Tuesday, September 27, 2022

Anatomi Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

Tulisan ini disajikan dalam seminar: " Roundtable discussion tentang madrasah” diselenggarakan oleh INCIS, tanggal 22 juli 2004 di hotel atlet senayan Jakarta. Pernah di muat dalam jurnal Edukasi Sept 2017 dengan judul anatomi Madrasah di Indonesia. ANATOMI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

 

Madrasah: (Anatomi awal dan Perkembangannya)

 Husni Rahim=[1]

A. Selintas Petumbuhan dan Perkembangan Madrasah

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia[2]. Madrasah tersebut telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia, semenjak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk pengajian di rumah-rumah, terus ke mushollah, mesjid dan kebangunan sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini. 

Demikian pula dari segi materi pendidikan, telah terjadi perkembangan dari yang tadinya hanya belajar mengaji al-qur'an kemudian ditambah dengan pelajaran ibadah praktis, terus ke pengajian kitab, lalu ke pengajaran agama di madrasah berupa mata pelajaran tauhid/ akidah, akhlak, fiqh, hadis, tafsir, sejarah Islam  dan bahasa Arab. Kemudian masuk pula pelajaran umum berhitung, ilmu bumi, sejarah dsb. 

Dalam perkembangannya kemudian, banyak madrasah yang mengikuti kurikulum sekolah umum ditambah dengan pelajaran agama (tauhid/ akidah, akhlak, fiqh, hadis, tafsir, sejarah Islam  dan bahasa Arab). Jadilah mereka  sekolah yang berciri khas Islam.

Dari segi jenjang pendidikan, telah terjadi pula perkembangan dari belajar mengaji Quran kejenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian ketika sudah berbentuk madrasah telah pula berjenjang mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (SD), Madrasah Tsanawiyah  (SLTP),dan Madrasah Aliyah (SMU).

Patut diingat bahwa Islam yang masuk ke Indonesia lebih bercorak mistik dan sufistik. Ini sesuai dengan suasana global Islam ketika itu (setelah kejatuhan Bagdad oleh ekspansi Mongol) yang bercorak mistik dan sufistik. Sebagai akibat suasana tersebut, maka di kalangan umat Islam tampak adanya sikap kurang apresiatif pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini tercermin dengan bidang-bidang yang diajarkan di madrasah baru terbatas pada bidang agama semata. 

Masuknya penjajahan Belanda yang membawa sistim pendidikan Barat yang sekuler telah pula membuka mata umat Islam Indonesia, sehingga pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 muncul corak keislaman yang tidak lagi berpusat pada pelajaran agama semata, melainkan berkembang pemikiran untuk memberikan pelajaran umum bagi anak madrasah seperti pelajaran yang didapat disekolah umum (Belanda). 

 

Dari sumber‑sumber yang ada, menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia dipengaruhi secara cukup kuat oleh tradisi madrasah di timur tengah masa modern yang sudah mengajarkan ilmu‑ilmu agama dan umum. Sebelum , abad ke‑20, tradisi pendidikan Islam Indonsia belum mengenal istilah madrasah, kecuali pengajian al‑qur'an di masjid, pesantren, surau, langgar atau tajug. Istilah madrasah baru menjadi fenomena pada awal abad ke‑20 ketika di beberapa wilayah, terutama di Jawa dan Sumatera, berdiri madrasah.

Kesadaran untuk memperbaharui atau modernisasi pendidikan Islam ini, pada tingkat awal, direalisasikan dengan pembentukan lembaga‑lembaga pendidikan Islam modern, yang selain terpengaruh gagasan pembaharuan madrasah di Timur Tengah, juga mengadopsi sistem pendidikan kolonial Belanda. Pemerakarsa pertama dalam hal ini adalah organisasi‑organisasi “modernis" Islam seperti Jami’at Khair, al‑Irsyad, dan Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, pendirian lembaga pendidikan Islam ini menjadi inspirasi bagi hampir semua organisasi dan gerakan Islam, seperti Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), Al‑Washliyah, dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti). Dengan corak masing‑masing yang berbeda. 

Pada awal perkembangan adopsi gagasan modernisasi pendidikan Islam ini, setidaknya ada dua kecenderungan dalam eksperimentasi organisasi‑organisasi Islam di atas. 

Pertama, mengadopsi sistem dan lembaga pendidikan modern (Belanda) secara hampir menyeluruh. Eksperimen ini melahirkan sekolah-­sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam, misalnya terlihat dengan jelas pada perubahan Madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada 1909 menjadi Sekolah Adabiyah (adabiyab sehool) tahun 1915. Hanya terdapat sedikit ciri atau unsur dalam kurikulum sekolah (HIS) Adabiyah yang membedakannya dengan sekolah Belanda. Selain mengadopsi seluruh kurikulum HIS Belanda. Sekolah (HIS) Adabiyah menambahkan pelajaran agama 2 jam sepekan. Selaras dengan itu, Muhammadiyah mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan Belanda secara konsisten dan mcnyeluruh dengan mendirikan sekolah‑sekolah umum model Belanda hanya dengan memasukkan "pendidikan agama" (istilah Muhammadiyah: met de Our’an) ke dalam kurikulumnya. Selain itu, Muhammadiyah juga mencoba bereksperimen dengan sistem dan kelembagaan madrasah modern dengan mcndirikan Madrasah Muallimin dan Madrasah Muallimat. Hanya saja, madrasah yang dikembang­kan Muhammadiyah ini tidak menjadikan sistem dan ke1cmbagaan pendidikan Islam tradisional, apakah surau atau pesantren, sebagai basisnya.

Kedua, munculnya madrasah‑madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Berbeda dengan eksperimen pertama, eksperimen kedua ini justru bertitik tolak dari sistem dan kelembagaan pendidikan Islam itu sendiri. Sistem madrasah, surau, pesantren yang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam indigenous, dimodernisasi  misalnya dengan mengadopsi aspek‑aspek tertentu dari sistem pendidikan modern Belanda, misalnya kandungan kurikulum, teknik dan metodologi pengajaran. Bentuk kedua ini tampak pada eksperimen H. Abdul Karim Amrullah yang pada 1916 menjadikan Surau Jembatan Besi ‑ lembaga pendidikan Islam tradisional Minangkabau ‑ sebagai basis pengembangan madrasah modern, yang kemudian dikenal dengan Sumatera Thawalib. Berbarengan dengan itu, Zainuddin Labay el‑Yunusi mengembangkan "Madrasah Diniyah", yang pada awalnya merupakan "madrasah sore" untuk memberikan pelajaran agama pada murid‑murid sekolah "gubemment”. Prakarsa ini diikuti oleh adiknya, Rangkayo Rahmah el‑Yunusiah yang mendirikaii "Diniah Puteri". Karakteristik yang sama dapat dijumpai pada madrasah‑madrasah yang didirikan oleh Jami’at al-Khair di Jakarta tahun 1905, dan kemudian madrasah yang didirikan organisasi AI‑Irsyad.

Termasuk dalam bentuk ini adalah eksperimen yang dilakukan oleh Pesantren Mambaul Ulum di Surakarta pada­ tahun 1906. Sebagaimana pesantren lainnya, pesantren ini tetap mempunyai basis pada pendidikan dan pengajaran ilmu-­ilmu Islam seperti al‑Qur'an, Hadits, Fiqh, dan Bahasa Arab. Akan tetapi, pesantren ini juga memasukkan pelajaran membaca (tulisan latin), a1jabar, dan berhitung ke dalam. kurikulumnya. 

Rintisan Pesantren Mambaul Ulum. Ini diikuti beberapa pesantren lainnya. Pesantren Tebu Ireng, misalnya, pada tahun 1916 mendirikan "Madrasah Salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga mengajarkan berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis huruf latin. Model ini juga diadopsi oleh Pesantren Rejoso, Jombang yang mendirikan sebuah madrasah pada 1927. 

Respons yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor yang berdiri tahun 1926. Berpijak pada basis sistem dan kelembagaan pesantren, Pondok Modern Gontor memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, mendorong santrinya mempelajari bahasa Inggris – selain bahasa Arab ‑ dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstrakurikuler seperti olahiraga, kesenian dan sebagainya.

Kedua bentuk eksperimen ini pada dasarya terus berlanjut. Satu sisi terdapat sistem dan kelembagaan "pendidikan Islam‑ yang sebenamya pendidikan umum dengan memasukkan aspek‑aspek tertentu pengajaran Islam. Di sisi, lain ada sistem dan kelembagaan "madrasah" yang menitik­ beratkan pengajaran agama ‑ baru kemudian memasukkan pelajaran umum ‑ dengan keragaman corak dan orientasinya. 

Organisasi‑organisasi Islam lain yang bergerak di bidang pendidikan mendirikan madrasah dan sekolah dengan nama, jenisdan jenjang yang bermacam‑macam. Mathlaul Anwar di Menes, Banten mendirikan Madrasah lbtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Diniah. PUI pada tahun 1927 mendirikan Madrasah Diniah, Tsanawiyah dan Madrasah Pertanian. Perti tahun 1928 mendirikan madrasah dengan berbagai nama, di antaranya Madrasah Tarbiyah Islamiah, Madrasah Awaliyah, Tsanawiyah, dan Kuliyah Syariah. Sejak berdiri tahun 1926, NU juga mendirikan Madrasah Awaliyah, lbtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha dan Muallimin Ulya. Sementara di Tapanuli, Medan, Al‑Washliyah (1930) menyelenggarakan Madrasah Tajhiziyah, lbtidaiyah, Tsanawiyah, Qismul 'Ali, dan Tahassus. Di samping itu, ada madrasah yang mengguna­kan nama formal Islam (Kuliah Muallimin Islamiah) didirikan oleh Mahmud Yunus di Padang (1913) dan Islamic College didirikan oleh Pesantren Muslim Indonesia (Permi) tahun 1931.

Menilik latar belakang di atas dapat disimpulkan bahwa proses pertumbuhan madrasah tidak hanya atas dasar semangat pembaharun di kalangan umat Islam. Kelahiran madrasah sesungguhnya juga beralas tumpu pada dua faktor penting; 

Pertama, pendidikan Islam tradisional (surau, masjid, pesantren) dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. 

Kedua, laju perkembang­an sekolah‑sekolah gubememen di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme, sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana. Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya dua pola respons umat Islam yang lebih progresif, tidak semata‑mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh dan berkembang di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin meningkat.

Setelah Indonesia merdeka, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya terus dilanjutkan. .Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BPKIP) sebagai badan legislatif pada waktu itu, dalam maklumatnya tertanggal 22 Desember 1945 (Berita RI Tahun, II No. 4 dan 5 halaman 20 kolom 1), diantaranya menganjurkan, "Dalam memajukan pendidikan dan pengajaran sekurang­-kurangnya diusahakan agar pengajaran di langgar, surau, masjid, dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan". Pada tanggal 27 Desember 1945, sebagai tindak lanjut dari maklumat di atas, BPKNIP menyarankan agar madrasah dan pondok pesantren mendapatkan perhatian dan bantuan materiil dari pemerintah, karena madrasah dan pondok pesantren pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat­ berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya

Perhatian pemerintah RI terhadap madrasah dan pesantren ini semakin terbukti ketika Kementerian Agama resmi berdiri pada 3 Januari 1946. Dalam struktur organisasinya, bagian C adalah bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurus masalah‑masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren). Dalam kabinet Wilopo, tugas Kementerian Agama dalam bidang Pendidikan dan pengajaran di samping kedua hal tersebut, ditambah lagi dengan penyelenggaraan pendidikan guru untuk pengajaran agama di sekolah umum dan pengetahuan umum di perguruan‑perguruan agama.

Oleh karena itu, upaya mengintegrasikan dualisme sistem pendidikan di Indonesia juga menjadi perhatian KH Wahid Hasyini ketika menjabat Menteri Agama tahun 1949‑1952. Langkah yang dilakukan adalah dengan memasukkan tujuh mata pelajaran umum di lingkungan madrasah, yaitu pelajaran membaca menulis (latin), berhitung, bahasa Indonesia, sejarah, ilmu bumi dan olahiraga.  

Namun menarik diamati, perhatian pemerintah yang begitu besar diawal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen agama dan beberapa keputusan BP KNIP, namun ketika undang-undang pendidikan nasional lahir , masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Hal ini berakibat sejak UU no. 4 tahun 1950 diundangkan, madrasah dan pesantren dianggap berada diluar sistem. Oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap  madrasah   

Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan dibawah Menteri Agama. Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan‑muatan agama, meng­gunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pe­merintah.

Usaha‑usaha memasukkan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional tidak sepenuhnya menguntungkan umat Islam dan mendapat tantangan keras dari berbagai kelompok umat Islam.. Dengan menjadi bahagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu‑satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal yang terakhir ini tidak disetujui oleh umat Islam yang lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.

Resistensi umat Islam itu semakin kentara ketika Presiden Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, kemudian diperkuat dengan Ingtruksi Presiden No 15 Tahun 1974, yang isinya dianggap melemahkan dan meng­asingkan madrasah dari pendidikan nasional. Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres itu. sebagai manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah yang sejak zaman penjajahan telah diselenggarakan umat Islam. Situasi ini menandai ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional.

Munculnya reaksi keras umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Berkaitan dengan Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974, pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Kelahiran SKB Tiga Menteri ini memang antara lain untuk mengatasi kekhawatran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongekucnsi Kepres dan Inpres di atas. SKB dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistcm pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB. Tiga Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah yaitu:

1.    Madrasah meliputi tiga tingkatan: MI setingkat dengan SD, MTs setingkat dengan SMP, dan MA setingkat dengan SMA. 

2.    Ijazah madrasah dinilai sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat.

3.    Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas.

4.    Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.

Signifikansi SKB Tiga Menteri ini bagi umat Islam adalah pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa‑siswa~ madrasah yang selama ini terbatas di lembaga‑lembaga pendidikan tradisional. (madrasah dan pesantren), dan berbarengan dengan itu, kedua, membuka peluang kemungkinan anak­-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.

Meskipun demikian, bukan berarti SKB Tiga Menteri ini tanpa masalah. Melalui SKB ini memang, status madrasah disamakan dengan sekolah berikut jenjangnya: MI sejajar dengan SD, MTs sejajar dengan SMP, dan MA sejajar dengan SMA. Dengan SKB ini pula alumni MA dapat melanjutkan ke universitas umum, dan vice versa, alumni SMA dapat melanjutkan studinya ke IAIN. Karena madrasah diakui sejajar dengan sekolah umum, komposisi kurikulum. madrasah harusi sama dengan sekolah, berisi mata‑mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efek penyamaan kurikulum ini adalah bertambahnya beban yang harusi dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah ‑ sebagai lembaga pendidikan Islam ‑ harusi mcnjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik. Namun, dengan penguasaan ilmu‑ilmu agama hanya 30% termasuk bahasa Arab, tidak cukup memadai bagi alumni MA untuk memasuki IAIN, apalagi menjadi calon‑calon ulama.

Fakta inilah yang membuat Prof. Munawir Sadzali, ketika menjadi Menteri Agama (1983‑1993), mengintrodusir – sebagai solusi terhadap apa yang disebutnya "krisis ulama" Aliyah altematif yang dinamakan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan komposisi kurikulum 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum plus pengajaran bahasa (Arab dan Inggris) secara intengif. Dengan program ini input IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi menjadi support bagi kemunculan calon‑calon ulama. Dilihat dari sisi ini, kehadran MAPK sejatinya adalah bentuk respon positif‑progresif madrasah terhadap tantangan yang dihadapi.

B. Integrasi Madrasah dalam Sistem Pendidikan Nasional 

Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional menemukan momentumnya pada akhir dekade 1980‑an ketika pemerintah mengesahkan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). 

Implikasi penting UUSPN terhadap pendidikan madrasah dapat diamati pada kurikulum dan semua jenjang madrasah,, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah hingga Aliyah. Secara umum penjenjangan itu paralel dengan penjenjangan pada pendidikan sekolah, mulai SD, SLTP hingga, SMU. Kurikulum madrasah juga sama dengan sekolah, dengan pengekecualian mata pelajaran agama yang lebih banyak.

Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK Mendikbud No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang‑kurangnya sama dengan "SD/SITP. SK‑SK ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun‑ 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK Mendikbud Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMU berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SLTP/SMU selain ciri khas agama Islamnya.

Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti pe­nyelenggaraan dan pengelolaan madrasah oleh Departemen Pendidikan Kebudayaan (sekarang Depdiknas), tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Pada kenyataannya, dan segi kurikulum, pengetahuan umum yang diajarkan di madrasah sama dengan sekolah umum. Kenyataannya beban kurikulum yang berat bagi madrasah yang m,enerapkan kurikulum sekolah 100%  ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas.  Hal ini tampaknya berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih berat disbanding dengan beban belajar anak sekolah, padahal kondisi fasilitas dan latar belakang anak cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah, malahan sering dianggap sekolah kelas dua.  Jadi yang membedakan madrasah dengan sekolah umum sekarang bukan lagi pada bobot pengetahuan umumnya tapi pada kualitas dan ciri khas yang ditampilkan oleh visi dan misi madrasah. Apakah visi madrasah itu? 

 

 

C. Keunikan Madrasah 

Keunikan madrasah diawali dengan hampir terbesar jumlah madrasah adalah milik swasta. Berbeda halnya dengan sekolah di lingkungan Dikbud. Pada tingkat sekolah dasar, jumlah madrasah negeri hanya 4,8% dibanding dengan madrasah swasta yang berjumlah 95,2%. Keadaan ini terbalik dengan Sekolah Dasar Negeri (SD) berjumlah 93,11% dan Sekolah Dasar Swasta 6,89%. Pada tingkat SLTP, keadaanya tidak jauh berbeda. Jumlah Madrasah Tsanawiyah negeri 24,3% dan Madrasah Tsanawiyah Swasta 75,7% sedangkan di Dikbud, SLTP Negeri 44,9% berbanding 55,9% Sekolah Swasta. Hal yang sama pada tingkat SMU, dimana jumlah Madrasah Aliyah Negeri sebanyak 30% dan Madrasah Aliyah Swasta berjumlah 70%. Di Dikbud keadaannya serupa, SMU Negeri 30,5% dan SMU Swasta berjumlah 69,4%. Keadaan ini menunjukkan dunia madrasah merupakan milik masyarakat.

Madrasah tumbuh dan berkembang dari masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang membentuk, membina dan mengembangkannya. Oleh karena itu dari segi kuantitas perkembangannya sangat pesat, namun dari segi kualitas perkembangnnya sangat lambat. Ini mungkin konsekuensi madrasah yang bersifat populis yang selalu cendrung memekar dan belum sempat mendalam.

Keterikatan masyarakat terhadap madrasah sepanjang sejarah pendidikan Islam di Indonesia lebih ditampakkan sebagai "ikatan emosional" yang tinggi. Ikatan ini muncul karena bertemunya dua kepentingan yaitu pertama; hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperanserta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya) dan kedua; motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mendapat pendidikan agama yang cukup) di samping pendidikan umum. Kuatnya ikatan emosional masyarakat ini telah menyebabkan madrasah menjadi lebih masif, lebih populis dan lebih mencerminkan suatu gerakan masyarakat--karena itu madrasah lebih banyak di pedesaan dan daerah pinggiran--, lebih dimotivasi secara intrinsik bahwa belajar itu sebagai suatu kewajiban (lihat beberapa Hadis), dan lebih tanpa pamrih atau dengan kata lain Lillahi Ta'allah. Motivasi agama ini didukung pula oleh ajaran wakaf yang memberi  dorongan bahwa tanah/sarana yang telah diwakafkan akan terus mengalir amalnya, walaupun yang bersangkutan tlahmeninggal dunia.- hampir seluruh tanah madrasah adalah wakaf. Keterikatan emosional ini disatu sisi merupakan potensi dan kekuatan bagi madrasah dalam arti rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggungjawab (sense of responsbility) masyarakat yang tinggi. 

Hal ini juga dapat menjadi faktor penting  untuk menjamin sustainabilitas (kelangsungan hidup) madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan yang populis.Tapi di pihak lain, ia dapat menjadi kendala. Karena merasa sebagai pemilik dan sebagai pendiri yang membina madrasah semenjak awal, sebagian masyarakat mungkin tidak akan begitu mudah menerima ide-ide reformasi yang diluncurkan dari atas, kecuali dalam keadaan terdesak-- misalnya masyarakat dan/atau yayasan merasa tidak mampu lagi membina sekolah dengan baik karena keterbatasan sumber daya dan kemampuan manajemen. Dengan kata lain setiap usaha reformasi madrasah akan berjalan lamban.

 

 

Hal lain yang menarik dari madrasah bahwa jumlah siswa perempuan lebih banyak dari siswa laki-laki. Keadaan terbalik pada sekolah umum, siswa laki-laki lebih banyak dari siswa perempuan. Pada madrasah Ibtidaiyah, jumlah murid perempuan 52% dan murid laki-laki 48%, sedangkan di Sekolah Dasar, murid perempuan 48% dan murid laki-laki 52%. Pada tingkat Tsanawiyah, jumlah murid perempuan 53% dan murid laki-laki 47%, sedangkan murid perempuan di SLTP 45% dan murid laki-laki 55%. Demikian pula pada tingkat Aliyah. Murid perempuan 55% dan laki-laki 45%. Keadaan ini berbeda dengan di Dikbud yang murid laki-lakinya 53% dan murid perempuan 47%. 

Keadaan ini memberi makna (berdasarkan wawancara konsultan ADB dan  BEP dengan para orang tua) bahwa orang tua yang menyekolahkan anak perempuannya di madrasah merasa "aman" dalam arti "moral". Ini memberi petunjuk dalam pandangan para orang tua madrasah masih dianggap sebagai "benteng moral". Namun sayangnya madrasah belum menjanjikan peluang yang lebih luas untuk lapangan kerja. Banyaknya murid wanita pada madrasah dilatarbelakangi oleh pandangan sosiologis masyarakat Islam Indonesia bahwa tugas utama wanita adalah sebagai ibu rumah tangga, yang diharapkan mempunyai jiwa keagamaan yang cukup memadai sehingga mampu membina rumah tangga dengan baik dan mendidik anak-anak dengan baik pula. Dengan kata lain anak wanita yang sekolah di madrasah akhlaknya/moralnya dianggap akan lebih baik dari yang di sekolah umum. 

Hal yang sebaliknya terhadap anak laki-laki, di mana anak laki-laki diharapkan menjadi kepala rumah tangga yang bertanggungjawab terhadap nafkah keluarga, maka memerlukan pendidikan umum yang memudahkan ia mencari pekerjaan. Dengan demikian menurut persepsi masyrakat, bahwa madrasah mempunyai kelebihan dalam bidang pendidikan akhlak/moral, namun lemah dalam bidang pengetahuan umum dan sebaliknya sekolah umum mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu pengetahuan umum sebagai bekal mencari nafkah, namun lemah dalam pembinaan akhlak/moral. Berdasarkan alasan itu, maka para orang tua lebih menyukai anak laki-lakinya sekolah ke sekolah umum dengan alasan melalui sekolah umum, dimana pelajaran umumnya lebih banyak dan kualitasnya lebih baik, maka lapangan kerja lebih terbuka dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi juga lebih memungkinkan. Kenyataan ini menjadi tantangan madrasah untuk meningkatkan kualitas bidang studi umum dengan tetap mempertahankan kekuatannya sebagai “benteng moral” sebagai ciri khas madrasah.

Keunikan lain dari madrasah adalah lokasi madrasah yang kebanyakan berada di daerah pinggiran, pedesaan, daerah terpencil, daerah IDT. Ini sesuai dengan akar sejarah madrasah yang lahir dari inisiatif masyarakat di mana mereka tidak mampu mengirim anak-anak mereka ke sekolah yang letaknya jauh dan sekolah dengan bayaran “mahal”. Juga karena faktor ekonomis di mana anak harus membantu orang tua dalam mencari nafkah (dalam hal ini madrasah memberi alternatif pendidikan sore/malam).

Madrasah berdiri biasanya, di mana tidak ada sekolah umum milik Dikbud di daerah itu (Oleh karena itu ketika pemerintah melalui program INPRES SD mendirikan hampir di seluruh daerah dimana madrasah telah ada, menimbulkan dilema baru bagi orang tua dan berakibat di beberapa daerah madrasahnya mati dan di beberapa daerah lainnya SD Inpresnya yang tutup). Sebagai konsekuensi madrasah yang menerima murid dari kalangan rakyat bawah, maka hampir saeluruh madrasah hanya memungut bayaran sekolah “sekedarnya”.  Malah kadang-kadang cukup dibayar dengan singkong, pepaya dan sejenisnya..

Dana yang dapat dikumpulkan masyarakat muslim dalam pengembangan madrasah sangat terbatas, sementara biaya pendidikan semakin mahal, sehingga tuntutan untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan madrasah ketinggalan terus. Pada umumnya madrasah swasta berada dalam keadaan serba kekurangan karena menampung siswa-siswa dari keluarga ekonomi lemah. Akibatnya biaya untuk menunjang proses belajar mengajar dengan menggunakan berbagai fasilitas dan teknologi tidak dapat dilaksanakan. Ini pula yang menyebabkan kualitas siswa madrasah tetap tertinggal.

Keunikan lain adanya keanekaragaman madrasah baik dari segi jenis pendidikan, penyebaran maupun kualitasnya. Keanekaragaman madrasah tampak dalam berbagai program yang muncul seperti pada madrasah aliyah ada program keagamaan, program ketrampilan, program kejuruan di samping madrasah dengan program sekolah umum yang berciri khas Islam. Dari aspek penyelenggara, maka ada madrasah yang bernaung dalam organisasi keagamaan seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Tarbiyah Islamiyah dan lain-lain. Juga ada yang merupakan milik keluarga, milik perorangan atau yayasan. Juga ada yang menjadi bagian dari pondok pesantren. Dari aspek kualitas sangat beragam pula,  dari yang berkualitas sekedarnya sampai yang berkualitas unggul.

 

D. Arah pengembangan madrasah

Salah satu cita‑cita umat Islam Indonesia yang sering dikumandangkan oleh para pemimpin umat menjelang kemerdekaan ataupun setelah kemerdekaan adalah adanya lembaga pendidikan yang mampu menyiapkan "calon ulama yang cendekia dan cendekia yang ulama" dengan istilah lain menyiapkan. anak didik yang dapat memadukan iptek dan imtak. 

Keinginan ini, kini mendapat peluang yang sangat besar, lebih‑lebih dengan telah diundangkannya Undang‑Undang Sistem Pendidikan Nasional berikut Peraturan Pernerintah dan perundangan lainnya yang mengakui "madrasah sebagai sekolah umum. yang berciri khas Islam". Kurikulum madrasah adalah sama persis dengan kurikulum sekolah umum, plus ciri      khas keislamannya. Peluang telah terbuka, tinggal mampukah kita untuk mewujudkan madrasah yang setara dengan sekolah umum namun dengan nilai plus keislaman ?. Dengan kata lain madrasah mempersiapkan anak didiknya mampu dalam sains dan teknologi, tetapi tetap dengan identitas keislaman. Bila ini dapat diwujudkan, maka bukan mustahil madrasah akan menjadi "sekolah unggul",  seperti yang banyak diidamkan orang.

Dengan ungkapan lain, madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam yang mampu memadukan kekuatan iptek dan irmak. Nilai plus madrasah berupa pendidikan keimanan yang menekankan kepada kepekaan hati dan          keta aman akal, sehingga tidak kaku dan intoleransi, tetap akrab dan ramah dengan lingkungan disamping pendidikan umumnya berkualitas. Arah pengembangan madrasah adalah memperkuat dan memberi makna terhadap pengakuan bahwa madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam.

Berdasarkan harapan dan kenyataan tersebut maka visi madrasah ke depan yang sesuai dengan khittah awalnya  adalah  populis, islami dan berkualitas. Visi ini merupakan gambaran yang diinginkan terhadap madrasah  berdasarkan potensi, semangat  keagamaan dan historis lahirnya madrasah di Indonesia.

Populis merupakan gambaran bahwa madrasah itu lahir dan dibesarkan oleh masyarakat. Hampir seluruh madrasah muncul atas inisiatif masyarakat yang peduli dengan anak di sekitarnya yang memerlukan pendidikan. Memang pada awalnya dimulai dengan kebutuhan pendidikan agama tingkat dasar seperti belajar mengaji, belajar shalat , mendoa dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan munculnya dan berkembangya Islam di daerah tersebut. Keadaan ini pula yang menyebabkan jumlah madrasah berkembang dengan pesat dari segi kuantitatif, namun sangat lamban perkembangannya dari segi kualitas. Ini mungkin konsekuensi  madrasah yang bersifat populis yang selalu cenderung memekar dan belum sempat mendalam[3] Populis dalam visi ini ingin mengembalikan posisi bahwa madrasah itu milik masyarakat, karena itu tidak boleh menjadi “eklusif”  atau “menara gading”, tapi tetap mencerminkan keberpihakan kepada masyarakat . 

Islami, mencerminkan pendidikan madrasah sebagai  lembaga pendidikan yang suasana dan kehidupan para peserta didik, pendidik dan para penghuni lainnya mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Ciri Islami ini tercermin baik dalam kurikulum, aktifitas madrasah, pola tingkah laku penghuni madrasah, dan suasana lingkungan  madrasah . Secara formal  ciri khas madrasah dinyatakan dalam kurikulum dalam mata pelajaran agama di madrasah [4]. Di samping itu ciri khas Islami tersebut dituangkan pula dalam : 

1.    Program mafikib[5] dengan nuansa Islam, 

Program mafikib dengan nuansa Islam dimaksudkan menjembatani kekurang akraban dan kekurang tertarikan madrasah di Indonesia dengan bidang studi matematika, fisika, kimia, biologi dan bahasa Inggeris. Padahal di masa kemajuan Islam , ilmu tersebut diperkenalkan dan dikembangkan oleh ilmuwan Islam[6] Bidang studi mafikib berdasarkan kurikulum 1994 dirasakan sukar bagi kebanyakan guru madrasah dan pondok pesantren untuk mengajarkannya dan juga dirasakan sulit oleb para siswa. Padahal bidang studi mafikib merupakan aspek pendidikan yang sangat dominan dalam meningkatkan kernampuan nalar dan analisis siswa dalam mempelajarl dan mengembangkan iptek. Kekurang akraban madrasah di Indonesia dengan bidang studi umum (mafikib) tersebut merupakan warisan sejarah Islam di Indonesia. Seperti disebutkan di pendahuluan bahwa Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia adalah Islam yang bercorak mistik dan sufistik yang lebih mementingkan agama dari pada dunia. Oleh karena itu lembaga  pendidikan madrasahpun hanya mengajarkan agama. Masuknya Belanda dengan membawa sistem sekolah yang memberikan pelajaran umum (sekuler), telah memunculkan dan mempertajam dikhotomi sekolah umum dan sekolah agama (madrasah). Lebih‑lebih karena madrasah dikenal sebagai benteng‑benteng perlawanan terhadap Belanda. Keadaan ini merupakan salah satu penyebab kekurang tertarikan madrasah terhadap bidang mafikib. Ditambah lagi faktor guru yang mengajar mafikib di madrasah kurang berkualitas. Ini pula penyebab murid‑murid madrasah kurang tertarik , malah menganggap pelajaran mafikib adalah "sulit dan berat”[7]

2.    program pelajaran agama dengan nuansa iptek[8]

 Program memberikan nuansa iptek dalam bidang studi agama merupakan kelanjutan dari program mafikib dengan nuansa Islam. Melalui program ini dilakukan pula upaya menjembatani pernaduan ilmu agama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena bagaimanapun juga teknologi dapat membantu pengamalan beragama. Bila upaya mafikib dengan nuansa agama dan bidang studi agama dengan nuansa iptek dapat berhasil, diharapkan tidak ada lagi kesan dikhotomi antara pelajaran agama dan umurn ataupun dualisme antara sekolah dan madrasah dalam sistem pendidikan di Indonesia yang sering diperdebatkan. Pemaduan konsep mafikib dengan nuansa agama dan konsep agama dengan nuansa iptek dimaksudkan agar dapat diserapnya nilai‑mlai mafikib yang agamis dan nilai‑nilal agama yang kontekstual dalam perilaku siswa, sebagai wujud penghayatan terhadap keagungan Allah Swt.

3.    program penciptaan suasana keagamaan di madrasah [9]

Penciptaan suasana keagamaan di madrasah tidak terbatas dalam bidang proses belajar mengajar, tetapi juga dalam bidang‑bidang lain baik fisik dan sarana bangunan, maupun dalam pergaulan dan pakaian. Suasana keagamaan ini dapat pula berupa simbol dan kegiatan[10] Namun suasana keagamaan ini tidak perlu seragam, namun diserahkan pada masing‑masing sekolah berdasarkan pertimbangan daerah masing‑masing.

Menghadapi abad ke‑21 bagi madrasah, harus diawali dengan tekad untuk mewujudkan madrasah sebagai "sekolah unggul" yang mampu memadukan kekuatan iptek dan imtak. Nilai plus madrasah berupa pendidikan keimanan yang menekankan kepekaan hati dan ket4jaman akal. sehingga tidak kaku dan intoleransi, tetapi akrab dan dan ramah dengan  linakungan tetap dipetahankan, bahkan terus ditingkatkan. Di samping itu peningkatan  kualitas bidang studi umum yang akan meningkatkan kemampuan nalar dan analisis siswa dalam mengembangkan iptek terus digalakkan.

Kecenderungan baru terutama di kota besar, madrasah yang berkualitas menjadi pilihan yang menarik bagi para orang tua. Tantangan kita bagaimana untuk menjadikan madrasah tersebut berkualitas sehingga menarik masyarakat untuk memasukan anaknya ke madrasah. Perlu kita ingat bahwa dengan makin kuatnya tuntutan akan mutu, maka madrasah   yang hanya berjalan apa adanya dan tanpa disertai komitmen terhadap mutu dan keunggulan, setahap derm setahap akan ditinggalkan orang.

Berkualitas atau dengan kata lain “berorientasi pada mutu”,  dicerminkan pada kegiatan dan nilai akademik yang diperoleh madrasah tersebut. Baik yang dapat dan dilihat dari  hasil belajar siswa berupa nilai pada ulangan, kenaikan kelas, ujian akhir (NEM) maupun ujian masuk perguruam tinggi (UMPTN). Berkualitas ini tampak pula dengan banyaknya prestasi yang dicapai oleh siswa madrasah , baik dalam bidang  seni, bahasa, komputer, olahraga , ketrampilan dan lain-lain .  Sisi lain dari berkualitas  adalah kemampuan siswa dan lulusan madrasah masuk dan bersaing dalam dunia global.

Di samping tiga visi utama madrasah seperti yang telah diuraikan diatas, madrasah sangat menghargai keragaman bentuk dan jelis pendidikan. Karakter keragaman pada madrasah menunjukkan adanya fieksibilitas dalam pelaksaaan pendidikan. Praktek penyeragaman yang terjadi selama tiga dekade terakhir disadari telah mematikan kreatifitas pengelolaan dan pengembagan madrasah. Hal ini sekaligus bertentangan dengan watak populis yang meniscayakan adanya lembaga, model, dan pendekatan pendidikan yang bervariasi sesuai dengan kompleksitas masyarakat. Pemerintah hendaknya membiarkan tumbuh dan berkembangnya aneka ragam lembaga pedidikan Islam, mulai dari pesantren, madrasah, majelis taklim, sampai dengan kelompok kajian usra. Dalam waktu yang bersamaan, setiap lembaga pendidikan Islam hendaknya juga dibiarkan berkembang dalam keanekaragaman tipe, mulai dari madrasah‑umum, madrasah kejuruan, madrasah keagamaan, sampai dengan madrasah model. Sementara itu, dalam proses pembelajarannya, pendidikan Islam dapat mengembangkan berbagai strategi yang menjamin effektifitas pedidikan. Pola pendekatan yang tuggal akan menimbulkan kejenuhan siswa dalam belajar.

Secara formal cirl     khas madrasah dinyatakan di kurikulum dalam bentuk mata pelajaran agama. Di mana kurikulum agama pada madrasah lebih banyak dibanding dengan pelajaran agama di sekolah. Pada tingkat SD pelajaran agama 2 jam, maka pada MI menjadi 4 s/d 7 jam dan pada MTs dan      MA menjadi 9 jam[11]Untuk menjabarkan misi madrasah yang telah disebutkan dimuka, tidak cukup hanya ciri formal dalam kurikulum, karena itu ditetapkan tiga program utama  yaitu pertama program mafikib[12] dengan nuansa Islam; keduaprogram pelajaran agama dengan nuansa iptek dan ketiga, program penciptaan suasana keagamaan di madrasah.

Bagaimanapun upaya peningkatan mutu madrasah, madrasah harus tetap berpegang teguh pada ciri khasnya sebagai sekolah Islam. Jangan sampai karena mengejar mutu, lupa ciri  khas yang merupakan kekuatan utama untuk berkompetisi.

 

Madrasah Negeri

Ketika Departernen Agama didirikan, salah satu tugas Bagian Pendidikan adalah mengadakan suatu "pilot project" sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang‑orang atau organisasi yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta). Tugas ini mengandung maksud sekolah agama (madrasah) milik pernerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh bagi pihak swasta dalam mengelola pendidikan agama yang bagus dan profesional. Oleh kareena itu pendirian madrasah negeri merupakan sisi lain dari bentuk bantuan dan pernbinaan terhadap madrasah swasta.

Bentuk pertama dari pembinaan terhadap madrasah dan pesantren setelah Indonesia merdeka adalah seperti yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1946, tanggal 19 Desernber 1946 tentang pemberian bantuan madrasah[13]. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa madrasah adalah  tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya (Iihat penjelasan pasal I peraturan tersebut).  Peraturan tersebut mencanturnkan pula ketentuan bahwa dalam madrasah itu. hendaknya diajarkan juga. pengetahuan umum setidak‑tidaknya: a) bahasa Indonesia, berhitung dan membaca serta menulis dengan huruf latin di madrasah tingkat rendah, b) ditambah dengan ilmu‑ilmu tentang bumi, sejarah, kesehatan tumbuh‑tumbuhan dan alam di madrasah lanjutan. Jumlah jam pengajaran untuk pengetahuan umum sekurang­kurangnya 1/3 dari jun‑dah jam pengajaran seluruhnya.

Ketentuan untuk mengajarkan pengetahuan umum. 1/3 dari seluruh jam pengajaran dilatarbelakangi oleh saran Panitia Penyelidik Pengajaran yang mengamati bahwa di madrasah­-madrasah jarang sekali diajarkan pengetahuan umum vang sangat berguna bagi kehidupan sehari‑hari. Kekurangan pengetahuan umum akan menyebabkan orang mudah diombang‑ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran kurang luas.

Madrasah negeri hadir setelah kemerdekaan, ini sesuai dengan keputusan BPKNIP tanggal 2 Juli 1946 bahwa pernerintah harus membantu dan mendorong lembaga pendidikan Islam yang telah ada agar berkualitas. Salah satu bentuk bantuan adalah dengan mendirikan madrasah negeri sebagi percontohan. Oleh karena itu misi dari madrasah negeri adalah pertama sebagai percomohan, karena itu madrasah negeri harus berkualitas dan baik. Kemudian misi kedua, membantu dan mendorong madrasah swasta untuk menjadi baik dan berkualitas seperti madrasah negeri paling tidak.  

Madrasah lbtidaiyah Negeri sebagian besar berasal dari madrasah‑madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh, Lampung dan Surakarta. Sejak tahun 1946 ada 205 Sekolah Rendah Islam yang diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh yang dengan Ketetapan Menteri Agama no. I tahun 1959, pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Kementerian Agama dan namanya diubah menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI). Kernudian melalui Keputusan Menteri Agama No.104 tahun 1962 diubah namanya menjadi Madrasah lbtidaiyah 11.1egeri (MIN). Hal yang sama terjadi di karesidenan Lampung. Sebanyak 19 SRI berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 2 tahun 1959. Di Karesidenan Surakarta sebanyak 11 SRI dengan Penetapan Menteri Agama no. 12 tahun 1959. Sejak tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta berdasarkan Penetapan Menteri Agama no. 80 tahtui 1967. Kesempatan penegerian itu kemudian dihentikan pada tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.813/ 1970, ketika itu jumlah MIN sudah mencapai 358 buah.

Madrasah Tsanawiyah, seperti haInya Madrasah lbtidaiyah, juga kebanyakan berstatus swasta. Madrasah Tsanawiyah negeri baru mulai didirikan pada tahun 1967. Penegerian Madrasah Tsanawiyah ini semula dimaksudkan sebagai model bagi madrasah swasta. Sampai tahun 1970 Madrasah Tsanawiyah Negeri yang disingkat (M.Ts.A.I.N) telah be~un‑dah 182 buah dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Setelah restrukturisasi dan relokasi berdasarkan Keputusan Menteri Agama no. 15,16 dan 17 tahun 1978, singkatan Madrasah Tsanawiyah Negeri dari M.Ts.A.I.N diubah menjadi MTsN dan jun‑dahnya menjadi 470 buah. Jun‑dah tersebut hingga saat ini (1988) masih tetap.

Madrasah Aliyah Negeri pertama kali didirikan melalui proses penegerian seperti halnya Madrasah Tsanawiyah Negeri berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 80 tahun 1967. Dalam keputusan itu disebutkan penegerian Madrasah Aliyah AI‑Islam Surakarta, Madrasah Aliyah di Magetan Jawa Timur, dan Madrasah Aliyah Palangki di Surnatera Barat. 

Proses penegerian berjalan terus sampai dikeluarkannya Keputusan Menteri Agama No. 213 tahun 1970 yang mengatur penghentian penegerian sekolah madrasah swasta dan pendirian sekolah‑sekolah/madrasah negeri dalam lingkungan Departemen Agama. Sampai tahun 1970 jumlah Madrasah Aliyah Negeri sebanyak 43 buah. Singkatan Madrasan Ahyah Negeri pada mulanya M.A.A.I.N kemudian diubah menjadi MAN berdasarkan Keputusan Menteri Agama no. 15, 16 dan 17 tahun 1978. Pertumbuhan madrasah negeri yang berasal dari penegerian madrasah swasta, berakibat ketidakseirnbangan baik dari segi jumlah maupun dari segi lokasi antar propinsi (lihat lampiran). 

 

Madrasah Wajib Belajar (MWB)

Prestasi besar yang pernah dilaksanakan Departemen Agama dalam penyelenggaraan madrasah adalah mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB) sebagai upaya memodernkan madrasah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. MWB ini mencoba menjabarkan ide dalam UU No. 4 tahun 1950 (Undang‑Undang Pendidikan), pasal 10 ayat 2 yang berbunyi "belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar..” MWB mulai diperkenalkan pada tahun ajaran 1958/1959. Pendirian MWB ini diarahkan pada penyiapan siswa untuk membantu kehidupan masyarakat agar dapat meningkatkan tarap kehidupan mereka dengan tetap mempunyai kemampuan dalam pengamalan agama termasuk memimpin aktifitas keagamaan di masyarakat.

Lama belajar MWB 8 tahun dengan pertimbangan bahwa pada umur 6 tahun anak sudah wajib sekolah dan setelah umur 15 tahun diizinkan mencari nafkah. Porsi pendidikan agama dalam MWB hanya 25%, sedangkan sisanya 75% berisi pengetahuan umum. Di sampoing itu mulai kelas 5 sampai kelas 8  anak tidak hanya dididik pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tetapi juga ketrampilan untuk mendukung kesiapan anak didik untuk berproduksi atau bertransmigrasi dengan swadaya dan ketrampilan yang diperoleh di MWB. Hal ini karena kebanyakan murid madrasah berasal dari keluarga petani dan pedagang.

Sayang sekali MWB ini dalam pelaksanaannya tidak mudah apalagi setelah bantuan kepada madrasah berangsur‑angsur berkurang dan akhirnya pada tahun 1970, MWB  terhenti sama sekali. 

Madrasah Terpadu

Madrasah terpadu adalah diselenggarakan dimana ada MI, MTS dan MA yang berada dalam satu lokasi sebagai satu kesatuan sekolah. Dengan demikian seluruh aspek, baik kurikulum, proses belajar mengajar (PBM), perpustakaan, guru, fasilitas pendidikan dapat dipadukan sebagai satu kesatuan yang berkesinambungan satu sama lain.

Konsep madrasah terpadu ini bukanlah konsep yang berdiri sendiri, tetapi merupakan konsep pendukung yang  diintegrasikan dengan konsep madrasah model dan  madrasah unggul. Dengan demikian akan terjadi sinergi yang kuat dalam mewujudkan madrasah berkualitas yang Islami. Bukankah madrasah yang dinilai masyarakat “berkualitas dan Islami” selalu diperebutkan masyarakat dari berbagai kalangan? 

Yang diinginkan dari konsep madrasah terpadu adalah: Mensinergikan berbagai potensi kekuatan madrasah (MIN,MTsN dan MAN) yang berada di satu lokasi untuk saling membantu dan mengisi kekuatan dan kelemahan masing-masing menjadi satu kekuatan yang mendorong dan mempercepat peningkatan kualitas madrasah yang Islami. Melahirkan keterpaduan kualitas yang merata antara ketiga jenis dan jenjang madrasah tersebut, sehingga memiliki daya tarik yang sama kuatnya dari masyarakat peminat madrasah.

Memiliki konsep kurikulum yang terpadu diantara ketiga jenjang madrasah, sehingga ketiganya merupakan pendidikan terpadu menuju madrasah 12 tahun (madrasah dengan tingkatan kelas 1 sampai dengan kelas 12). Memiliki manajemen terpadu yang mencakup struktur organisasi/ kelembagaan, arah pengembangan, pendanaan yang mendukung  dll.        

Visi madrasah Terpadu; memposisikan madrasah terpadu sebagai pusat keunggulan yang mampu menyiapkan dan mengembangkan  sumber daya insani  yang berkualitas di bidang iptek dan imtaq. Visi ini tidak lepas dari visi madrasahsecara umum yaitu : Islami, berkualitas, populis dan beragam.

Misi Madrasah Terpadu; menyelenggarakan pendidikan yang beroientasi mutu, baik secara keilmuan, maupun secara moral, dan sosial sehingga mampu menyiapkan dan mengembangkan sumber daya insani yang mempunyai kualitas di bidang iptek dan imtaq.

Strategi pengembangan madrasah Terpadu; berkembang atas dasar kekuatan dari dalam sendiri, dalam arti bukan berbentuk proyek dari atas yang serba disediakan fasilitas dan pendanaan secara keseluruhan, sehingga ketergantungannya sangat tinggi kepada pemerintah pusat (birokrasi). Jikapun ada intervensi dari luar/pemerintah hanyalah diposisikan sebagai pendamping (mitra)”

Strategi ini (pemberdayaan dari bawah) membawa konsekuensi bahwa pertumbuhan madrasah terpadu lebih diarahkan pada kemandirian dan kreatifitas mereka sendiri, karena itu boleh jadi akan berjalan lambat. Tetapi keuntungannya, keberadaannya akan tegak dan kokoh, oleh karena disangga oleh kekuatan akarnya sendiri. Dengan demikian otonomi madrasah menjadi makin kuat dan dengan sendirinya transparansi dan keikut sertaan masyarakat menjadi makin tinggi pula. 

Sebaliknya, jika yang dipilih adalah “pendekatan proyek”, artinya segala sesuatu disediakan, diatur dan ditentukan oleh pemerintah pusat / daerah, maka akan berdampak pertumbuhannya akan cepat, terutama yang menyangkut aspek pembangunan fisik. Namun kelemahannya, “pendekatan proyek” ini akan mahal, dan ketergantungan dengan pusat begitu tinggi sehingga diragukan kesinambungannya setelah proyek usai atau akan berakhir seperti kebanyakan program serupa di tanah air ini.

Jika strategi pemberdayaan dari bawah ini yang menjadi pilihan, maka pemerintah atau tim yang ditunjuk, seharusnya hanyalah menjadi pendamping / konsultan, baik dalam penyusunan perencanaan, pengembangan kurikulum, manajemen dan bahkan juga termasuk kepemimpinannya. Tegasnya, pemerintah harus memberi otonomi luas dan lebih bersifat supporting (pendukung, pendorong), fasilitator dan membantu madrasah terpadu mengatasi berbagai hambatan yang sulit diatasinya sendiri. 

Jika pemerintah merasa harus melakukan intervensi, maka seharusnya memposisikan diri sebagai patnership, artinya hanya akan memberikan sesuatu yang tidak mungkin dapat dipenuhi sendiri oleh madrasah yang bersangkutan, misalnya pengangkatan guru yang diperlukan, pengadaan laboratorium yang berharga mahal, ataupun sarana fisik lainnya dan membantu berbagai inovasi dalam pengembangan kurikulum, proses belajar mengajar dan berbagai program pengembangan pendidikan lainnya. 

Berdasarkan pemikiran tersebut ditetapkanl;ah delapan buah madrasah terpadu  yang tersebar di tujuh propinsi yaitu:

1.    Madrasah Terpadu Malang

2.    Madrasah Terpadu Yogyakarta

3.    Madrasah Terpadu Palembang

4.    Madrasah Terpadu Banda Aceh

5.    Madrasah Terpadu Padang

6.    Madrasah Terpadu Jambi 

7.    Madrasah Terpadu Jakarta

.

Madrasah Model ; 

Madrasah Model adalah madrasah yang secara khusus diinterpensi untuk meningkatkan kualitas bidang sains dan matematika (Mafikib). Selama ini madrasah dianggap memiliki titik lemah pada bidang tersebut. Inilah pula yang menjadi alasan sehingga program ini untuk pertama kali dibiayai oleh pinjaman luarnegeri (Asian Development Bank). Pada awalnya pihak ADB dan Bank Dunia tidak mau memberi alokasi pinjaman luar negderi untuk madrasah, karena dianggap akan memperkuat bidang kajian agama  yang menurut mereka bukan tugas negara. Setelah berdiskusi panjang dan ditampakkan data-data lemahnya bidang sains dan matematika di madrasah yang telah menjadi sekolah umum berciri khas Islam, maka pada tahun 1993 disetujui adanya proyek luar negeri Junior Secondary Education Project sebagai bagian dari projek di Depdiknas. Ketika itu pengembangan madrasah model baru terbatas pada MI dan MTs, dan dalam perjalannya diteruskan ke tingkat MA melalui proyek yang berdiri sendiri yaitu  basic Education Project (BEP) dan  Development Madrasah Alyah Project (DMAP) . Jumlah madrasah model adalah pada tingkat MI 22 madrasah, MTs model  15 yang tersebar di 4 propinsi[14]dan Madrasah Aliyah Model 35 madrasah yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. 

 

Melalui dana pinjaman tersebut ditingkatkanlah berbagai aspek madrasah dengan focus:

Meningkatkan kualitas pendidikan dasrfisik sekolah (bangunan, laboratorium, perpustakaan) dan juga aspek ketenagaan dengan peningkatan kualitas guru melalui penyekolahan pada jenjang S1, dan S2. Juga dialakukan berbagai pelatihan seperti  pelatihan guru , kepala sekolah, tenaga kependidikan lainnya. Peserta pelatihan tidak hanya bagi tenaga dari madrasah model tapi juga dari  madrasah lainnya baik madrasah negeri  maupun madrasah swasta. 

Dampak utama dari program model ini meningkatnya jumlah  prestasi madrasah baik dalam peningkatan nilai NEM maupun prestasi non akademik lainnya. Hal ini juga berdampak makin diminatinya madrasah tersebut.

 

Madrasah Aliyah Program Ketrampilan (MAPK)

MAPK adalah madrasah aliyah yang diberi  tanbahan program ekstra kurikuler dalam berbagai bidang ketrampilan yang terstruktur. Out put dari program ini  membekali siswa yang tidak dapat melanjutkan  ke perguruan tinggi memasuki dunia kerja dengan bekal ketrampilan tertentu. Sasaran utama dari program ini adalah: pertama, siswa aliyah yang berasal dari keluarga yang tak mampu dalam aspek pembiayaan; Kedua, siswa yang menjadikan madrasah aliyah sebagai terminal / tidak melanjutkan ke perguruan tinggi; dan ketiga, siswa yang setelah tamat menjadi pencari kerja. Atas dasar pemikiran tersebut maka ditetapkan visi MAPK menyiapkan SDM yang treampil, mandiri, religius dan berwawasan ke depan.

Program MAPK ini dimulai tahun 1989 dengan bantuan  UNDP/UNESCO  di tiga (3) Madrasah Aliyah di pulau Jawa sebagai pilot projeknya. Program ketrampilannya baru terbatas dalam bidang  menjahit, reparasi radio/tv, dan otomotif, Kedelapan MAN tersebut adalah : MAN Garut (jabar), MAN Kendal (Jateng) dan MAN Jember (Jatim). Keberhasilan program ini  membuat undp/unesco menambah lagi lima (5) MAN di luar Jawa pada tahun 1990 yaitu MAN Medan (Sumut), MAN Bukittinggi (Sumbar), MAN Praya (NTB), MAN Banjarmasin (Kalsel), dan MAN Watampone (Sulsel). 

Upaya pengembangan MAPK ini mendapat sambutan yang positip dari masyarakat dan siswa MA, karena itu dengan bantuan Islamic Development Bank (IDB) program ini diperluas lagi ke 80 MAN (lihat lampiran). Bila diawal program bidang ketrampilan baru mencakup tiga bidang, maka terakhir mencakup 17 bidang ketrampilanm (lihat lampiran)

Madrasah dan sekolah pada pondok pesantren  

Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memberikan layanan dalam kajian agama Islam (tafaqahu fid‑dien). Dengan begitu pada awaInya orentansi dan model penyelenggaraan pendidikan pesantren diarahkan untuk menciptakan ahli ilmu agama Islam (kiyai) yang mengemban misi untuk memberi penerangan atau guide tentang ajaran agama Islam kepada masyarakat.

Pada perjalanan berikutnya Pondok Pesantren memberikan respon terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, pesantren tidak hanya mengajarkan agama tapi juga umum terbukti banyak Pesantren menyelenggarakan pendidikan sekolah disamping pendidikan madrasah. Kita temukan beberapa pasentren yang membuka madrasah (Tsanawiyah dan Aliyah), dan juga membuka sekolah umum (SLTP dan SMA) atau  bahkan mendirikan perguruan tinggi agama atau umum. Gejala ini cukup menarik dan menimbulkan pertanyaan. Kenapa setelah membuka MTS dan MA buka juga SLTP dan SMA, bukankah keduanya dengan UU sisdiknas no. 2 tahun 1989 tidak ada bedanya lagi, baik kurikulum maupun pengakuannya?. Namun jawaban yang diterima cukup menarik karena katanya pangsa pasar kedua jenis sekolah tersebut berbeda. Masih terbawa opini lama bahwa kalau lulus sekolah lebih gampang cari kerja dan melanjutkan sekolah ketimbang lulus dari madrasah. Inilah tantangan pengelola pendidikan madrasah ke depan.

Perkembangan tadi memberi warna baru bagi pesantren, dimana keterpaduan madrasah dengan nuansa iptek dan sekolah dengan nuansa agama menjadi suatu kebutuhan ditambah lagi pelaksanaannya dengan sistem boarding (berasrama).

Namun masih banyak juga pesantren yang tetap pada kajian awal yaitu tafaqquh fid dien dan tidak mau berubah. Oleh karena itu kalau dikelompokkan ada dua kategori utama Pondok Pesantren yaitu 

(a)  Pondok Pesantren yang hanya menyelenggarakan kajian agama Islam dengan sumber karya­karya ulama klasik atau dikenal dengan sebutan kitab kuning. Pesantren jenisnya mempertahankan keaslian dan tidak melakukan adaptasi dengan perkembangan yang muncul, misaInya mendirkan sekolah‑sekolah. Jumlah Pondok Pesantren semacam ini kurang lebih 5000 buah. Pesantren kategori ini sering disebut orang dengan istilah salafiyah. Di Pesantren jenis ini, terdapat pelbagai jenis santri yang mondok antara lain mereka hanya mondok (ngaji) saja, mereka sekolah atau bahkan kuliah dan tinggal serta  ngaji di pondok,

(b)  Pondok Pesantren menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan sistem persekolahan atau dikenal dengan Pondok Pesantren Khalafiyah atau lebih dikenal dengan Pondok Pesanren Modem. Dalam prakteknya, pondok pesantren menyelenggarakan kegiatan pendidikan dengan menggabungkan dua sistem‑pesantren dan persekolah, dengan tetap mempertahanak ci(i khasnya. Bahkan jenis Pondok Pesantren ini tidak mengikuti sistem persekolahan yang ada. Pondok Pesantren merancang kurikulum dan penyelenggarcan pembelajaran tampa terikat dengan sitem persekolahan yang ada di Indanesia. 

Madrasah / sekolah dengan boarding

Muncul bentuk lain dari madrasah dan sekolah sebagai pengaruh dari pesantren yaitu munculnya sekolah‑sekolah unggul dengan menggunakan sistem pesantren. Sekolah sejenis ini biasanya menggunakan istilah boarding school (sekolah berasrama) sebagai ganti istilah pesantren. Contoh sekolah‑sekolah tipe ini adalah SMU Taruna Nusantara, SMU Madania, SMU Dwi Warna dan SMU Al‑lzhar dan lainnya. Departemen Agamapun  semenjak 1980‑an telah mengembangkan model pesantren ini dengan nama Madraash Aliyah Program Khusus (MAPK/MAK) yang penyelenggaraan pembelajarannya menggunakan pendekatan belajar tuntas (mastery leaming) dan kajian kitab‑kitab.

sistem boarding school menekankan metoda pengajaran yang orentasinya pada penguasaan subtansi materi keilmuan (bukan target kurikulum). Juga di sekolah‑sekolah boarding dikembangkan kurikulum sendiri yang dikonstruksi sesuai dengan konsep pendidikan yang dimiliki dengan memasukan unsur‑unsur kemampuan dasar yang diinginkan oleh kurikulum nasional. Tenaga pengajar di sekolah‑sekolah tersebut memiliki ruang kreatifitas yang cukup luas, sehingga setiap inovasi dalam penyelenggaraan pembelajaran dapat dilaksankan. Seperti halnya halnya di Pesantren, para siswa didorong untuk mampu belajar mandiri. Dengan demikian, upaya pencapaian target kualitatif dalam pemahaman materi pengajaran bisa dilakukan sekolah yang bersangkutan sesuai dengan pendekatan yang dikembangkannya sendiri.

Demikian juga dilihat dari sistem pembinaan siswa, mengutamakan aspek pembentukan kepribadian dengan disiplin tinggi. Pembinaan siswa diakukan secara inensif baik dalam maupun luar kelas. Untuk itu, siswa di 'sekolahsekolah unggulan' seluruhnya harus tinggal di asrama. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan mentalitas kemandirian pada diri siswa. Namun yang membedakannya dengan pesantren adalah ketidak adanya kiayi pada boarding school. Padahal tokoh kiayi ini sangat memegang peran penting dalam pembinaan kemandirian dan moral siswa, walaupun pembinaan siswa dilakukan dengan menciptakan satu tata‑aturan pergaulan dan suasana  yang menyerupai pesantren.

 

Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK)

Madrasah Aliyah Keagamaan atau madrasah Aliyah Program khusus[15] adalah antisipasi terhadap menurunnya kemampuan bidang agama pada lulusan madrasah aliyah setelah mereka berubah menjadi madrasah dengan beban kurikulum 70% umum dan 30% agama (SKB 3 menteri 1984). Apalagi setelah UU sidiknas no.2 tahun 1989 yang menyamakan kurikulum sekolah dengan madrasah, yang membedakan hanya jumlah pelajaran pelajaran cirri khas (agama). Kehawatiran masyarakat terhadap akan makin berkurangnya para ahli agama (kiayi / ulama) menjadi alas an utama dibukanya MAPK  ini.  

Tujuan utama dibukanya madrasah aliyah keagamaan ini adalah :

  1. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga ahli di bidang agama Islam sesuai dengasn tuntutan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah aliyah.
  2. untuk menyiapkan lulusan agar memiliki kemampuan dasar yang diperlukan bagi pengembangan diri sebagasi ulama yang intelek.
  3. menyiapkanlulusan sebagai calon mahasiswa IAIN atau PTAI lainnya termasuk calon mahasiswa universitas al-azhar Mesir.

Pada tahap pertama yang ditunjuk menyelenggarakan program keagamaan  5 MAN yaitu MAN Darussalam Ciamis, MAN I Yogyakarta, MAN Ujung Pandang, MAN Padang Panjang dan MAN Jember. Sambutan yang baik dari para madradsah dan orang tua murid serta pondok pesantren menyebabkan makin banyak dibuka program keagamaan ini. Hingga tahun 1993 MAK  telah berjumlah 16 MAN  dan 105 MAS. Secara umum diakui oleh IAIN/PTAI kemampuan agama pada lulusan MAK  yang masuk menjadi mahasiswa mereka lebih baik dari lulusan MA lainnya. Kalau di MAN kurikulum umum 100% plus cirri khas, maka di MAK kurikulum 70% agama dan 30% umum.

 

LAMPIRAN

 

 

Daftar Jenis Ketrampilan pada MAPK

 

NO

KELOMPOK 

KETRAMPILAN

1

TEKNOLOGI

Operator Komputer

2

 

Perbaikan & Perawatan Peralatan Listrik

3

 

Perbaikan & Perawatan Radio / Televisi

4

 

Perbaikan & Perawatan Lemari Es dan AC

5

 

Perbaikan & Perawatan Komputer

6

 

Perbaikan & Perawatan Otomotif

7

 

Perbaikan & Perawatan Sepeda Motor

8

 

Perbaikan & Perawatan Perahu Tempel

9

 

Las, Gas dan Listrik

10

 

Produksi Mebel dan Pertukangan Kayu

11

KEJURUAN

Tata Boga

12

 

Usaha Tata Boga

13

 

Kesekretarisan

14

PERTANIAN

Budi Daya Ternak Unggas

15

 

Budi Daya Ternak ikan tawar

16

 

Budi Daya Ternak Mamalia

17

 

Penangan dan Pengolahan Hasil Pertanian

 

 

DAFTAR MAN PENYELENGGARA PROGRAM KETRAMPILAN

 

NO

PROPINSI

NAMA MADRASAH

1

NAD

MAN LANGSA

2

 

MAN.I.  MEULABOH

3

 

MAN LHOKSEUMAWE

4

SUMUT

MAN PEMATANG SIANTAR

5

 

MAN MEDAN

6

SUMBAR

MAN SALIDO

7

 

MAN PALANGKI

8

 

MAN 2 PADANG

9

RIAU

MAN TANJUNG PINANG

10

 

MAN 2 PEKANBARU

11

JAMBI

MAN 1 SUNGAI PENUH

12

 

MAN JAMBI

13

SUMSEL

MAN SAKATIGA

14

 

MAN 2 LAHAT

15

 

MAN 3 PALEMBANG

16

DKI

MAN 2 JAKARTA

17

 

MAN 7 JAKARTA

18

 

MAN 8 JAKARTA

19

 

MAN 11 JAKARTA

20

JABAR

MAN CIBINONG

21

 

MAN 1 GARUT

22

 

MAN PANGANDARAN

23

 

MAN 2 CIAMIS

24

 

MAN CIGUGUR

25

 

MAN 1 CIREBON

26

 

MAN 1 BANDUNG

27

JATENG

MAN MAJENANG

28

 

MAN 2 PURWOKERTO

29

 

MAN PURWOREJO

30

 

MAN KLATEN

31

 

MAN KARANGANYAR

32

 

MAN KENDAL

33

 

MAN 1 MAGELANG

34

 

MAN 1 SURAKARTA

35

 

MAN 2 PEKALONGAN

36

DIY

MAN 2 WATES

37

 

MAN 1 WATES

38

 

MAN KALIURANG

39

 

MAN 3 YOGYAKARTA

40

 

MAN PAKEM

41

 

MAN BANTUL

42

JATIM

MAN PACITAN

43

 

MAN 2 PONOROGO

44

 

MAN PANGGUL TERENGGALEK

45

 

MAN REJOTANGAN TULUNGAGUNG

46

 

MAN 1 TULUNGAGUNG

47

 

MAN TLOGO BLITAR

48

 

MAN PURWOSARI KEDIRI

49

 

MAN 2 MALANG

50

 

MAN 1 JEMBER

51

 

MAN 2 JEMBER

52

 

MAN 3 JEMBER

53

 

MAN SRONO BANYUWANGI

54

 

MAN MOJOKERTO

55

 

MAN GENUKWATU JOMBANG

56

 

MAN KEBONSARI JOMBANG

57

 

MAN TAMBAK BERAS JOMBANG

58

 

MAN REJOSARI MADIUN 

59

 

MAN TAKERAN MAGETAN

60

 

MAN TEMPURSARI NGAWI

61

 

MAN 2 BOJONEGORO

62

 

MAN TUBAN

63

 

MAN LAMONGAN

64

 

MAN GERSIK

65

 

MAN BANGKALAN

66

 

MAN SAMPANG

67

 

MAN 2 KEDIRI

68

 

MAN KOTA BLITAR

69

 

MAN 2 MADIUN

70

BANTEN

MAN PANDEGLANG

71

 

MAN 2 SERANG

72

 

MAN SERPONG

73

NTB

MAN PRAYA

74

NTT

MAN ENDE

75

KALTENG

MAN PALANGKARAYA

76

KALSEL

MAN 2 BARABAI

77

 

MAN 2 AMUNTAI

78

 

MAN 2 BANJARMASIN

79

KALTIM

MAN 1 SAMARINDA

80

SULTENG

MAN 1 PALU

81

 

MAN 2 PALU

82

SULSEL

MAN 1 BONE

83

 

MAN 2 BONE

84

 

MAN BARRU

85

 

MAN LUWU

86

 

MAN 1 MAKASSAR

87

 

MAN 2 MAKASSAR

88

SULTENGGARA

MAN 1 KENDARI

 

Sumber: Madrasah Aliyah Program Ketrampilan, terbitan Emis Bagais, Jakarta, 2001

 

Keadaan Madrasah Negeri

(Berikut lokasinya setelah reorganisasi dan relokasi

berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 15,16 dan 17 tahun 1978)

 

NO.

PROPINSI

MIN

MTsN

MAN

1.

D.I. ACEH

209

35

15

2.

SUMATERAUTARA

1

3

3

3.

SUMATERABARAT

7

52

19

4.

RIAU

1

4

2

5.

JAMBI

5

13

6

6.

SUMATERASELATAN

14

16

9

7.

LAMPUNG

19

8

3

8.

BENGKULU

3

7

2

9.

D.K.I. JAKARTA

1

8

3

10.

JAWABARAT

5

51

12

11.

JAWATENGAH

18

50

19

12.

D.I. YOGYAKARTA

16

27

9

13.

JAWATIMUR

41

79

34

14.

KALIMANTANBARAT

2

5

1

15.

KALIMANTAN TENGAH

1

3

1

16.

KALIMANTAN SELATAN

19

26

10

17.

KALIMANTANTIMUR

-

4

1

18.

SULAWESIUTARA

 

4

-

19.

SULAWESITENGAH

-

1

1

20.

SULAWESISELATAN

7

13

9

21.

SULAWESI TENGGARA

2

8

1

22.

BALI

-

1

-

23.

NUSA TENGGARA BARAT

3

4

4

24.

NUSA TENGGARA TIMUR

1

2

1

25.

MALUKU

1

4

1

26.

IRIANJAYA

-

2

1

27.

TIMOR TIMUR

-

-

-

 

Tabel di atas menunjukkan adanya ketidakseimbangan baik antar jenjang maupun antar lokasi propinsi. Antar jenjang terlihat bahwa jumlah Madrasah Tsanawiyah Negeri jauh lebih besar daripada Madrasah Ibtidaiyah Negeri. Ada propinsi yang jurnlahnya besar dan ada propinsi yang jurrdahnya sangat n‑dnim dan malah ada yang tidak ada MIN, tetapi ada MTsN. Ada pula yang punya MTsN tanpa mempunyai MIN dan MAN. Ketidak seimbangan itu tampaknya masih memerlukan penataan kembali, mengingat kepentingan pembinaan madrasah secara nasional. Untuk itu diperlukan saling pengertian dan pengorbanan antara daerah dengan tidak sdalu mendasarkan pada alasan sejarah dan kepentingan daerahnya sendiri. Ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang menyebabkan belum dimungkinkannya penambahan madrasah negeri baru. Yang lebih baik lagi, bila dimungkinkan pendirian madrasah negeri baru untuk daerah­daerah propinsi tertentu.

 

 

 

Pada masa‑masa awal Orde Baru (1966), kebijakan mengenai madrasah[16] pada dasarya bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan lama.

 



[1] Disampaikan pada seminar: " Roundtable discussion tentang madrasah” diselenggarakan oleh INCIS, tanggal 22 juli 2004 di hotel atlet senayan Jakarta. 

[2] Madrasah, dalam peta dunia pendidikan di Indonesia, memang bukan suatu yang indigenous, sebagaimana ditunjukkan oleh kata "madrasah" itu sendiri yang berasal dari Bahasa Arab. Secara harfiah kata "madrasah" berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia "sekolah" (yang nota bene juga bukan kata asli bahasa Indonesia). Dalam pengertian ini, madrasah memiliki konotasi spesifik dimana anak memperoleh pembelajaran agama 

[3] Keterikatan masyarakat terhadap madrasah sepanjang sejarah pendidikan Islam di Indonesia lebih ditampakkan sebagai  “ikatan emosional” yang tinggi. Ikatan ini muncul karena bertemunya dua kepentingan yaitu pertama, hasyrat kuat masyarakat Islam untuk berperanserta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak di sekitar temapt tinggalnya) dan kedua, motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mendapat pendidikan agama yang cukup) di samping pendidikan umum . Motivasi agama ini didukung pula oleh ajaran wakaf yang memberi dorongan bahwa tanah/bangunan yang telah diwakafkan akan terus mengalir amalanya, walaupun yang bersangkutan telah meninggal dunia .

[4] Pelajaran agama yang mencakup akidah/akhlak, fikih, Quran/Hadist, sejarah Kebudayaan islam  dan Bahasa Arab  diberikan waktu 4s/d 7 jam pada MI dan 9 jam perminggu pada MTs dan MA.. jumlah jam yang demikian itu masih ditrasakan “kurang” sehingga masih ada suara, kurikulum 1994 sebagai kurikulum yang “mendangkalkan agama”. Pertanyaan sekarang, apakah ciri khas agama pada madrasaha  hanya menjadi tanggung jawab guru bidang studi agama, sehingga bila jam belajar bidang studi agama kurang berarti terjadi pendangkalan agama?. Ciri khas Islam pada madrasah menjadi tanggungjawab semua orang yang terkait dengan madrasah. Mulai dari kepala madrasah (pimpinan), guru (baik bidang studi agama maupun bidang studi umum) , tenaga kependidikan lainnya , BP3 , dan para siswa sendiri.

[5] Mafikib adalah singkatan untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggeris. Bidang studi mafikibb ini merupakan aspek pendidikan yang dominan dalam peningkatan kemampuan nalar dan analisi siswa. Melalui bidang studi mafikibb siswa akan lebih mudah mengembangkan iptek. 

[6] Jabir ibn Hayyan (oleh orang Barat dikenal dengan "geber" adalah ahli kimia yang diakui dunia Barat. Dernikian pula Musa al‑Khawarizmi scorang ahli matematika yang memperkenalkan "algebra atau aIjabar" dan memperkenalkan angka Arab.; Ibn Sina seorang ahli k‑etabiban (kedokteran) yang banyak menulis buku kedokteran ; Ibn al‑Haytam (Alhazen nama Latinnya) adalah seorang ahli fisika yang memperkenalkan lapangan optik daiam fisika dan juga pen‑gunaan kamera.. Abu Raihan al‑Biruni seorang ahli astronomi yan,‑juga ahli fisika; Abbas ibn Famas termashur dalam ilmu kimia (menemukan pembuatan kaca dari batu); Ibrahim mb Yahya ahli astronomi (menentukan perhitungan gerhana dan membuat teropong bintang); dan rnasih banyak lagi tokoh ilrnuwan Islam yang muncul di rnasa kejayaan Islam

[7] Kecilnya peminat siswa MA yang mengambil jurusan mafikibb, menunjukkan bidang studi itu belum menarik atau dian‑gap berat. Keadaan tersebut tampak pada data siswa yang ikut ebtanas 1994/1995, terbanyak siswa di jurusan agama (47,8%), IPS (34,9%), Budaya (1,4%), Biologi (12, 1%) dan IPA (3,8%).

[8] Pelajaran agama dengan nuansa iptek merupakan upaya mendekatkan agama dengan iptek melalui kontekstualisasi ajaran agama terhadap iptek yang bermanfaat guna mengamalkan ajaran agama. 

[9] Penciptaan suasana keagamaan di madrasah tidak terbatas dalam bidang proses belajar mengajar, tetapi juga dalam bidang-=bidang lain, baik fisik berupa sarana bangunan, penataan taman maupun dalam bidang pewrgaulan dan pakaian .Suasana keagamaan dapat pula dapat pula berupa simbol dan kegiatan .Kehadiran mesjid/mushallah menjadi ciri khas utama sebagai pusat kegiatan keagamaan di madrasah . Di samping itu ada madrasah yang memberi ciri khas tambahan berupa pakaian (busana muslim) , tata ruang, bentuk bangunan  ataupun aktifitas keagamaan seperti shalat berjamaah zuhur, shalat dhuha , membaca laquran selama 10 menit setelah sahalt zuhur berjamaah, berdoa sebelum pekajaran dimulai dsb.

[10] Kehadiran masjid/mushallah menjadi ciri khas utama, sebagai pusat kegiatan keagamaan di madrasah, Di samping itu ada rnadrasah yang rnemberi ciri khas suasana ini dengan pakaian (busana muslim), tata ruang, bentuk bangunan ataupun aktifitas keagamaan seperti shalat berjamaah, membaca Alquran selama 10 menit setelah shalat be~jamaah, berdoa sebelurn belajar, shalat dhuha, kernampuan membaca Alquran bagi anak klas III MI dan mampu membaca dengan betul pada anak klas VI MI, ada juga kemampuan bahasa Arab dan bahasa Inggeris sebagai ciri khas madrasah

[11]Jumlah yang demikian itu, masih dirasakan "kurang" sehingga masih ada suara, kurikulurn 1994 sebagai kurikulum yang "mendangkalkan agama". Pertanyaan sekarang, apakah ciri khas agama pada madrasah hanya menjadi tanggungjawab guru bidang studi agama, sehingga bilajam belajar bidang studi agama berkurang berarti terjadi pendangkalan agama?. Ciri khas Islarn pada madrasah menjadi tanggungjawab sernua orang yang terkait dengan rnadrasah. Mulai dari kepala madrasah (pirnpinan), guru (baik bidang studi agarna maupun bidang studi umum), tenaga kependidikan lainnya, BP3 dan para murid sendiri 

[12] Mafikibb adalah singkatan untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris. Bidang studi mafikibb merupakan aspek pendidikan yano, sangat dominan dalarn meningkatkan kernampuan nalar dan analisa siswa. Metalui bidang studi mafikibb siswa akan lebih mudah mengembangkan iptek.

[13] Bantuan tersebut diberikan setiap tahun dan baru terbatas untuk beberapa karesidenan di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Surakarta. Bentuk bantuan berupa uang yang hanya boleh digunakan untak: 1) memberi tunjangan kepada para guru, 2) membeli alat‑alat pelajaran, 3) menyewa dan atau memelihara ruang‑ruang dan gedung madrasah dan 4) membiayai administrasi.

[14] Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat

[15] Ketika dibuka pertama kali (1987), namanya Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang lebih memfokuskan pendidikannya pada bidang agama, kemudian tahun 1989 sesuai dengan UU No.2 Th 1989 diubah menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK).

[16] Sampai pertengahan dekade 1960‑an, madrasah telah tersebar di berbagai daerah di hampir seluruh propinsi di Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah rendah ini masa itu mencapai 13.057 buah. Dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 murid terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Laporan yang sama menyebutkan jumlah MTs mencapai 776 buah dengan murid sebanyak 87.932 orang. Sementara MA diperkrakan mencapai 16 buah dengan jumlah murid sekitur 1. 881 orang. Berdasarkan laporan ini, jumlah madrasah secara keseluruhan mencapai 13.849 buah dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590 orang. Perkembangan ini me­nunjukkan bahwa sejak awal pendidikan madrasah memberi­kan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa.

 

No comments: