Thursday, December 20, 2007

Pengakuan Madrasah sebagai Sekolah Umum (Berciri Khas Islam)

Husni Rahim
    Perjuangan agar mendapat perlakuan yang sama (integrasi madrasah dalam sistem pendidikan nasional secara penuh), baru dicapai dalam UUSPN No. 2 Tahun 1989., dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran agama Islam (7 mata pelajaran) . ( Secara operasional, integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK MenDepartemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan "SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK MenDepartemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993.
     Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya.) Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional dengan demikian bukan merupakan integrasi dalam arti pe¬nyelenggaraan dan pengelolaan madrasah oleh Departemen Pendidikan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Kenyataannya beban kurikulum bagi madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih banyak dan lebih berat dibanding dengan beban belajar anak sekolah. Hal itu dikarenakan pihak madrasah (Departemen Agama) menerjemahkan undang-undang dan peraturan pemerintah tentang ”madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam” dan ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” diterjemahkan beban kurikulum madrasah adalah 100% pelajaran umum di sekolah ditambah dengan 100% pelajaran agama di madrasah. Padahal jam belajar tetap sama dan sikuensnya juga sama. Disisi lain kondisi, fasilitas dan latar belakang anak madrasah dengan anak sekolah cukup berbeda. Oleh karena itu wajar saja bila kualitas anak madrasah masih kalah dibandingkan dengan anak sekolah.
     Namun ada juga madrasah yang memahami beratnya beban kurikulum itu, lalu mereka terpaksa menambah jam belajar hingga sore dan malam, khususnya madrasah yang dipondok pesantren seperti Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pesantren Darunnajah. Madrasah yang tidak menambah jam pelajaran ataupun tidak mensiasati makna ”kurikulum madrasah sama dengan kurikulum sekolah” maka hasil lulusan mereka menjadi ”tanggung” artinya penguasaan agama tidak memadai dan penguasaan umum juga belum mencukupi.
     Inilah yang kebanyakan dialami madrasah-madrasah yang akhirnya mengesankan kualitas madrasah yang rendah baik untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi umum maupun ke perguruan tinggi agama. Undang-Undang Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989 telah memperkuat posisi madrasah terhadap sekolah, namun disisi lain dianggap memperlemah posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan agama yang fokus utamanya agama dan pengetahuan umum sebagai tambahan. Kebijakan ini juga yang dianggap memperlemah munculnya kader-kader ulama. Ini pula yang menjadi dasar Menteri Agama Munawir Sjadzali (1983-1993) mendirikan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus) dan kemudian dijadikan Madrasah Alyah Program Keagamaan (setelah UU No. 2 Tahun 1989) yang komposisi kurikulum 70% pelajaran agama dan 30% pelajaran umum plus pengajaran bahasa (Arab dan Inggris) secara intensif. Dengan program ini input IAIN secara kualitatif dapat ditingkatkan, dan yang penting lagi menjadi support bagi kemunculan calon calon ulama. Karena komposisi agamanya tetap lebih besar dari umum, maka luliusannya lebih banyak diterima di perguruan tinggi agama, khususnya di Timur Tengah. Dilihat dari sisi ini, kehadran MAPK sejatinya adalah bentuk respon positif progresif madrasah terhadap tantangan yang dihadapi.
     Namun dalam kenyataannya kehadiran MAPK masih ditumpangkan menjadi bagian atau program dari MA (karena politis menurut UU no.2 tahun 1989 belum memberi tempat pengakuan untuk yang jenis ini, karena jenjang dasar dan menengah pertamanya tidak diakui/ tidak dimungkinkan oleh undang-undang tersebut. Demikian juga madrasah dan pesantren yang hanya semata-mata memberikan pelajaran agama tidak juga terakomodasi dalam undang-undang sistem pendidikan nasional ini (UU No. 2 Th 1989). Tentu hal ini masih dirasakan sebagai bentuk diskriminasi dalam pendidikan. Padahal umat menghendaki madrasah tetap memberi peluang yang sama antara madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dengan madrasah sebagai sekolah agama yang berwawasan Indonesia dan kemodernan ataupun madrasah yang semata-mata memberikan pelajaran agama. Bukankah ketiganya merupakan upaya mencerdaskan anak bangsa, namun dengan fokus yang berbeda?. Jadi yang membedakan madrasah dengan sekolah umum sekarang bukan lagi pada bobot pengetahuan umumnya tapi pada kualitas dan ciri khas madrasah itu sendiri Sampai disini persoalan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah terselesaikan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diakui sama dengan sekolah. Dengan kata lain madrasah sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional seperti tampak pada bagan berikut ini Photobucket 
 Bagan ini menunjukkan madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, karena itu anak madrasah dapat pindah dan melanjutkan pendidikan baik secara vertikal, maupun secara horizontal dan diagonal, tetapi pendidikan keagamaan di luar madrasah dan sekolah Islam masih dianggap di luar sistem. Persoalan yang tertinggal adalah persoalan mutu madrasah yang serba tanggung. Mungkin ke depan madrasah sebagai sekolah umum dikhususkan pada penguasan bidang studi umum sebagaimana sekolah, namun ciri khas Islam ditampilkan bukan dari banyaknya mata pelajaran agama, tetapi bagaimana membuat anak didik menjadi muslim yang baik. Tentu ini menjadi tantangan berat karena harus merubah pola pengajaran agama yang cenderung kognitif ke pola afektif dan psikomotorik. Dengan demikian porsi waktu untuk pelajaran agama dapat dikurangi, demikian juga untuk mengejar ketinggalan pelajaran umum, maka tidak semua mata pelajaran umum harus ditatap mukakan persis seperti sekolah, tapi dapat juga dengan melihat pelajaran yang lemah dan utama diberi porsi waktu yang lebih banyak sedangkan pelajaran yang kurang utama atau dapat dipelajari sendiri atau dengan sistem penugasan dan porsi tatap mukanya dikurangi. Dengan demikian beban kurikulum madrasah tidak berat sehingga penguasaan materi dapat lebih diutamakan.
Comments

No comments: