum dan sistim hukum masih dianggap menjengkelkan Karena bukan hanya disebabkan oleh permainan politik pemerintah melainkan juga oleh kebobrokan administrasi negara. Malah dapat dikatakan bahwa pemerintah sekarang bisa sedikit banyak memadamkan kemarahan rakyat dari bawah sampai keatas kalau administrasinya lebih baik. (Hanya saja, secara realistis, kalau administrasi negara lebih baik, pimpinan tidak akan bisa "main" seperti sekarang.) Dari pengalaman ini dapat ditarik semacam prinsip: kalau terjadi kekacauan politik – yang mungkin selalu terjadi - administrasi negara seharusnya bisa jalan terus dan bertanggung-jawab, tanpa terpengaruh oleh permainan elite politik. Paling sedikit, kehidupan sehari-hari yang tergantung pada pelayanan pemerintah harus terjamin dalam keadaan dan goncangan apapun. 

Administrasi negara tidak banyak diperhatikan sejak akhir jaman kolonial, terkecuali untuk kepentingan politik pimpinan negara. Sebab utamanya adalah konsentrasi kekuatan politik pada pimpinan, yang secara sadar memakai birokrasi untuk tujuan politik. Soalnya sekarang, bagaimana melepaskan birokrasi (termasuk pengadilan) dari ikatan langsung dengan pimpinan politik-- dengan pengertian bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mungkin lepas sama sekali dari pengaruh politik, tetapi relatif bisa dan harus, karena salah satu tugas institusi-institusi negara adalah untuk menjamin kepentingan masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan oleh pimpinan politik yang kurang bertanggung jawab. Ini bukan soal "kultur" melainkan soal power, kekuatan politik, dan ideologi, yang sering sedikit banyak berhubungan dengan kepentingan. Perlu ditekankan, bahwa yang bertanggung jawab atas korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kerakusan, kolusi dan seterusnya bukan "budaya" yang selalu dapat ditafsirkan semaunya saja. Yang bertanggung jawab adalah orang -- pemimpin dan pejabat pemerintah - yang memanfaatkan kedudukannya untuk diri sendiri atau kalangannya. Soalnya bukan pimpinan orba, orla atau reformasi, korup atau bersih, "kolot" atau "moderen," mulim non muslim berpihak ini atau itu, karena pimpinan siapa pun saja mampu untuk menyalahgunakan kekuasaannya. 

Mencapai tujuan reformasi untuk memberdayakan institusi negara tidak gampang dan selalu makan waktu. Di Indonesia sekarang ada cukup banyak sokongan buat reformasi birokrasi dan pengadilan. Akan tetapi, perdebatan mengenai reformasi birokrasi tidak selalu mengemuka karena tertutup isu politik yang lebih menonjol. Suatu contoh yang masih menjadi sorotan hangat soal pengadilan, yang selama setahun terakhir ini menimbulkan banyak kehebohan. Sudah lama diketahui bahwa pengadilan, dari bawah sampai keatas, dicekam oleh wabah korupsi, kolusi, dan kerelaan untuk patuh pada kemauan pimpinan politik. Tetapi pada umumnya pemikiran reformasi yang muncul adalah perbaikan system peradilan yang dianggap masih warisan kolonial. Sekarang ada Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru, tapi karena pengadilan masih gaya lama, yang merosot lagi kemandiriannya, hukum acara yang diperbaiki itu tidak berpengaruh banyak dalam menegakan wibawa hukum. Apakah ada solusi lain? Semestinya ya, asal ada keberanian untuk meninggalkan tradisi dan sedikit keberanian untuk bereksperimen--untuk mengadopsi sesuatu yang berguna dan cocok, walau mungkin sama sekali berlainan.Banyak konsep perubahan birokrasi yang telah dibicarakan. Salah satunya berikut ini:
Sumber: • David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Governement, Addison – Wesley Publishing Company Inc,1992 • Gifford and Pinchot, Elizabeth, The end of Bureaucracy and The Rise of The Inteligent Organization, San Fransisco: Barret – Koehler Publishers, 1993 • Fredickson, George, the Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey Bass, 1997 • David Osborne and Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy (the five strategies for reinventing governement, Addison-Wesley Publishing Company, Inc, 1997 • Daniel S. Lev (Univ Washington), Reformasi Politik dan Reformasi Institusi) , makalah. • Safuan Rozi Soebhan, Model Reformasi Birokrasi Indonesia (makalah). Bambuapus, 23 Agustus 2002

No comments: