Sunday, August 29, 2021

PEMBINAAN MADRASAH DALAM RANGKA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH



 

1.   Dampak positif reformasi total, adalah terjadinya pergeseran paradigma dari sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah kepada sistem pemerintahan yang desentralistik. Dampak inilah yang melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

 

2.   Kewenangan otonomi daerah yang menuju kemandirian daerah di dalam negara kesatuan, tidak dapat diartikan adanya kebebasan Penuh secara absolut, untuk menjalankan hak dan fungsi otonomi menurut sekehendaknya tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.

 

3.   Kendatipun pada masa sekarang, hampir setiap negara bangsa ("nation state") menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, namun perlu disadari bahwa desentralisasi bukan merupakan sistem yang berdiri sendiri, melainkan merupakan rangkaian kesatuan dari suatu sistem yang lebih besar yaitu negara bangsa (nation state), karenanya suatu negara bangsa yang menganut desentralisasi bukan merupakan altematif dari sentralisasasi sehingga antara desentralisasi dan sentralisasi tidak seharusnya dilawankan dan tidak bersifat dikhotomis, melainkan merupakan sub‑sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara.

 

4.   Perbedaan perspektif ini tidak seharusnya menjadi dikhotomi yang mengarah kepada konflik kepentingan antara pusat dan daerah yang tidak berujung­pangkal, seandainya kedua kepentingan tersebut dilandasi oleh justifikasi dan kriteria objektif dan rasional. Dengan kata lain, bagaimana mencari titik keseimbangan antara kehendak politik "centrifugal" yang melahirkan politik "desentralisasi ", dan mendudukkan posisi "centripetal" yang melahirkan sebagian "central power" untuk menjamin tetap terpeliharanya identitas dan integrasi bangsa.

 

5.   Khusus untuk pendidikan di lingkungan Departemen Agama perlu dipertegas statusnya. Apabila Departemen Agama, seperti yang diatur dalam pasal 7 ayat (1) termasuk tetap menjadi wewenang pemerintah (satu dari lima kewenangan yang tidak diserahkan ke daerah). Di lain pihak pasal 11 ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan dan kebudayaan salah satu dari 11 (sebelas) bidang yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota. Atas dasar hal‑hal tersebut, nampak yang bersifat pendidikan perlu dipertimbangkan mendalam untuk menentukan kebijakan tetap dikelola pemerintah atau diserahkan kepada daerah (kabupaten/kota atau propinsi). Dalam bahan pertimbangan tersebut antara lain dampak penyerahan terhadap pencapaian tujuan pendidikan tersebut serta kemampuan pembiayaan pemerintah pusat yang semakin berkurang karena Undang‑undang No. 25 tahun 1999.

 

6.   Dengan menyimak isi Undang‑undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang‑undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah tersebut, dapat disimpulkan bahwa fokus pelaksanaan otonomi daerah adalah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Untuk itu, sebagian besar sumber pembiayaan nasional akan dilimpahkan lebih banyak ke daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan perekonomian daerah yang berbeda‑beda. Kewenangan Pemerintah terbatas dengan dukungan sumber pembiayaan yang terbatas pula. Sementara itu peranan Daerah Propinsi sebagai daerah otonom maupun sebagai wilayah administrasi lebih terbatas dengan perimbangan sumber keuangan yang lebih sedikit.

 

7.   Madrasah sebagai institusi pendidikan telah diakui oleh UUSPN No. 2 Tahun 1989. Meskipun, perwujudan makna pengakuan tersebut masih belum sesuai jiwa undang‑undang tersebut. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran untuk pembinaan dan pengembangan mutu madrasah belum setimbang dibanding dengan anggaran yang diberikan kepada sekolah‑sekolah yang sekarang berada dalam naungan Depdiknas. Sentralisasi pembinaan madrasah dapat mempengaruhi pengakuan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Sebaliknya penyerahan Madrasah ke Pemerintah Daerah Tingkat Dua dapat mempengaruhi format birokrasi di Departemen Agama (perampingan). Hal ini akan dirasakan oleh Depdiknas. Kehawatiran­-kehawatiran ini dapat difahami apabila aturan main tidak dapat ditegakan misalnya perlakuan birokrasi terhadap madrasah diskriminatif

 

8.  Misi otonomi pendidikan adalah memberikan wewenang penuh kepada sekolah/madrasah untuk mengembangkan program/kegiatan pendidikan kepada sekolah (otonomi paedagogis) sesuai dengan potensi, kebutuhan masyarakat. Meski demikian, standarisasi distintictivekeilmuan yang harus diberikan kepada murid per jenjang masih dipertahankan berdasarkan pertimbangan keilmuan. Oleh karenanya ada hal yang perlu dicermati dalam meresponi otonomi pendidikan dan otonomi madrasah. Selama ini, tampaknya limpahan wewenang administratif yang menjadi fokus perhatian, isu ini lebih terkait dengan birokrasi. Otonomi pendidikan disoroti lebih kuat dari aspek limpahan wewenang administrasi pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang memberi pengaruh terhadap perampingan struktur dan alokasi sumber kepada institusi pusat (departemen).

 

9.  Madrasah merupakan institusi pendidikan yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat. Mayoritas dari jumlah madrasah berstatus swasta yang kebanyakan mengandalkan sumber untuk pembiayaan pendidikan dari masyarakat. Dari segi substansi, mayoritas madrasah telah otonom dan bahkan terkesan sebagian institusi yang dibiarkan hidup dengan sendirinya. Persoalan krusial adalah performan mutu  pengetahuan umum secara umum masih tertinggal dari sekolah‑sekolah Depdiknas. Kasus‑kasus profesionalitas guru seperti kasus mismatchdan underqualified sering kita jumpai. Hal ini barangkali memerlukan bantuan pernerintah.

 

10.  Pelimpahan wewenang pembinaan madrasah ke pemerintah daerah memberikan implikasi sebagaimana diungkapkan di muka. Dalam posisi demikian, Departemen Agama Pusat dapat mengembangkan inovasi‑inovasi bagi pengembangan penyelenggaraan pendidikan agama melalui Pesantren, Madrasah Diniyah, TPA atau Majelis‑majelis Ta'lim. Pendekatan penyelenggaraan pendidikan yang berbasis pada masyarakat dapat diakselerasikan dalam konteks peningkatan kualitas pemahaman dan penghayatan nilai‑nilai ajaran agama dalam kehidupan masyarakat. Juga dalam posisi demikian Departemen Agama dapat menghasilkan "Ulama­-Ulama" ke depan yang akan menghadapi persoalan yang lebih komplek ketimbang persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan ini. Hal ini tentu disyaratkan adanya jaminan bahwa madrasah akan mendapat perlakuan yang setimbang dengan sekolah‑sekolah yang kini berada dalam naungan Depdikbud.

 

11.  0tonomi daerah dapat memberikan peluang kepada lembaga pendidikan (madrasah) untuk mengembangkan pendekatan kemitraan antar madrasah atau lembaga‑lembaga yang memayungi madrasah dalam melakukan upaya­upaya peningkatan mutu dan quality assurance.

 

12.   Pusat menjadi quality assurance (mutu akademik), tugasnya adalah:

a.  Menetapkan standar mutu akademik untuk lulusan madrasah perjenjang.

b.  Menfasilitasi dalam menurnbuhkan wadah‑wadah yang akan berfungsi sebagai auditor mutu di masing‑masing daerah.

c.   Fasilitasi pembangunan jaringan antar daerah dalam kerangka tukar‑tukar menukar sumber daya yang diperlukan bagi penciptaan keseimbangan/ pemerataan mutu madrasah‑madrasah yang ada di daerah‑daerah.

d.  Memfasilitasi pengembangan kerjasama dengan sekolah‑sekolah luar negeri melalui program linkage atau program kembar.

 

 Tulisan ini adalah Makalah pada seminar sehari “Otonomi Pendidikan di Madrasah” oleh Koordinator Kelompok Kerja Kepala Madrasah Aliyah se Jawa Tengah di Magelang, tanggal 5 Oktober 2001



[1] Makalah pada seminar sehari “Otonomi Pendidikan di Madrasah” oleh Koordinator Kelompok Kerja Kepala Madrasah Aliyah se Jawa Tengah di Magelang, tanggal 5 Oktober 2001

No comments: